Dhimas Anugrah
michaeldhimasanugrah@gmail.com
Mahasiswa Doktoral STT Reformed Injili Internasional
Waktu Baca: 20 menit
Pendahuluan
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam hal harmoni sosial di tengah keberagaman etnis, agama, dan politik. Sebagai negara dengan populasi yang plural, Indonesia memerlukan fondasi konseptual yang kuat agar kebinekaan ini tidak menjadi sumber konflik, tetapi justru menguatkan persatuan.
Dalam konteks ini, pemikiran Abraham Kuyper dalam Lectures on Calvinism menawarkan perspektif yang relevan. Konsep sphere sovereignty sebagai gagasannya menegaskan bahwa setiap bidang kehidupan, seperti agama, politik, dan ekonomi, memiliki otoritasnya sendiri yang perlu dihormati dan tidak boleh didominasi oleh satu kelompok tertentu. Dengan prinsip ini, pluralitas dapat dikelola secara adil tanpa mengorbankan hak-hak kelompok yang disebut sebagai “minoritas”.
Lebih jauh, gagasan common grace yang dikembangkan Kuyper menjelaskan bahwa rahmat umum Tuhan memungkinkan berbagai kelompok dengan identitas berbeda bekerja sama demi kebaikan bersama. Gagasan ini sejalan dengan sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, yang menekankan pentingnya penghormatan terhadap sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian, pemikiran Kuyper dapat memberikan kontribusi berharga dalam merumuskan pendekatan yang menjaga keseimbangan antara kebebasan setiap warga negara dan kepentingan kolektif. Sebagai negara demokratis yang menjunjung tinggi keberagaman, Indonesia membutuhkan landasan intelektual yang dapat memperkuat harmoni dan keadilan sosial. Karena itu, pemikiran Kuyper dalam wacana sosial-politik Indonesia bukan hanya menjadi relevan, tetapi juga mendesak dalam menghadapi tantangan zaman.
Namun, gagasan-gagasan Kuyper tersebut juga memiliki keterbatasan. Sphere sovereignty cenderung menimbulkan segregasi sosial yang meruncing. Sementara itu, common grace tidak dapat menawarkan kerangka teologis yang dapat diterima oleh semua golongan. Oleh sebab itu, penulis memulai analisisnya dengan memperkenalkan pemikiran Kuyper, Setelah itu, penulis menggunakan lensa Kuyper untuk meneropong dua kasus di Indonesia: Pilkada DKI Jakarta 2017 dan GKI Yasmin. Dengan dua kasus tersebut, penulis berupaya mengintegrasikan pemikiran Kuyper dengan Rawls dan Walzer, serta menawarkan rekomendasi dalam bidang tata kelola keagamaan.
Mengenal Pemikiran Kuyper
Abraham Kuyper (1837–1920) adalah seorang teolog, politikus, dan jurnalis asal Belanda yang berpengaruh besar dalam bidang teologi, politik, dan budaya. Ia mendirikan Vrije Universiteit di Amsterdam pada tahun 1880, sebuah universitas yang didedikasikan untuk pendidikan berbasis iman Kristen yang bebas dari kontrol negara dan gereja yang mapan. Selain itu, Kuyper juga aktif berpolitik dan menjadi Perdana Menteri Belanda (1901–1905). Di posisi tersebut, ia memperjuangkan kebijakan yang melindungi hak-hak kelompok religius dalam pendidikan dan kehidupan publik.
Di tengah perdebatan mengenai hubungan antara agama dan negara, Kuyper mengembangkan dua konsep utama, yaitu sphere sovereignty dan common grace. Kedua konsep ini ditawarkan sebagai kerangka di dalam memahami interaksi iman Kristen dengan dunia, khususnya dalam pembentukan tatanan sosial, politik, dan budaya yang adil dan pluralistik.
