Investor Daily, 25 Juni 2010
Binsar A. Hutabarat
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani 150 izin pemeriksaan kepala daerah-bupati, walikota, maupun gubernur-yang tersandera kasus korupsi. Realitas ini seakan meneguhkan apa yang dikatakan oleh Lord Acton, power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely.
Banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi jelas bukan sebuah berita bagus bagi penegakkan hukum di Tanah Air. Ini justru fakta yang sangat memprihatinkan di tengah gencarnya kampanye pemerintahan SBY untuk memberantas korupsi.
Apalagi dengan akan diperiksanya 150 kepala daerah yang kini aktif, itu berarti kerugian yang teramat besar bagi masyarakat. Ini di luar perhitungan biaya yang digelontorkan pemilu kepala daerah (pemilukada). Pada 2010 ini saja, biaya pelaksanaan pemilukada mencapai Rp 3,545 triliun, yang berarti rata-rata Rp 15 miliar per daerah. Jika ditambah biaya yang dikeluarkan seluruh calon dengan perkiraan rata-rata Rp 15 miliar per calon, itu berarti sepasang kepala daerah bisa menelan dana Rp 30 miliar.
Biaya yang amat besar untuk mendapatkan sepasang kepala daerah tersebut ternyata tidak berdampak besar terhadap kesejahteraan masyarakat. Pasalnya, tak sedikit kepala daerah yang justru tersandera kasus korupsi.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi berujar, tidak semua kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah ini terjadi karena unsur kesengajaan, tapi lebih disebabkan kekeliruan menafsirkan aliran yang ada atau tindakan diskresi kepala daerah dalam mengatasi permasalahan di daerahnya.
Kesadaran Politik Rakyat
Gamawan Fauzi boleh saja berkilah atau mencari alasan pembenar. Namun, berbagai realitas membuktikan bahwa jabatan kepala daerah kini menjadi rebutan, bukan untuk “mengabdi” melainkan rebutan untuk mendapatkan uang dan kekuasaan. Karena itu, orang berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi tersebut, entah berapa pun biaya yang harus dikucurkan, dan dengan cara apapun biaya tersebut diperoleh.
Itulah fenomena koruptif kepala daerah yang terjadi saat ini kerap terkait dengan tabiat koruptif yang terbentuk karena untuk menjadi seorang kepala daerah dibutuhkan biaya yang amat mahal. Seorang kepala daerah yang telah menghabiskan uang banyak akan berusaha untuk setidaknya mengembalikan ongkos kampanye yang sudah dikeluarkannya.
Maraknya konsultan-konsultan politik yang menawarkan jasa untuk memenangkan kampanye semakin meneguhkan betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan seorang calon kepala daerah. Akhirnya, jabatan kepala daerah yang mestinya menjadi tempat dan pusat pengabdian kepada masyarakat, malah tercederai oleh nafsu sang kepala daerah tersebut untuk mengumpulkan uang guna mengembalikan investasi yang telah dikeluarkannya.
Bagaimanapun jabatan kepala daerah itu diperuntukkan bagi kesejahteraan umum. Mereka yang menduduki jabatan tersebut membawa tugas dan tanggung jawab besar bagi kebaikan dan kepentingan umum (bonum communae). Mereka berkewajiban memperjuangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera lahir batin. Hati dan pikiran seorang kepala daerah adalah memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat di daerahnya, tanpa terjebak sekat-sekat kepentingan suku, agama, dan antargolongan.
Setiap orang yang ingin menjadi kepala daerah harus selalu tertanam dalam dirinya ucapan Presiden AS John F Kennedy dalam pidato pelantikannya sebagai presiden pada Januari 1961: “…ask not what your country can do for you-ask what you can do for your country.” Jangan tanya apa yang negara dapat berikan kepadamu, tapi tanyalah apa yang dapat kamu berikan kepada negaramu!
Ini berarti, siapa yang tidak memiliki semangat mengabdi, dia tidak layak menduduki jabatan kepala daerah. jabatan tersebut bahkan akan membuahkan malapetaka besar bila dia memperolehnya dengan permainan tidak jujur, money politics, dan tindakan-tindakan tercela lainnya.
Lalu, siapakah yang seharusnya menjaring para calon pemimpin agar kelak terpilih hanya mereka yang benar-benar berkualitas, bermoral, dan berkarakter? Pemilihlah yang memiliki peran penting bagi hadirnya pemimpin berkualitas. Makanya sudah waktunya masyarakat meneliti dan mengenal dengan baik siapa sesungguhnya yang layak menjadi pemimpin daerah.
Rakyat jangan memilih kucing dalam karung. Jangan biarkan jabatan kepala daerah jatuh di tangan mereka yang dikuasai tabiat koruptif.
Pelayan Bukan Penguasa
Sesungguhnya tak sulit mencari sosok-sosok berhati mulia serta memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni. Sayangnya, mereka umumnya tak punya niat, tak punya ambisi. Tugas masyarakat adalah medorong dan mendukung sosok-sosok seperti itu. Bahwa ada proses politik dalam pemilihan seorang kepala daerah, itu sudah menjadi aturan main yang lazim.
Namun, adalah juga tugas masyarakat untuk memperjuangkan bagaimana pemimpin daerah yang terpilih itu jatuh ke tangan orang yang tepat, jujur, dan berkualitas. Masyarakat perlu disadarkan agar hanya memilih calon-calon pemimpin daerah berkarakter mulia.
Ini penting agar kita tidak akan lagi menjumpai kepala-kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi atau mereka yang dikenal memiliki tabiat koruptif. Demi Indonesia yang sejahtera dan masyarakat yang semakin maju, kita membutuhkan pemimpin yang tidak menempatkan dirinya sebagai penguasa daerah, tapi pelayan masyarakat.
Negeri ini hanya akan mengalami restorasi apabila kesadaran politik rakyat semakin meningkat, termasuk kesadaran masyarakat untuk memilih pemimpin bermoral dan bermartabat. Kesadaran politik rakyat itu akan menjadi benteng kokoh guna mengenyahkan calon-calon kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kelak hanya akan menyengsarakan rakyat.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society