Seputar Indonesia, 16 April 2007
Antonius Steven Un
Kasus kekerasan di IPDN dimetafora ahli psikologi Sartono Mukadis bagaikan film berseri, terus terjadi dari tahun ke tahun, dari rektor ke rektor bahkan dari nama ke nama.Dari APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri) menjadi STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) dan kini IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri).
Kalau praktik kekerasan tidak dihentikan, jangan-jangan akan berganti nama lagi menjadi KPDN (Kolese Pemerintahan Dalam Negeri) atau nama lain lagi. Pergantian nama cuma menjadi upaya fenomenal tanpa perubahan fundamental di dalamnya. Karena itu, Presiden telah memanggil Mendagri Ad Interim dan Rektor IPDN untuk membahas hal ini.
Setelah melalui berbagai kajian, pertimbangan dan masukan,akhirnya pemerintah mengambil enam langkah, yakni melanjutkan dan menuntaskan investigasi serta penegakan hukum kasus kematian praja Cliff Muntu; membekukan kegiatan internal Wahana Bina Praja; membentuk tim investigasi lintas departemen yang bekerja intensif selama dua bulan; dan menunda penerimaan praja baru selama satu tahun pelajaran.
Kita patut mengacungkan jempol bagi Presiden karena tanggap aspirasi masyarakat, mengambil langkah cepat, mendengarkan keluhan orangtua praja korban (orangtua Cliff Muntu), mencium bau militerisasi IPDN, dan lain-lain. Namun, sejumlah catatan penting perlu diberikan terkait upaya memutus rantai kekerasan yang telah melembaga di IPDN.
Problem Serius
Persoalan melembaganya kekerasan dalam pola pendidikan dan pengasuhan di IPDN harus diparadigma sebagai problem serius yang tidak bisa ditangani sekenanya saja.Hal itu disebabkan pola pengasuhan seniorjunior dengan pendekatan kekerasan merupakan sebuah perilaku dehumanisasi dan demoralisasi.
Merupakan dehumanisasi karena apa yang dilakukan senior kepada junior merendahkan martabat manusia bahkan lebih buruk dari perlakuan sebagian anggota masyarakat terhadap binatang kesayangannya/peliharaannya. Manusia dicipta sebagai citra Allah (imago Dei) yang sejatinya mendapatkan apresiasi sepatutnya.
Merupakan demoralisasi karena pola pengasuhan mengabaikan konsiderasi moral dalam pendekatannya,mengedepankan pendekatan kekerasan,sesuatu yang jarang terjadi di akademi militer atau akademi kepolisian.
Lagi pula,pendekatan kekerasan yang dipertontonkan senior kepada yunior akan membentuk sebuah pola (pattern) dan hal ini berbahaya tatkala para alumni IPDN akan bertugas di masyarakat sebagai birokrat, yang seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakat, tetapi dengan pendekatan ini, yang terjadi adalah birokrat despotik, otoriter, dan cenderung menjadi kejam kepada masyarakat. Selain itu, pola pendidikan ala premanisme demikian, sama sekali tidak sesuai semangat Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional, Nomor 20 tahun 2003.
Langkah Vital-Praktikal
Pertama, karena persoalan kekerasan yang berbuahkan kematian di IPDN adalah persoalan serius, tidak dibenarkan ada pihak mana pun yang menghambat upaya pemerintah mempurifikasi IPDN dari tradisi kekerasan, termasuk pejabat dan pimpinan IPDN yang telah terkooptasi tradisi premanisme yang melembaga itu.
Perlu lapang dada dari semua pihak jika nantinya tim investigasi benarbenar membongkar praktik ini agar kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) dalam institusi pendidikan yang berlangsung atas biaya negara itu benar-benar terekspos.
Kedua, karena kekerasan yang terjadi merupakan buah dari dendam kesumat yang telah menjadi lingkaran setan maka penundaan penerimaan praja baru selama setahun harus digunakan bukan saja untuk implementasi hasil evaluasi dan reformasi institusional dan kurikulum, melainkan memutus lingkaran setan tersebut.
Karena itu, perlu ada jaminan agar praja baru yang masuk pasca-vakumnya penerimaan mahasiswa baru tidak menerima perlakukan kekerasan sehingga memunculkan dendam kesumat. Hal itu penting karena setelah kematian praja Wahyu Hidayat pada 2003 dan perubahan nama menjadi IPDN, sejatinya praja angkatan 2004 ingin ditempatkan di kampus Institut Ilmu Pemerintahan di Jakarta agar tidak mengecap praktik kekerasan yang berpotensi menimbulkan dendam kesumat. Buktinya, penganiaya praja Cliff Muntu hingga tewas justru dilakukan praja angkatan 2004.
Ketiga, karena kasus ini terus terjadi berulang-ulang dan telah menimbulkan korban, pendekatan yang digunakan dan langkah yang ditempuh harus benar-benar strategis dan komprehensif. Pendekatan ad hoc yang bersifat reaktif tidak dapat digunakan lagi. Lagi pula, kalimat-kalimat klise dan pendekatan sekadar tebar pesona akan menyembunyikan dan malah melegitimasi akar persoalan di dalam tubuh lembaga pendidikan birokrat itu.
Tatkala praktik kekerasan menimbulkan korban Wahyu Hidayat pada 2003, muncul segala janji dan kalimat klise tebar pesona yang menegaskan bahwa praja asal Jawa Barat tersebut akan menjadi korban terakhir akibat kekerasan di IPDN. Ternyata, jatuh korban lagi. Jika pendekatan tidak benar-benar strategis dan komprehensif, tidak tertutup kemungkinan tiga atau empat tahun lagi akan jatuh korban berikutnya.
Keempat, perlu melakukan perombakan total personel pimpinan dan pengajar dan perlunya rekrutmen yang terbuka dan berakuntabilitas agar para pengajar baru benar-benar alergi dengan praktik kekerasan. Tanpa langkah ini, pendidik IPDN yang nuraninya telah terdistorsi, dikhawatirkan akan mengompromikan praktik keji tersebut di antara anak didik.
Terbukti, hanya dua dosen termasuk Inu Kencana Syafii yang terkenal vokal memprotes dan membongkar perlakuan dehumanisasi tersebut. Selain itu,semuanya univokal dengan praktik kekerasan yang telah melembaga. Lagi pula, univokalitas para pengajar dikhawatirkan disebabkan oleh praktik persekongkolan tutup mulut dengan membayar sejumlah uang kepada pengajar oleh para praja preman penganiaya. Tidak bisa tidak, reformasi radikal personel menjadi agenda prioritas.
Kelima, sesuai amanat UU No 20 tahun 2003 agar pendidikan diploma dan sarjana ditempatkan di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Pendidikan kedinasan di bawah departemen hanyalah pendidikan profesi sesuai Pasal 29 UU 20/2003. Hal itu penting karena kapasitas keahlian dalam mengelola pendidikan diploma dan kesarjanaan milik pemerintah, selain TNI/Polri berada di bawah Depdiknas.
Dengan demikian,konsentrasi manajemen dan penataan kurikulum diharapkan menjadi lebih baik. Lagi pula, Departemen Dalam Negeri mempunyai tugas, urusan,dan persoalan yang tidak sedikit, kini harus ditambah lagi dengan mengurusi sesuatu yang bukan bidangnya.
Antonius Steven Un, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society