Pendekatan sphere sovereignty dan common grace memiliki relasi yang saling melengkapi dalam pengelolaan keberagaman sosial-politik. Sphere sovereignty menetapkan batas yang jelas di antara berbagai sektor kehidupan agar tidak terjadi dominasi satu entitas atas yang lain. Konsep ini menegaskan bahwa dunia terdiri atas berbagai “bidang” atau “sphere“, seperti keluarga, gereja, sekolah, bisnis, sains, seni, dan negara, yang masing-masing memiliki kedaulatannya sendiri di bawah otoritas Tuhan. Setiap bidang bertanggung jawab menjalankan perannya secara mandiri, tanpa campur tangan berlebihan dari lingkup lain. Dalam konteks politik, pemikiran ini menegaskan bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan gereja, begitu pula sebaliknya, sehingga tercipta keseimbangan antara kebebasan individu, masyarakat, dan institusi.
Di sisi lain, common grace memberikan dukungan teologis bagi keterlibatan nilai-nilai kristiani dalam dunia sekuler. Meskipun manusia telah jatuh ke dalam dosa, Tuhan tetap memberikan anugerah umum kepada seluruh umat manusia, termasuk yang tidak beriman, agar dunia tetap dapat berfungsi dan menghasilkan keadilan, keindahan, serta kebenaran dalam berbagai aspek kehidupan. Common grace menjelaskan perkembangan sains, seni, dan moralitas walaupun tidak semua orang memiliki iman yang sama. Dengan demikian, anugerah umum memungkinkan kolaborasi antara orang-orang dari berbagai latar belakang dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Kombinasi antara sphere sovereignty dan common grace menawarkan sebuah paradigma yang menyeimbangkan antara otonomi sosial dan peran iman dalam kehidupan publik. Sphere sovereignty menjaga agar tidak ada institusi yang mendominasi secara berlebihan, sedangkan common grace memungkinkan interaksi yang lebih luas antara komunitas religius dan sekuler. Dalam aplikasinya, sphere sovereignty berisiko menciptakan segregasi sosial jika diterapkan secara rigid. Tanpa adanya mekanisme interaksi antarkelompok, masyarakat dapat terfragmentasi dalam “lingkaran-lingkaran eksklusif” yang justru melemahkan kohesi sosial. Oleh karena itu, common grace hadir sebagai pelengkap yang mendorong kerja sama dan keterhubungan di antara komunitas yang berbeda. Hal itu dapat memastikan keberagaman tetap dapat dikelola dalam semangat inklusivitas. Kedua model ini telah memberikan pengaruh besar dalam konsep pluralitas sosial dan prinsip subsidiaritas yang masih relevan dalam diskusi tentang hubungan antara agama, negara, dan masyarakat hingga saat ini.
Dalam konteks Indonesia, pemisahan antarsektor kehidupan menurut sphere sovereignty memang dapat mencegah dominasi kelompok mayoritas terhadap minoritas. Akan tetapi, jika diterapkan tanpa nuansa sosial yang lebih fleksibel, ia berpotensi menghambat interaksi lintas kelompok yang justru diperlukan untuk membangun bela rasa kebangsaan. Misalnya, dalam kebijakan pendidikan, penerapan sphere sovereignty dapat melegitimasi eksistensi sekolah-sekolah berbasis agama secara eksklusif. Meski ini melindungi hak kelompok tertentu menjalankan nilai-nilai mereka secara mandiri, tanpa kehadiran prinsip common grace, model ini dapat mengurangi kesempatan bagi interaksi lintas kelompok yang diperlukan untuk membangun sikap saling memahami dan menghormati.
Sebaliknya, jika common grace diterapkan tanpa prinsip sphere sovereignty, ada risiko bahwa otonomi sektor tertentu dapat dikompromikan dalam upaya menciptakan inklusivitas. Sebagai contoh, dalam kebijakan keagamaan, prinsip common grace dapat mendorong upaya menciptakan ruang publik yang lebih terbuka bagi berbagai kepercayaan. Namun, tanpa batasan yang jelas dari sphere sovereignty, negara bisa tergoda untuk mengintervensi secara berlebihan dalam urusan keagamaan sehingga melemahkan kebebasan beragama yang seharusnya dijamin.
Karena itu, sintesis antara kedua konsep ini perlu diterapkan secara seimbang. Sphere sovereignty memberikan struktur yang memungkinkan setiap sektor menjalankan perannya secara independen. Sementara itu, common grace memastikan batasan tersebut tidak mengarah pada isolasi sosial, tetapi justru menjadi titik tolak bagi kerja sama lintas identitas. Dengan demikian, model tata kelola keberagaman yang diterapkan tidak hanya melindungi hak kelompok tertentu, tetapi juga mendorong integrasi sosial yang lebih harmonis.
