Kompas Jawa Timur, 28 Januari 2008
Antonius Steven Un
Konstelasi politik menjelang pemilihan langsung gubernur Jatim semakin memanas saja. Selain pertarungan di tingkat elite politik daerah dalam soal pencalonan, aroma panas rivalitas juga terasa di ruang publik dengan ramainya borsur, poster dan baliho bakal calon gubernur dan wakil gubernur di berbagai pelosok Jatim.
Sejumlah nama telah bermunculan. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan Achmady, sementara Partai Golkar, dengan si dalang, Soenarjo. Koalisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) – Partai Amanat Nasional (PAN) menetapkan scenario PPP mendapat jatah Gubernur dan Pan memperoleh bagian calon wakil gubernur.
PAN telah yakin dengan pencalonan Gus Ipul (Saifullah Yusuf) sedangkan PPP mengharapkan Farid Al Fauzi. Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih sibuk dengan survei popularitas publik. Di luar partai politik, nama-nama seperti tokoh militer Joko Subroto dan tokoh religius Ali Maschan Moesa turut diwacanakan dalam rivalitas pencalonan pesta demokrasi di Jatim tersebut.
Munculnya nama-nama tokoh ”keramat” Jatim di satu sisi menguntungkan. Pasalnya, mereka adalah orang-orang yang telah dikenal public dalam kiprah sosial politiknya. Meskipun demikian, di sisi lain, berpotensi menimbulkan kerugian politik akibat terbangunnya demokrasi timpang, bukan berdasarkan sistem politik ”what is” tetapi berdasarkan sistem ”who is”. Sistem yang pertama mendasarkan preferensi politik pada loyalitas rasional sedangkan sistem kedua mendasarkannya pada loyalitas emosional.
Substansi Politik
Secara substansi, politik tidak mungkin diceraikan dari kekuasan. Ilmuwan politik W.A Robson mengatakan ”political science is concerned with the study of power in society…its nature, basis, processes, scope and results” (The University Teaching of Social Sciences, 1954). Karena itu output dari proses politik adalah menghasilkan nama-nama yang bakal menduduki “kursi kekuasaan” sebagai “penguasa”.
Namun demikian, menurut almarhumah Profesor Miriam Budiardjo, kekuasaan melibatkan kemampuan mempengaruhi tingkah laku manusia atau kelompok (1977). Kemampuan penetrasi penguasa bertujuan untuk mengorganisir masyarakat sebagai modal sosial dalam menjalankan kebijakan publik. Hal terakhir ini, tidak bisa dipungkiri, merupakan sisi elementer yang amat esensial dalam politik praktis, sebagaimana ditegaskan pakar politik Joyce Mitchell dalam bukunya Political Analysis and Public Policy, “politics is collective decisionmaking or the making of public policies for an entire society” (1969).
Karena itu, politik “who is” yang berbasiskan loyalitas emosional kerap mengabaikan pengujian rasional konstituen terhadap seberapa jauh dan kuatnya kemampuan penetrasi penguasa terhadap publik.
Tidak berhenti di situ, pertanyaan signifikan nan kritis adalah apakah dan bagaimanakah kebijakan publik yang ditawarkan kandidat penguasa kepada masyarakat Jatim sebagai audiens pesta demokrasi tahun 2008 ini. Dengan kata lain, pertanyaan dan pergumulan kita kini adalah bukan soal siapa berkuasa tetapi apakah (what is) visi, misi, aksi terkait dengan kebijakan publik bagi kesejahteraan dan kemaslahatan bangsa secara umum dan masyarakat Jatim secara khusus.
Budaya Politik
Perbincangan soal wacana politik ”what is” tidak bisa dilepaskan dari diskursus budaya politik. Preskripsi budaya politik demokratis dan stabil adalah yang bersifat partisipatif di mana orientasi individu bersifat evaluatif (bandingkan Gabriel Almond & Sidney Verba, 1963, halaman 178).
Namun demikian, budaya politik negara kita yang menonjol, dalam analisis Afan Gaffar, cenderung membentuk pola hubungan ”patronage” atau meminjam istilah James Scott, patron-client relationship (1976). Relasi Patron dan Client bersifat interpersonal dalam hubungan resiprokal dengan mempertukarkan sumber daya. Patron memiliki kuasa birokratif sedangkan client memiliki kekuatan loyalitas. (Politik Indonesia, 1999, halaman 109).
Simbiosis mutualisme ini menandakan bahwa sejatinya budaya politik ”who is” yang berbasiskan loyalitas emosional, bukan tanpa hitung-hitungan untung rugi. Justru yang disebut loyalitas emosional adalah penggunaan kalkulasi jangka pendek untuk kepentingan segelintir orang. Pemahaman inilah yang akan melestarikan tradisi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Implikasi Praktis
Dalam konteks pilkada, gagasan politik ”what is” bermuara pada sejumlah implikasi praktis. Pertama, pentingnya sosialisasi politik dalam rangka pendewasaan rasional konstituen. Partai politik dan kandidat penguasa perlu secara konsisten dan kontinyu mengupayakan transparansi dan aksesibilitas informasi bagi konstituen yang mana hal tersebut dapat digunakan sebagai data bagi pengujian rasional tadi.
Agar gagasan mulia ini tidak menjadi idealisme naif, maka proses pendidikan publik harus disadari sebagai proses graduasi berkepanjangan dan bukan sebuah perubahan overnight. Pada satu sisi, partai politik dan kandidat berlatih untuk jujur, sedangkan pada sisi lain, konstituen berlatih untuk rasional dalam preferensi politiknya.
Kedua, agar tidak menjadi deideologisasi maka konstituen perlu terus menerus berlatih menguji konsistensi kandidat antara kinerja yang telah dilakukan dengan visi dan ideologi yang dipaparkan. Memahami apakah visi dari kandidat dan partai politik tidak serta merta menandakan bahwa sistem politik yang berlangsung telah mencapai substansi gagasan politik ”what is” karena bukan rahasia lagi, kerap visi dan ideologi hanya dilekatkan sebagai simbol dan aksesoris formalitas menuju pilkada.
Ketiga, porsi kampanye politik yang melibatkan pengerahan massa perlu dikurangi dan diganti dengan focus group discussion (FGD). Kampanye politik kerap hanya bermotif sempit yakni show of force dan hiburan rakyat karena pidato politik tidak lebih diminati ketimbang pentas dangdut. Dengan kata lain, yang dicari massa dalam kampanye politik bukan kandidatnya tetapi artisnya. Lagipula, kampanye dengan pengerahan massa demikian rentan praktek kekerasan dan konflik sosial horizontal.
Sementara itu, sekalipun merepotkan karena harus melayani kelompok kecil yang demikian banyak, namun demikian, demi pembelajaran demokratisasi dan proses politik rasional, FGD berfungsi positif untuk melatih rakyat berpikir rasional melalui pengujian data konkrit dan diskusi tatap muka. Selain itu, proses agregasi dan artikulasi aspirasi konstituen dapat berlangsung secara lebih efektif dan efisien sehingga kampanye bukan lagi monolog yang penuh janji palsu politisi melainkan bersifat dialog, yakni elite politik mendengarkan nurani rakyat kecil.
Antonius Steven Un, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society