Menekan Angka Golput dalam Pilkada

Kompas Jawa Timur, 19 Juli 2007
Antonius Steven Un

Hingga 2009, terdapat belasan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan diadakan di Jawa Timur, mulai dari pilkada kabupaten/ kotamadya hingga propinsi. Tidak bisa dimungkiri, fakta empiris membuktikan setiap penyelenggaraan pilkada kerap dibayang-bayangi meningkatnya pendukung golongan putih atau golput.

Minimnya partisipasi politik publik dikhawatirkan berpotensi menimbulkan krisis legitimasi kepada pasangan kepala daerah baru yang pada gilirannya mengganggu kinerja dan produktivitas kepemimpinan di daerah.

Eksistensi golput harus diparadigma dengan benar sehingga tidak menimbulkan salah pengertian. Istilah golput mulai marak di Indonesia sejak pemilihan umum 1971 yang dipelopori oleh Arief Budiman. Selama rezim Orde Baru, eksistensi golput dipandang sebagai penyakit politik yang harus dimusnahkan bahkan tidak jarang dianggap sebagai makar politik. Karena itu banyak aktivis golput yang dipaksa menginap di hotel prodeo.

Sejatinya, eksistensi golput adalah sesuatu yang niscaya dalam sistem politik demokrasi. Karena itu, perlakuan defamatif, koersif dan represif terhadap pendukung golput dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia karena golput merupakan salah satu pilihan politik. Sah-sah saja jika seseorang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena partisipasi dalam pemilihan umum bukanlah kewajiban melainkan hak.

Justru eksistensi golput harus dibaca dalam beberapa paradigma. Pertama, golput adalah suatu sikap a-politis, suatu bentuk penolakan dogmatis atas eksistensi sistem serta produk sistem politik yang sedang berjalan. Sistem politik yang ada dipandang sebagai sistem yang korup dan jahat, tidak jarang dianggap sebagai sebuah bentuk kekejaman kepada kemanusiaan (state crime against humanity).

Model seperti ini pernah ada pada abad 16 di Eropa Barat, yakni golongan Anabaptis yang hanya mendedikasikan diri secara vertikal-religius serta menolak bukan saja partisipasi politik tetapi eksistensi sistem politik karena dianggap bersifat duniawi dan berasal dari setan. Dalam konteks kekinian, pengalaman empiris penderitaan dan kemiskinan di satu sisi, serta fakta korupsi dan berbagai kejahatan politik di sisi lain, menyebabkan sikap a-politis sehingga memunculkan penolakan penggunaan hak pilih.

Kedua, golput adalah suatu sikap apatis-skeptis berdasarkan perhitungan matematis-pragmatis, rasa-rasanya momentum pesta demokrasi pilkada tidak memberikan nilai tambah yang signifikan bagi individu masyarakat. Karena itu, muncul keluhan: “tidak ada gunanya mencoblos, toh sama saja”. Sikap ini merupakan bentuk keputusasaan atas krisis multidimensional yang tak kunjung usai sementara sistem politik demokrasi belum memberikan jaminan bukti perbaikan-perbaikan di berbagai bidang. Sebagai contoh, sektor riil yang masih berjalan di tempat. Pertanyaan gampangnya, “apakah dengan berpartisipasi dalam pilkada, harga minyak goreng akan turun?”.

Ketiga, golput kerap merupakan sinyalemen komunikasi politik, suatu bukti bahwa calon-calon kepala daerah yang lolos verifikasi KPUD tidaklah mewakili aspirasi rakyat lokal. Jikalau diasumsikan bahwa bahwa angka golput bisa mencapai level 50 persen, maka 50 persen sisanya dari pemilih potensial barangkali adalah pendukung pasangan calon yang tidak lolos verifikasi KPUD atau calon independen yang gagal diusung partai politik atau calon-calon yang kalah dalam konvensi partai politik.

Ketiga model pembacaan fenomena golput ini memberi peluang meningkatnya angka golput. Partisipasi yang minim dapat menjadi krisis politik yang tidak gampang diselesaikan, sebagai contoh, rakyat terus menerus mengkritisi kebijakan kepala daerah sehingga mereka sulit berkonsentrasi dalam menjalankan tugasnya dengan baik.

Kritik itu sebenarnya sah-sah saja dalam alam demokrasi jika dilandasi oleh motif evaluasi progresivitas pembangunan. Tetapi sering kali, fakta empiris membuktikan bahwa kritik diajukan berdasarkan motif like and dislike. Konflik politik demikian akan bertambah parah jika kepala daerah kemudian mengambil kebijakan tidak populer terkait masalah-masalah aktual khususnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Partisipasi Politik
Karena golput adalah hak dan bukan kewajiban maka kita menolak perlakuan kasar dan penghinaan kepada pendukung golput. Namun demikian, kita mengharapkan peningkatan partisipasi politik publik melalui pilkada ini. Promosi partisipasi politik terbaik sebenarnya belum tentu bisa maksimal dilakukan dalam kurun waktu hitungan hari atau bulan ke depan.

Bahwa bagaimana pemerintahan sebelumnya menjalankan kebijakan di daerah sangat menentukan respon publik terhadap pilkada. First impression impress most. Karena itu, bagi pemenang pilkada, pasangan gubernur dan wakil gubernur yang baru perlu mempertontonkan etika politik dan integritas moral serta keahlian birokratif, jika mengharapkan partisipasi politik publik meningkat signifikan dalam pilkada lima tahun berikutnya.

Namun, menjelang belasan pilkada di Jawa Timur ini, perlu mereposisi sikap kita sehingga dapat menekan angka golput. Pertama, promosi terbaik dari pilkada adalah berasal dari kandidat kepala daerah yang gagal melaju dalam pilkada. Keteladanan dan kematangan berpolitik yang ditunjukan pasangan calon yang urung bertarung, sangat mempengaruhi partisipasi politik publik setidaknya pendukung setia mereka. Para tokoh yang terlanjur namanya dikenal publik sebagai bakal calon kepala daerah perlu berbesar dan berluas hati untuk memotivasi pendukungnya agar menggunakan hak pilihnya dalam pilkada. Prinsipnya, bukan soal siapa berkuasa tetapi yang penting visi mulia bagi daerah dapat tercapai.

Kedua, perlu diadakan sosialisasi gencar khususnya dari tokoh-tokoh masyarakat melengkapi rangkaian sosialisasi yang diadakan oleh KPUD dan media massa. Tokoh-tokoh masyarakat mempunyai rangkaian pengaruh hingga ke akar rumput di mana sosialisasi ini tidak semata-mata menjadi sarana meraup dukungan politik bagi pasangan calon tertentu tetapi guna mensukseskan pilkada di daerah. Sosialiasi juga dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan dan institusi keagamaan serta organisasi kepemudaan. Antara lain, misalnya jajaran pengurus organisasi suporter sepak bola pendukung klub lokal seperti Arema, Persema, Persebaya, Persekapbas, Persela, Persik, dan seterusnya, yang mempunyai anggota belasan hingga puluhan ribu orang, dapat menjadi kanal sosialisasi yang efektif dan efisien.

Ketiga, wacana untuk menjadikan hari pencoblosan sebagai hari libur perlu dipertimbangkan dengan serius. Hal ini untuk memastikan bahwa warga beroleh kemudahan akses pencoblosan di lingkungan tempat tinggal mereka. Dengan begini, mudah-mudahan partisipasi politik publik dalam pilkada semakin meningkat.

Antonius Steven Un, Penulis adalah Ketua Sekolah Teologi Reformed Injili Malang

Leave a Comment

Your email address will not be published.