Suara Pembaruan, 7 Oktober 2006
Benyamin F. Intan
Kami siap dieksekusi meski kami menolak eksekusi ini. Kami tidak bersalah…. Saya selalu bertanya apa yang sebenarnya yang dituduhkan kepada kami? Ini hanya untuk melindungi 16 nama. Tangan saya bersih dari darah….Keadilan tidak berpihak kepada kami, masyarakat kecil. Kurang lebih tujuh tahun kami ungkapkan kebenaran, tapi selalu dibungkam aparat penegak hukum” (Suara Pembaruan, 21/9).
Demikian pesan akhir ketiga terpidana mati kasus Poso, Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva, sebelum merelakan tubuh mereka diterjang peluru panas regu tembak dari Brimob Polda Sulteng, Jumat (22/9) tengah malam.
Hingga menjelang ajal, Tibo Cs bersikeras mereka tidak bersalah. Ditengarai melakukan pembunuhan massal di sejumlah tempat dalam kerusuhan Poso Jilid III enam tahun lalu, mereka divonis mati oleh Pengadilan Negeri Palu pada tahun 2001. Berbagai upaya telah mereka tempuh untuk mencari keringanan hukuman, tapi gagal.
Mereka bahkan meminta 16 nama yang menurut mereka terlibat untuk diperiksa kembali dengan data yang baru, tapi perjuangan mereka nihil, bagaikan menabrak tembok.
Bahwa ada “keragu-raguan” dalam dakwaan terhadap Tibo Cs, tidak bisa kita pungkiri. Kapolda Sulteng yang lama, Brigjen Pol Oegroseno yang seharusnya mengeksekusi terpidana, menolak melakukan eksekusi karena tidak ingin mengeksekusi orang yang tidak bersalah, dengan risiko dimutasikan.
Ketua Komisi Ombudsman Nasional, Antonius Sujata mencatat, sejak awal Tibo Cs menyangkal telah melakukan rangkaian perbuatan yang didakwakan kepada mereka. Bahkan pada saat kejadian, mereka tak berada di tempat yang dimaksud (Suara Pembaruan, 21/9). Bukti lain keragu-raguan, eksekusi yang tertunda-tunda.
Semuanya ini menimbulkan tanda tanya besar di benak kita: Benarkah Tibo Cs dalang utama pembunuhan massal kerusuhan Poso, ataukah mereka hanya dijadikan kambing hitam oleh pelaku dan aktor intelektual yang telah disebutkan secara gamblang (dan butuh pengungkapan lebih lanjut)?
Paradoks
Tibo Cs, memang bukan warga negara baik karena mereka mati dieksekusi pemerintah. Tapi itu tidak serta-merta menjadikan mereka orang jahat, apalagi didakwa aktor intelektual kerusuhan Poso. “Jahat” di mata pemerintah (warga negara buruk) satu hal, menjadi orang jahat itu hal lain. Warga negara buruk (bad citizen) tidak selalu identik dengan orang jahat (bad man).
Filsuf Aristoteles menulis, “the good citizen can be a good man only in the “best” state” (The Politics, III. iv., hal. 177). Sejauh berada dalam pemerintahan yang baik (good state), warga negara baik (good citizen) akan selalu menjadi orang baik (good man). Faktor pemerintah memang amat menentukan.
Aristoteles mendefinisikan orang baik sebagai warga negara baik dalam pemerintahan yang baik, atau warga negara buruk dalam pemerintahan yang buruk. Sebaliknya, orang jahat, menurut Aristoteles, adalah warga negara baik dalam pemerintahan yang buruk, atau warga negara buruk dalam pemerintahan yang baik.
Pemerintah seharusnya tidak tergesa-gesa mengambil keputusan mengeksekusi Tibo Cs, mengingat pihak kepolisian masih melakukan penyidikan terhadap 16 nama yang disebut Tibo Cs sebagai pelaku utama kerusuhan Poso.
Kehadiran Tibo Cs sebagai saksi kunci sangat dibutuhkan penyidik guna membongkar aktor intelektual di balik kerusuhan Poso. Tibo Cs seharusnya tidak boleh dieksekusi, mereka malah harus dilindungi.
