Mewaspadai Pelanggaran HAM dalam Pilkada

Seputar Indonesia, 17 Maret 2007
Antonius Steven Un

Seyogianya, ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan darah segar yang menghidupkan organisme demokrasi lokal dengan berfungsinya organ-organ politik di daerah. Meski demikian, sepanjang sejarah penyelenggaraan pilkada di Indonesia, ternyata sarat pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Salah satu penyebabnya adalah keran kebebasan yang terbuka demikian cepat menyebabkan membanjirnya partisipasi dalam pencalonan kandidat kepala daerah, sementara ruang kompetisi sangat ketat dan terbatas.

Lagi pula, bayang-bayang potensi kekuasaan dan kekayaan yang amat menjanjikan dari jabatan kepala daerah menarik minat banyak kandidat, sementara kebanyakan dari mereka tidak memiliki integritas moral dan kapabilitas keahlian memadai. Karena itu, tidak jarang cara-cara licik dan premanisme politik, entah sengaja atau terpaksa, digunakan dalam meraup preferensi politik publik.

Di sinilah pelanggaran HAM kerap terjadi. Sejatinya,apresiasi terhadap HAM merupakan elemen penting yang harus ada di dalam sistem politik demokrasi. Menurut ilmuwan politik G Bingham Powel (1982), salah satu kriteria prasyarat terciptanya demokrasi dalam dimensi empirik adalah ’’citizens and leaders enjoy basic freedom of speech, press, assembly and organization”.

Karena itu, dalam rangka membangun demokratisasi dalam konteks lokal maka upaya meminimalisasi –jika tidak mungkin menghilangkan– pelanggaran HAM dalam penyelenggaraan pilkada merupakan hal yang signifikan untuk diwacanakan.

Pertama, sejumlah anggota masyarakat yang memenuhi syarat Undang-Undang (UU) No 32/2004 Pasal 68 dan 69 kerap kehilangan kesempatan untuk beraspirasi melalui pilkada karena kelalaian administratif dari Komisi Pemilihan Umum Daerah. Hilangnya hak pilih merupakan pelanggaran kebebasan berpendapat karena menutup salah satu kanal ekspresi utama sesuai Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945.

Kegagalan berpartisipasi dalam pilkada juga merupakan pelanggaran terhadap hak memajukan dirinya melalui membangun bangsa menurut Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945. Sebab, tidak bisa dimungkiri bahwa pilkada yang demokratis merupakan kesempatan mendapatkan pemerintahan yang berakuntabilitas menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Karena itu, penting bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah untuk dengan serius dan profesional melakukan proses pendaftaran pemilih. Kedua, karena UU No 32/2004 Pasal 59 mensyaratkan partai politik sebagai satu-satunya kendaraan menuju kursi kepemimpinan di daerah, mekanisme rekrutmen internal partai politik rentan terjadi pelanggaran HAM.

Pilihan politik akar rumput kerap ditentang elite dewan pimpinan pusat,entah karena pertimbangan kekerabatan atau karena politik uang. Arogansi elite partai di pusat dalam konteks ini berpotensi melakukan pelanggaran terhadap hak politik, baik konstituen maupun kader yang dicalonkan di daerah.

Ketiga, penggunaan black campaign, isu etnisitas atau gender dan politik uang dalam kampanye politik merupakan pelanggaran HAM. Black campaign yang bertujuan menjatuhkan lawan politik melakukan pelanggaran dalam dua arah, kepada lawan politik dan kepada calon konstituen. Kepada lawan politik, hal itu merupakan tindakan mengancam keberadaan fisik dan kehormatan seseorang serta tindakan penyiksaan secara mental dan perlakuan merendahkan martabat yang melanggar Pasal 28G UUD 1945.

Kepada konstituen, kampanye hitam demikian merupakan eliminasi dan distorsi kanal dan kebebasan akses informasi yang melanggar Pasal 28F UUD 1945. Maka itu, cara-cara kampanye licik dalam rupa menyebarkan fitnah, mencaci maki, menghina, dan menggunakan kekerasan, harus dihentikan.

Selain black campaign, cara keji yang kerap digunakan adalah politisasi isu etnisitas atau gender untuk membangun sense of togetherness dan ikatan emosional antara kandidat dan publik. Padahal, etnisitas dan gender merupakan given dari Tuhan yang tidak dapat direkayasa oleh manusia. Etnisitas dan gender sudah merupakan bagian menyatu tak terpisahkan dari kehidupan.

Pada dasarnya, penggunaan politik uang mengandung dua unsur kelemahan besar terkait HAM yakni mengeksploitasi kemiskinan dan mematikan kritik serta rasionalitas. Politik uang dalam konteks pilkada telah dengan sengaja mengeksploitasi kemiskinan, padahal kemiskinan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap hak hidup sejahtera lahir batin yang diatur dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945.

Dengan mengeksploitasi kemiskinan berarti telah menjadikan kemiskinan sebagai komoditi politik dan hal ini merupakan pelanggaran terhadap perlindungan martabat dan kehormatan yang diatur dalam Pasal 28G UUD 1945.

Politik uang juga berdampak mematikan kritik dan rasionalitas yang berarti memperlakukan manusia secara tidak holistis atau menyempitkan hidup manusia hanya kepada aspek materi. Dengan begini,sebenarnya melanggar kebebasan meyakini sesuatu dalam kemurnian hati nurani serta menyatakan keyakinan itu kepada publik sesuai Pasal 28E Ayat (2) dan (3) UUD 1945.

Dengan demikian, sebenarnya secara halus sedang terjadi perbudakan dan imperialisme baru. Karena itu, tidak bisa tidak, politik dagang sapi gaya mafia harus diakhiri. Keempat, karena partisipasi dalam pilkada merupakan hak dan bukan kewajiban politik, tidak benar jika kemudian golongan putih dijerat secara yuridis atau mengalami perlakuan tidak menyenangkan.

Perlakuan koersif dan represif terhadap pendukung golongan putih merupakan pelanggaran terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat menurut Pasal 28E Ayat (2) dan (3) UUD 1945,karena golongan putih juga termasuk salah satu ’’golongan” atau pilihan politik.

Justru, kehadiran mereka harus dipahami sebagai bentuk kekecewaan terhadap sistem politik yang berjalan sehingga penyelesaiannya adalah autokritik dan sosialisasi politik untuk menghindarkan masyarakat dari kemungkinan sikap apatis dan apolitis akibat trauma politik.

Antonius Steven Un, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.