Mendung Kelabu Belum Beranjak dari Poso

Suara Pembaruan, 28 Oktober 2006
Binsar A. Hutabarat

Pasca tertembaknya Pendeta Irianto Kongkoli, Sekretaris Umum Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) situasi di Poso makin memanas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menugaskan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS untuk mengambil langkah cepat dan tepat mengantisipasi memanasnya situasi di Sulteng.

Presiden juga tidak lupa meminta masyarakat Poso dan Palu menahan diri agar perdamaian yang telah dibangun bertahun-tahun di wilayah tersebut dipertahankan.

Imbauan untuk umat beragama menahan diri dan tidak mudah terprovokasi atas kasus penembakan Pendeta Irianto juga dikeluarkan oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni. Dari pihak gereja, imbauan agar umat Kristiani tidak terprovokasi datang dari Sekretaris Pelaksana Harian SAG Sulawesi (Sulutenggo) Gembala BA Suak dan Ketua Umum Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt Dr Andreas Yewangoe.

Perintah Presiden untuk meredakan suasana di Poso yang diikuti oleh pejabat-pejabat di bawahnya serta lembaga-lembaga gereja dan agama-agama lain menunjukan bahwa peristiwa penembakan Pendeta Irinto bukan hal biasa.

Penembakan tersebut bukan hanya menunjukkan masih mudahnya nyawa melayang di negeri ini, tetapi secara bersamaan menunjukkan wibawa negara di Poso berada dalam titik yang memprihatinkan, kalau tidak ingin dikatakan melecehkan pemerintah.

Ledakan Bom yang terjadi berkali-kali pasca terbunuhnya pendeta Irianto menjadi saksi mendung kelabu di langit Poso belum beranjak. Sampai kapankah kedamaian, yang saat ini menjadi barang mewah di Poso, dapat dinikmati oleh masyarakat yang tentunya sudah bosan melihat darah dan kekerasan? Yang pasti pemerintah tidak boleh lagi beranggapan bahwa situasi di Poso sama dengan daerah-daerah lain.

Pemerintah perlu bertindak serius untuk menangani kasus di Poso yang telah berlangsung selama 8 tahun ini.

Masih Mendung
Sejak tanggal 24 Desember 1998 kedamaian di Poso terenggut. Berawal dari perkelahian dua orang muda, Poso membara. Rumah-rumah penduduk dibakar, mereka dipaksa meninggalkan kampung halamannya, entah siapa yang memprovokasi, masih menjadi misteri sampai saat ini. Tidak puas menerima kenyataan tersebut mereka yang terusir mencari perlindungan dari aparat keamanan.

Tidak adanya perlindungan yang memadai membuat mereka yang menderita tersebut berbalik melakukan tindakan anarkis, balas menyerang dan melakukan kekerasan. Kedua belah pihak yang berbeda agama melupakan misi agama mereka yaitu untuk kemanusiaan.

Manusia beragama yang seharusnya hidup berdampingan ternyata menjadi makhluk yang menakutkan bagi sesamanya, tetapi harus diakui dalam peristiwa itu sikap tidak tegas aparat keamanan memiliki saham yang tidak kecil yang membuat bara di Poso terus menyala.
Ketika gema kerusuhan Poso terdengar sampai jauh, barulah pemerintah berusaha menangani kerusuhan Poso dengan lebih serius. Lahirlah pertemuan Malino I yang melahirkan 10 butir kesepakatan. Dalam salah satu butir kesepakatan itu dinyatakan, siapa yang melakukan lagi tindakan yang melanggar isi kesepakatan akan menjadi musuh bersama.

Setelah kesepakatan tersebut seharusnya Poso kembali ceria seandainya tidak ada tangan-tangan jahil yang menyalakan kemarahan yang telah terkubur itu.

Pasca Malino I memang kerusuhan massal dapat diredam, tetapi kemudian kerusuhan itu kembali dinyalakan oleh pihak-pihak dari luar masyarakat Poso. Disinyalir Poso diramaikan kembali oleh kelompok teroris, tetapi pihak keamanan tampaknya tak mampu bertindak tegas dalam menangani konflik-konflik yang dilakukan tangan-tangan jahil itu.

