- Investor Daily, 2 Januari 2013
- Tandean Rustandy
- Waktu Baca: 6 menit
Tahun 2012 boleh disebut tahun penuh berkat. Secara makro, ekonomi bertumbuh 6,4%, meski sedikit di bawah target APBN 2012 sebesar 5,5%. Inflasi rendah, yaitu 4,6%, dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) stabil di tingkat 5,75%. Pasar modal Indonesia bertumbuh sekitar 13%. Sektor property juga bertumbuh signifikan.
Namun, pertanyaannya, apakah kesejahteraan masyarakat meningkat dan merata? Kinerja perumahan rakyat masih sangat memprihatinkan, baik dari sisi permintaan, pasokan, maupun pembiayaan. Peningkatan pendapatan masyarakat tidak mampu mengejar laju kenaikan harga rumah setiap tahun. Tergerusnya daya beli konsumen diperparah oleh pengembang yang melambungkan harga jual rumah demi keuntungan besar. Ini ditambah lagi dengan kendala penyaluran dana oleh perbankan.
Jadi, rumah masih tergolong sangat mahal bila dibanding dengan pendapatan riil masyarakat. Ini membuat golongan bawah bahkan tidak mampu membeli rumah susun sangat sederhana (RSSS). Akhirnya tak sedikit warga yang tinggal rumah-rumah kumuh yang kini semakin menjamur. Dapat kita simpulkan bahwa program RSSS tidak berjalan baik.
Hidup di Indonesia memang tidak murah bagi kalangan bawah. Di Amerika Serikat, Kentucky Fried Chicken dan McDonald adalah makanan kelas bawah, sedangkan di sini harganya tidak terjangkau oleh kaum buruh. Begitu pula sarapan di Hongkong area Tsim Tsa Shui. Semangkuk mie sapi, teh susu, roti panggang dijepit telur dan sosis seharga HK$27 (sekitar Rp 33.000). Bandingkan makan mie ayam spesial dan es teh manis di Puri Indah, dengan tempat yang lebih sederhana harganya mencapai RP 35.000. Harga tanah, tenaga kerja di Hongkong jauh lebih mahal dan hampir semua bahan makanan harus impor. Sedangkan harga ruko di Puri Indah, tenaga kerja dan bahan makanan jauh lebih murah dibandingkan Hongkong. Kenapa harga mie ayam di Jakarta begitu mahal?
Peran Pemerintah
Harga makanan sehari-hari mahal karena ketidaksungguhan pemerintah di dalam menganalisis kebutuhan rakyat. Pedagang memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil margin yang lebih besar. Hal ini tidak dilarang. Tetapi, apabila pedagang ingin mengambil keuntungan dalam jangka panjang, hal ini tidak baik. Apalagi jika tidak ada persaingan, ekonomi akan menjadi mahal.
Beberapa waktu lalu kita menyaksikan demo buruh menuntut kenaikan upah. Ini karena adanya kesenjangan daya beli dengan pendapatan. Kisruh upah buruh di DKI nampaknya akan panjang. Pasalnya, Upah Minimum Provinsi (UMP) yang ditetapkan untuk tahun 2013 sebesar Rp 2.200.000 ditolak oleh kalangan pengusaha. Mereka sudah menyatakan keberatannya atas UMP yang naik sekitar 44%. Apa yang salah sebenarnya?
Pemerintah harus mengintrospeksi diri. Demo buruh yang kurang diantisipasi oleh Kementerian Tenaga Kerja mencoreng citra pemerintah. Jangan berpikir muluk-muluk. Penguasa bersama pedagang harus mendorong dan memfasilitasi supaya harga barang-barang bisa terjangkau. Para “penguasa” jangan mempersulit kebijakan-kebijakan. Para pedagang perlu mengurangi profit margin untuk kepentingan pertumbuhan jangka panjang. Jangan egois. Pada akhirnya semua pihak diuntungkan dan pertumbuhan yang stabil akan membuat Indonesia menjadi negara yang lebih makmur.
Kami percaya daya jual dan beli terhadap barang maupun jasa sangat bergantung kemampuan pasar. Harga tiket Garuda di dalam negerinya termahal tetapi penumpang bersedia membayar lebih karena ada pelayanan yang lebih baik dibanding kompetitor lain. Tetapi Garuda harus jual lebih murah jika dibanding dengan maskapai luar negeri, karena pelayanannya masih kalah. Dengan adanya persaingan, maka ada harapan untuk lebih maju. Kompetisi yang sehat diantara pelaku bisnis dan penguasa akan membuat ekonomi menjadi sehat dan konsumen diuntungkan.
Pemerintah dengan bangga mengatakan tahun 2012 dilewati dengan prestasi luar biasa. Tapi, lihatlah dengan hati nurani masing-masing kementerian, apakah kinerjanya baik? Sepanjang tahun 2012 kita melihat sering terjadi tindak anarki karena masalah kecil. Demo buruh yang memaksa pabrik untuk setop produksi dan menutup jalan tol tidak bisa dikontrol oleh aparat keamanan.
Lihat pula jalanan di kota besar maupun kecil yang semakin macet karena pemerintah tidak mampu menyediakan transportasi massal yang efisien. Setiap musim hujan, banyak terjadi bencana tanah longsor dan banjir. Sebaliknya, ketika musim kemarau sawah-sawah kekeringan dan bandara terpaksa ditutup karena asap dari kebakaran hutan.
Masalah lain adalah perdagangan narkoba yang semakin menggila karena “didukung” bukannya dibasmi. Ini menunjukkan keteladanan dan ketegasan hukum bisa dipermainkan dan diperdagangkan. Dengan segudang permasalahan, pemerintah masih bisa tersenyum mengatakan bahwa mereka berprestasi!
Menciptakan Pemerataan
Kita kini memasuki tahun 2013. Ini bukan tahun yang mudah. Krisis Eropa yang belum juga menemukan solusi akan membuat krisis global semakin berat. Akibatnya, pertumbuhan ekspor tertekan, laju perekonomian melambat, dan inflasi akan meningkat seiring kenaikan UMR 40%. Jika hal seperti ini terjadi maka sektor manufaktur tidak bisa mencapai economy of scale dan tingkat pengangguran akan bertambah.
Kalau pada 2012 pertumbuhan sektor manufaktur lebih baik dibanding pertumbuhan nasional, apakah hal ini masih dapat dipertahankan untuk 2013? Banyak buruh, pengusaha, dan penguasa yang pasti masih peduli kepada negara ini. Tapi, sayangnya, masih ada segelintir manusia yang menjadikan praktik korupsi terus bertumbuh subur. Data yang dirilis Transparency International (TI) menyebutkan korupsi semakin akut di Indonesia. TI menyebutkan indeks tingkat korupsi di Indonesia naik dari peringkat 100 menjadi 118 pada tahun 2012.
Oknum-oknum dalam pemerintahan semakin berani korupsi, mulai dari walikota, bupati, gubernur, sampai anggota DPR, dari jendral, polisi, hingga hakim agung. Mereka tidak merasa malu dengan rakyat bawah.
Kita rupanya perlu belajar dari Karl Kraus, seorang satiris Austria yang mengatakan: “Korupsi lebih buruk dari prostitusi. Ia semakin lama semakin membahayakan moral, yang memulai akan selalu membahayakan moral seluruh negara.” Selama korupsi terus merajalela di segala level birokrasi, jangan kita harapkan akan adanya pemerataan. Negara ini bukan milik golongan, juga bukan milik perorangan. Karena itu, jangan memperkaya diri secara membabi buta!
Tandean Rustandy, Peneliti Senior Reformed Center for Religion and Society