- Investor Daily Indonesia, 1 Juni 2013
- Binsar A Hutabarat
- Waktu Baca: 6 menit
Antusiasme mereka yang ingin menduduki kursi empuk anggota DPR tak pernah surut meski harus menggelontorakan dana yang tidak kecil. Tapi, herannya, kualitas anggota DPR terpilih pada beberapa periode di era reformasi ini belum juga mengalami kemajuan.
Hal paling tampak adalah perihal kemalasan anggota DPR terpilih yang ternyata bertolak belakang dengan antusiasme mereka ketika mencalonkan diri. Anggota dewan yang malas, bahkan terindikasi kasus korupsi ternyata juga tidak kehilangan gairah untuk mencalonkan diri kembali.
Jika orang-orang malas dan terindikasi korupsi masih menghiasai wajah parlemen kita di masa depan, kinerja anggota dewan dipastikan akan tetap mandul. Anggota dewan tidak bisa bekerja dengan baik dalam menjalankan fungsi legislasi, bujeting, dan pengawasan. Rakyatlah yang kembali menjadi pihak yang paling dirugikan.
Selama ini, jika berbicara tentang rendahnya kualitas anggota DPR, gambarannya pun terbaca dengan jelas melalui produk yang dihasilkan DPR. Lihat saja, tak sedikit undang-undang yang telah disetujui anggota DPR yang langsung dihujani judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Lalu, apa jadinya jika kualitas anggota DPR yang memprihatinkan itu juga tak kunjung berubah? Citra anggota dewan pasti akan makin terpuruk. Mengamati sikap anggota dewan yang malas menghadiri rapat dan malas juga untuk mengunjungi konstituen, ke depan, tampaknya kita mesti punya aturan yang lebih tegas agar anggota dewan dapat melakukan tugasnya secara optimal.
Tak Sebanding Kemewahan
Sungguh amat menyesakkan hati bila kita menyaksikan kinerja anggota dewan kita selama ini yang tak optimal. Padahal, uang rakyat yang digelontorkan setiap tahun untuk membiayai mereka amat besar. Lihat saja dari sisi pendapatan, ada pendapatan rutin bulanan, dan rutin nonbulanan, dan ada juga yang sesekali.
Pendapatan rutin bulanan, antara lain, gaji paket Rp 15.510.00; bantuan listrik Rp 5.496.000; tunjangan aspirasi Rp 7,2 juta; tunjangan kehormatan Rp 3,15 juta; tunjangan komunikasi intensif Rp 12 juta; dan tunjangan pengawasan Rp 2,1 juta. Total seluruhnya berjumlah Rp 46,1 juta per bulan. Ini berarti pendapatan seorang anggota DPR setahun mencapai Rp 554 juta. Pendapatan bulanan ini semua anggota DPR sama.
Sementara itu, penerimaan nonbulanan meliputi, antara lain, gaji ke-13 setiap Juni Rp 16,4 juta dan dana penyerapan aspirasi setiap masa reses Rp 31,5 juta. Hitung saja, dalam satu tahun sidang ada empat kali masa reses. Ada juga dana perjalanan dinas komisi, perjalanan dinas ke luar negeri, atau perjalanan dinas saat reses. Total keseluruhan dalam setahun sekitar Rp 188 juta.
Penghasilan yang sifatnya sewaktu-waktu adalah insentif pembahasan rancangan undang-undang dan honor saat menggelar uji kelayakan dan kepatutan yang besarnya Rp 5 juta per kegiatan. Dengan adanya kebijakan baru berupa uang insentif legislasi Rp 1 juta per-RUU, ini berarti pemasukan anggota DPR semakin bertambah. Ada lagi uang insentif legislasi yang diterima setiap anggota DPR, yaitu sebesar Rp 39,7 juta. Apabila keseluruhan angka-angka tadi dihitung, itu berarti total uang yang diterima seorang anggota DPR dalam setahun mendekati Rp 1 miliar.
Sementara itu, data tahun 2006 menyebutkan, jumlah dana per tahun yang diterima seorang anggota DPR mencapai Rp. 761.000.000, dan tahun 2007 mencapai Rp 787.100.000. Apalagi jika pada waktu-waktu mereka tidak hadir itu ada proyek lain yang mereka kerjakan, maka sebenarnya gaji anggota DPR yang malas dengan yang rajin hampir tidak ada bedanya, bahkan anggota yang malas bisa jadi menerima pendapatan yang jauh lebih besar dari mereka yang rajin.
Itulah sesungguhnya suatu gambaran ketidakadilan. Ketentuan siapa yang bekerja keras lebih banyak pendapatannya, ternyata tidak berlaku di DPR. Antara anggota DPR yang malas dan anggota DPR yang rajin dan berkomitmen tetap mendapatkan porsi yang sama dalam hal gaji yang diterima. Ironisnya, hal ini terjadi dari tahun ke tahun, tanpa ada perubahan apa pun.
Jelas, kondisi buruk seperti ini tak boleh dibiarkan. Bangsa ini akan mengalami kerugian besar, selain karena biaya yang harus dibayar pasti akan jauh lebih besar, citra anggota DPR menjadi buruk, kinerja amburadul, dan kepercayaan publik kepada institusi parlemen akan merosot, yang bisa berakibat pada meledaknya jumlah pemilih yang golput.
Citra Anggota Dewan
Menduduki jabatan terhormat seharusnya memiliki konsekuensi logis bagi seorang anggota dewan, yakni mampu menjadi model atau contoh bagi masyarakat Indonesia. Perilaku anggota dewan mesti menjadi contoh hidup. Karena itu, menjaga citra anggota dewan menjadi tugas yang amat penting, dan di DPR itu dilakoni oleh Badan Kehormatan.
Di DPR, seharusnya ada aturan yang menetapkan kehadiran minimal anggotanya dalam rapat-rapat, khususnya rapat paripurna, karena peran anggota DPR dalam pembahasan RUU amat strategis, sekaligus terkait pada kepentingan masyarakat luas.
Anggota DPR yang tidak hadir rapat paripurna dan rapat penting DPR lebih dari 20% harus dikenai sanksi. Kehadiran itu penting agar mereka dapat membahas RUU secara matang dan teliti. Pernah ada usulan bahwa anggota DPR yang malas (pembolos) perlu diberikan sanksi moral dengan mengumumkan nama-nama mereka kepada publik.
Di samping itu, perlu juga sanksi lebih tegas, yakni pemotongan pendapatan anggota DPR. Adalah sangat tidak adil jika negara memberikan gaji besar pada anggota DPR yang malas. Jelas, itu sangat melukai hati rakyat Indonesia.
Di samping pemberian sanksi hukuman kepada anggota dewan yang nakal atau malas, perlu juga diberikan penghormatan kepada anggota dewan yang telah bekerja dengan baik. Mereka yang telah bekerja dengan baik perlu diperkenalkan kepada masyarakat, sehingga mereka memiliki peluang untuk menduduki jabatan-jabatan strategis lainnya setelah pengabdian mereka sebagai anggota dewan selesai, atau mereka boleh kembali menduduki kursi anggota dewan yang terhormat. Dengan cara itu maka citra anggota dewan yang terhormat dapat terjaga dengan baik.
Binsar A Hutabarat, Peneliti Reformed Center for Religion and Society