Suara Karya, 5 April 2007
Antonius Steven Un
Jumat, 6 April 2007 ini, merupakan peringatan wafatnya Yesus Kristus-figur sentral dalam kamus kekristenan-yang akan dilanjutkan dengan perayaan kemenangan dalam kebangkitan dari orang mati pada Minggu, 8 April 2007. Dalam teologi Kristen, kematian dan kebangkitan Kristus merupakan momen puncak seluruh pelayanan-Nya selama di muka bumi.
Dalam dua momen itulah Yesus menyelesaikan misi-Nya: mati di kayu salib menanggung hukuman manusia berdosa (substitutional death) dan meraih kemenangan dalam kebangkitan, menang atas dosa dan maut. Kemenangan kebangkitan bukan saja telah menjadi fakta historis, objek iman dan momen sentral, tetapi boleh membentuk pola dan semangat dalam kehidupan bergereja, berbangsa, dan bernegara.
Pola dan semangat kebangkitan itulah yang pada kesempatan ini penulis mencoba merefleksikannya, terkait dengan peringatan Paskah 2007. Semangat seperti itulah yang kita butuhkan dalam situasi krisis kekinian.
Pertama, perlu semangat berpengharapan dalam penderitaan dan situasi batas. Kematian telah lama dipolakan sebagai akhir dari segala sesuatu, tetapi pelajaran dari kebangkitan membawa kita memahami bahwa ada pengharapan di dalam apa yang dianggap sebagai tepi hidup.
Menghadapi situasi batas yang banyak dialami elemen dan lapisan masyarakat kini, kita memerlukan semangat berpengharapan untuk tidak putus asa menatap “tsunami” krisis multidimensional dan gelombang bencana alam yang kian menggila di negeri duka ini. Tanpa semangat seperti itu, maka masyarakat bisa memilih jalan pintas mengakhiri hidup mereka secara tragis serta menimbulkan trauma pahit yang mendalam.
Kedua, perlu semangat melihat kemungkinan dalam ketidakmungkinan. Itulah semangat yang kerap dipakai pebisnis dalam menangkap peluang bisnis. Pebisnis yang maju adalah yang jeli melihat peluang, kemungkinan di tengah ketidakmungkinan. Tetapi, harap diingat, pebisnis tak bernurani dan kejam juga memakai pola yang sama, sehingga tidak heran ada pebisnis tak bermoral yang memakai joki membeli beras murah untuk kemudian dijual mahal.
Itu sebabnya, semangat kebangkitan dalam Paskah harus dipahami dalam bingkai positif. Perlu semangat serupa ini untuk kreatif dan inovatif secara positif dalam menghadapi krisis, kalaupun tidak untuk maju tetapi paling tidak untuk bertahan, baik dalam bidang ekonomi, politik maupun keseharian masyarakat.
Ketiga, perlu semangat melihat ke depan, tak lagi hanya memandang ke belakang. Kebangkitan adalah kemenangan atas dosa dan maut serta memberikan hidup baru bagi para pengikut Yesus Kristus. Hal itu memberikan pandangan dan visi yang jelas untuk berjalan ke depan.
Memang patut diakui, secara logika sederhana perjalanan yang hanya mengarahkan pandangan ke belakang mengakibatkan stagnasi proses. Bahkan, bisa mengakibatkan kejatuhan, karena tidak berkonsentrasi ke depan. Jikalau tidak berhati-hati, orientasi hidup ke belakang berpotensi menyempitkan kehidupan dan membonsai kehidupan pada refleksi masa lalu dan kesedihan, sekalipun pengalaman dan sejarah adalah guru terbaik.
Di tengah berbagai kegagalan, pertanyaan ke depan adalah bagaimana menyelesaikan, memperbaiki dan membangun. Janganlah kita terfokus kepada pertanyaan ke belakang, tentang siapa yang salah.
Keempat, perlu semangat untuk selalu bersyukur. Kebangkitan adalah kemenangan dan menghasilkan ucapan syukur. Itu sebabnya, dari kebangkitan kita belajar bagaimana melihat karya Tuhan dalam keterbatasan dan penderitaan manusia sehingga kita bisa mensyukuri nikmatnya. Lawan dari semangat bersyukur adalah mengeluh, protes, berbantahan dan seterusnya.
Orang yang suka mengeluh, selalu melihat kelemahan dan kelebihan, melihat sampah di tengah berlian. Sebaliknya semangat bersyukur menuntut kita untuk senantiasa melihat kelebihan dalam kelemahan, mencari berlian di antara tumpukan sampah. Dengan demikian, kehidupan kita lebih positif dan kejiwaan kita lebih sehat untuk bisa berpikir dan membangun diri.
Kelima, perlu semangat juang yang tinggi dalam menghadapi penderitaan atau kesulitan. Tanpa sikap itu, maka kita akan kalah sebelum bertanding dan layu sebelum berkembang. Di dalam peperangan, kebutuhan akan semangat juang tidak kalah penting dari kebutuhan akan persenjataan.
Jika orang memiliki senjata tetapi tidak memiliki semangat juang, maka semua senjata itu akan mubazir. Sebaliknya jika orang memiliki semangat juang, namun tidak memiliki fasilitas maka spirit demikian akan menghasilkan kreativitas untuk mencari jalan ke luar. Yang perlu ada dalam diri pemimpin, elite, politisi dan para tokoh bukan saja kelengkapan berbagai fasilitas dan sarana, tetapi yang terpenting adalah semangat juang.
Semangat juang itulah yang kita warisi dari para bapak bangsa dan pahlawan kemerdekaan negeri ini. Para pahlawan merebut kemerdekaan dengan menggunakan bambu runcing plus semangat juang yang tinggi. Krisis semangat juang dalam diri elite/pemimpin barangkali merupakan masalah besar yang perlu mendapat agenda prioritas.
Keenam, perlu semangat progresivitas atau terus maju. Semangat untuk tidak cepat puas melihat keberhasilan, tetapi melihat apa yang belum dikerjakan. Orang yang senantiasa melihat apa yang sudah ia kerjakan, berpotensi mematikan kritik, rasionalitas, dan kemajuan.
Kita perlu semangat juang, terutama dalam diri pemimpin dan para elite kita, agar tidak cepat puas dengan hasil-hasil pembangunan dan kinerja yang ada, yang sebenarnya masih bisa mencapai level yang lebih tinggi lagi.
Antonius Steven Un, Penulis adalah Ketua Sekolah Teologi Reformed Injili Malang