Dalam kebijakan publik, sintesis ini dapat diwujudkan melalui pendekatan yang membangun interaksi yang sehat antara komunitas yang berbeda tanpa merusak otonomi masing-masing sektor. Misalnya, negara dapat mendorong program pendidikan multikultural yang tetap menghargai keunikan setiap kelompok. Di sisi lainnya, ruang bagi dialog dan kerja sama perlu terbuka. Begitu pula dalam kebijakan politik, regulasi dapat dirancang agar tidak membiarkan politisasi agama mendominasi proses demokrasi, tetapi tetap menghormati peran agama dalam membentuk nilai-nilai sosial.
Dengan memahami sphere sovereignty dan common grace sebagai dua sisi dari satu mata uang, kita dapat menghindari dua ekstrem: segregasi sosial yang eksklusif dan intervensi negara yang berlebihan. Alih-alih hanya mempertahankan batas-batas institusi, pendekatan ini layak diperkaya dengan upaya membangun interaksi yang bermakna di antara berbagai kelompok masyarakat. Jika diterapkan dengan tepat, sintesis ini tidak hanya akan menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan harmoni sosial, tetapi juga menciptakan tatanan sosial-politik yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan dalam menghadapi tantangan pluralisme di Indonesia.
Lensa Kuyper Menilik Dua Kasus di Indonesia
Dalam demokrasi yang plural seperti Indonesia, relasi antara agama dan politik sering kali menjadi pemicu (precipitating factor) ketegangan sosial. Politisasi identitas berbasis agama telah berulang kali menciptakan polarisasi di masyarakat, menghambat integrasi sosial, serta menimbulkan konflik berkepanjangan. Untuk menghadapi tantangan ini, pemikiran Kuyper tentang sphere sovereignty dan common grace menawarkan pendekatan yang tidak hanya menjamin keadilan struktural, tetapi juga memperkuat harmoni dalam kehidupan bersama.
Sphere sovereignty menegaskan bahwa setiap sektor kehidupan, termasuk agama dan politik, memiliki otoritasnya sendiri yang perlu dihormati dan tidak boleh didominasi oleh pihak lain. Dengan penerapan prinsip ini, agama tidak seharusnya dijadikan alat politik untuk memperoleh kekuasaan, dan negara tidak boleh mencampuri otonomi komunitas keagamaan dalam menjalankan keyakinannya. Sementara itu, common grace berperan sebagai landasan bagi kerja sama lintas kelompok—meski terdapat perbedaan keyakinan—untuk menawarkan setiap warga negara memiliki kapasitas berkontribusi dalam menciptakan kebaikan bersama. Dalam konteks Indonesia yang memiliki keberagaman sebagai kenyataan sosial yang tak terelakkan, kedua konsep ini dapat menjadi fondasi bagi upaya menjaga keseimbangan antara kebebasan beragama dan stabilitas politik.
Penerapan konsep sphere sovereignty dan common grace dalam realitas politik Indonesia dapat dilihat melalui dua kasus penting: Pilkada DKI Jakarta 2017 dan polemik pembangunan rumah ibadah GKI Yasmin. Kedua peristiwa ini menunjukkan relasi agama dan politik di Indonesia yang masih menghadapi berbagai tantangan, tetapi sekaligus memberikan ruang bagi refleksi atas relevansi pemikiran Kuyper dalam mengelola pluralisme secara lebih adil dan inklusif.
Pilkada DKI Jakarta 2017: Ketika Polarisasi Politik Meracuni Warga Ibukota
Momen Pilkada DKI Jakarta 2017 merupakan salah satu contoh paling jelas tentang penggunaan agama sebagai instrumen politik untuk membentuk opini publik dan membangun kekuatan elektoral. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), calon petahana dari kelompok minoritas, menjadi sasaran politisasi agama yang masif. Saat itu, narasi sektarian digunakan untuk menggeser dinamika politik dari pertarungan kebijakan menjadi persaingan berbasis identitas. Kampanye yang didominasi oleh sentimen agama ini memperkuat polarisasi di masyarakat dan menunjukkan batas antara ranah agama dan politik telah diabaikan demi kepentingan elektoral.