Keputusan tergesa-gesa pemerintah mengeksekusi saksi kunci, berarti pemerintah tidak punya good will mentuntaskan kasus Poso.
Atas perbuatan yang tidak bertanggung jawab ini, pemerintah bisa dikenakan delik hukum: crime by commission, mengeksekusi mati yang tidak bersalah, dan crime by omission, menutup-nutupi dalang utama pelaku Poso yang sebenarnya.
Jadi, jangan salahkan komponen masyarakat (Forum Solidaritas Papua, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur serta PADMA Indonesia) mengajukan pemerintah ke Mahkamah Kejahatan Internasional.
Pengeksekusian Tibo Cs menimbulkan paradoks. Dakwaan sebagai pelaku utama kerusuhan Poso menimbulkan tanda tanya besar. Sementara pemerintah yang mengeksekusi memiliki indikasi kuat menutupi kasus Poso dan tidak ingin mencari pelaku utama Poso yang sebenarnya.
Dengan demikian, Tibo Cs mestinya “orang baik.” Mereka seharusnya tidak bersalah. Sekalipun tereksekusi (warga negara buruk), mereka tereksekusi oleh pemerintah yang tidak bertanggung jawab.
Kontraproduktif
Menyusul eksekusi mati terhadap Tibo Cs, Atambua dan Maumere, NTT, dan Tentena, Sulteng, rusuh. Gejolak massa simpatisan Tibo Cs pascaeksekusi sebetulnya dapat diprediksi sebelumnya, mengingat rencana eksekusi telah mengundang aksi protes di sejumlah kota, khususnya di Nusa Tenggara Timur, kampung halaman ketiga narapidana.
Perbuatan anarkis tidak bisa kita tolerir. Namun sebenarnya yang terjadi adalah protes keras masyarakat terhadap kesewenang-wenangan pemerintah.
Pemerintah tidak peka terhadap rasa keadilan masyarakat. Peradilan terhadap Tibo Cs sejak awal telah menarik simpati khalayak lintas agama, suku, dan golongan.
Bahkan komunitas internasional hingga Vatikan pun meminta eksekusi dibatalkan. Tapi semuanya ini tidak dihiraukan pemerintah, Tibo Cs tetap saja dieksekusi. Lalu terjadilah tindakan anarkis.
Pengeksekusian Tibo Cs, bukannya menyelesaikan masalah tapi malah memperburuk keadaan. Kenyataan ini bertolak belakang dengan prinsip deterrence (efek jera), yang mau dicapai oleh eksekusi mati. Menyaksikan eksekusi, masyarakat bukannya kapok berbuat jahat, tapi malah semakin menjadi-jadi.
Pengeksekusian Tibo Cs, sangatlah kontraproduktif. Apalagi ada dugaan bahwa pelaku utama Poso yang sebenarnya masih bebas berkeliaran di luar. Jika dugaan itu benar, orang semakin tidak takut melanggar hukum, karena tokh belum tentu nantinya dia yang ter- jerat hukum.
Sangat menyedihkan, apabila ternyata Tibo Cs tidak layak dieksekusi mati, karena mereka bukan dalang kerusuhan. Jika hal itu terjadi, Tibo Cs korban “peradilan sesat” (miscarriages of justice).
Dalam peradilan sesat, tidak berlaku retribution (ganjaran setimpal) yang merupakan intisari dari hukum. Akibatnya, pengeksekusian Tibo Cs bukannya memperbaiki tapi malah memperburuk citra buruk penegakkan hukum di Indonesia.
Negara kita dikenal sebagai negara yang tidak terlalu menghargai HAM dengan meninggalkan sejumlah pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Kasus Tibo Cs memberi hikmah.
Pemerintah harus mengusut tuntas kerusuhan Poso dan menangkap otak di balik kerusuhan itu. Melalui cara itu, citra buruk penanganan konflik dan pengungkapan kasus secara tuntas di republik ini bisa diperbaiki.
Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society