Poso tetap mencekam dan setiap saat darah dapat tertumpah, entah sampai kapan pihak keamanan bisa bertindak tegas dan adil dalam menangani kasus Poso.

Feri Silalahi SH, seorang jaksa di Palu (ibu kota Sulteng) yang giat melakukan upaya penuntasan kasus-kasus yang terjadi di Poso mati tertembak di depan istrinya ketika usai menghadiri kebaktian. Demikian juga Susianti Tinulele Sth, seorang pendeta di Kota Palu yang juga aktif sebagai relawan dalam membantu korban-korban kerusuhan di Poso mati tertembak ketika sedang memimpin ibadah di Kota Palu.

Kemudian setelah kegagalan gereja mendesak pemerintah untuk tidak mengeksekusi Tibo Cs, Pdt Irianto Kongkoli yang aktif mengupayakan perdamaian di Poso mati tertembak di pelataran toko bangunan Sinar Sakti di jalan Wolter Monginsidi No 76, Kelurahan Lolu Utara, Kecamatan Palu Selatan, dengan luka tembak di bagian belakang kiri bawah kepala, Senin 16 oktober 2006, tidak jauh dari tempat istri dan anaknya berada.

Poso masih mendung, Poso kembali berduka, mudahnya darah tertumpah dan begitu angkuhnya sang penembak pembuat kerusuhan itu menjalankan niatnya tak terjamah aparat keamanan Indonesia.

Tindak Tegas
Dalam kasus Poso tampak ada pihak-pihak yang tidak ingin kedamaian tercipta di Poso. Apapun alasannya, usaha untuk menghalangi kedamaian di Poso adalah musuh kemanusiaan. Siapa pun provokatornya harus ditangkap. Pemerintah harus bertindak tegas. Kasus Poso merupakan noda yang memalukan di negeri banyak agama yang dulu terkenal dengan toleransinya.

Polisi wajib mengejar penembak Pdt Irianto untuk menurunkan suasana Poso yang makin memanas dan kemudian memulihkan kepercayaan masyarakat yang sudah berada di titik nadir terhadap aparat keamanan. Polisi harus mengambil tindakan cepat dengan mengesampingkan semua cibiran masyarakat yang diterima saat ini terhadap korpsnya.

Bukan mustahil, dengan mengutamakan profesionalitas, kesempatan ini dapat dipergunakan oleh aparat keamanan untuk membangun citranya sebagai pelindung masyarakat. Apalagi perintah penanganan kasus Pdt Irianto ini keluar dari mulut Presiden dan seharusnya dilaksanakan dengan tegas, demi nama baik pemerintah yang sedang mengalami pasang surut kepercayaan.

Pelaku penembakan tersebut harus dihukum sesuai hukum yang berlaku, termasuk hukuman mati. Karena tindakan menembak Pdt Irianto bisa berakibat Poso makin memanas. Jika masyarakat tidak dapat menahan diri, bukan mustahil peristiwa itu akan kembali menelan korban manusia. Hukuman mati ini bukan merupakan usaha melampiaskan kebencian, tetapi untuk memberikan efek jera.

Bisa jadi pembunuh tersebut adalah pembunuh bayaran, dan ketika mereka merasa hukuman yang bakal diterima masih lebih ringan dari bayaran, aksi pembunuhan akan terus berlanjut. Apalagi yang jadi sasaran adalah seorang pemimpin yang disegani, tentunya penjahat tersebut mendapatkan bayaran yang sangat tinggi, pantaslah jika hukuman mati tersebut diberlakukan pada penembak Pdt Irianto.

Tindakan tegas aparat keamanan merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk menghembuskan mendung di langit Poso. Kesedihan Poso seharusnya juga menjadi kesedihan kita semua orang Indonesia, termasuk aparat keamanan. Dengan masuknya Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Kemanan PBB, kasus Poso merupakan noda yang amat memalukan.

Masihkah kita bisa tersenyum melihat Poso yang tak kunjung henti dirundung malang dan sengsara. Ibu Pertiwi pasti terus terisak menatap mendung yang terus bergayut di langit Poso. Semoga nafsu angkara murka bosan berdiam di Poso dan kedamaian mengguyur Poso seperti hujan yang tiada henti menghapus air mata ribuan manusia tak berdosa yang menderita.

Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.