Dari perspektif sphere sovereignty, fenomena ini mencerminkan kegagalan dalam menjaga otonomi masing-masing sektor kehidupan. Idealnya, politik selayaknya berorientasi pada visi, program, dan kapasitas kepemimpinan—bukan pada mobilisasi identitas keagamaan. Kuyper mengusulkan agar negara dan agama perlu menjalankan perannya masing-masing tanpa mencampuradukkan kepentingan yang dapat mengarah pada dominasi kelompok tertentu terhadap yang lain. Jika prinsip ini diterapkan dengan konsisten, pemilu dapat menjadi ajang kompetisi yang rasional dan berbasis kebijakan, bukan sekadar alat untuk memperkuat eksklusivisme politik.
Di sisi lain, konsep common grace menyoroti pentingnya kerja sama antarkelompok dalam pembangunan masyarakat yang inklusif. Polarisasi dalam Pilkada DKI Jakarta menunjukkan bahwa prinsip ini belum diterapkan secara optimal. Alih-alih melihat perbedaan sebagai kekuatan yang dapat memperkaya dinamika demokrasi, agama justru dijadikan alat untuk menyingkirkan pihak lain dari arena politik. Jika common grace benar-benar diamalkan, masyarakat akan lebih mampu membangun politik yang berbasis pada dialog dan kolaborasi, bukan segregasi berbasis identitas.
Sengketa GKI Yasmin: Negara yang Gagal Menegakkan Keadilan
Kasus GKI Yasmin di Bogor memperlihatkan ketegangan antara agama dan politik yang tidak hanya muncul dalam arena elektoral, tetapi juga dalam penegakan hukum dan kebijakan publik. Meski Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan yang mengizinkan GKI Yasmin beroperasi, pemerintah daerah tetap menunda implementasinya akibat tekanan dari kelompok tertentu yang menolak keberadaan gereja tersebut.
Dalam perspektif sphere sovereignty, kasus ini merupakan contoh konkret kegagalan negara menjalankan fungsinya secara independen. Pemerintah daerah sudah selayaknya bertindak sebagai penegak hukum yang netral dan tidak tunduk pada tekanan politik berbasis agama. Ketika keputusan hukum yang sah tidak dijalankan karena kepentingan mayoritas, negara telah mengingkari kedaulatannya sendiri dan menciptakan ketidakadilan bagi kelompok minoritas. Prinsip sphere sovereignty menuntut agar negara bertindak sebagai pelindung hak-hak semua warga negara, bukan sebagai perpanjangan tangan kelompok mayoritas yang ingin mendikte kehidupan publik.
Lebih jauh, kasus ini juga menunjukkan lemahnya pemahaman terhadap konsep common grace di sebagian masyarakat. Keberagaman masih sering dipandang sebagai ancaman daripada sumber harmoni sosial. Jika prinsip common grace benar-benar dihayati, masyarakat akan lebih terbuka terhadap keberadaan kelompok lain. Mereka akan memahami bahwa keberagaman bukanlah hambatan, melainkan aset dalam membangun kehidupan bersama yang lebih inklusif. Dengan menginternalisasi prinsip ini, kebijakan publik tidak hanya akan berorientasi pada mayoritas, tetapi juga menghormati hak-hak kelompok minoritas sebagai bagian dari tatanan sosial yang adil.
Belajar dari Dua Pengalaman
Dari kedua kasus ini, terlihat jelas tantangan dalam pengelolaan relasi antara agama dan politik di Indonesia masih sangat besar. Politisasi agama dalam pemilu serta kegagalan negara dalam menegakkan hukum secara netral menunjukkan bahwa prinsip sphere sovereignty belum sepenuhnya dijalankan. Ketidakseimbangan ini tidak hanya memperdalam fragmentasi sosial, tetapi juga mengancam harmoni dalam masyarakat plural.
Di sisi lain, lemahnya penerapan common grace terlihat dari minimnya inisiatif membangun percakapan dan kerja sama lintas kelompok. Dalam masyarakat yang terus mengalami perubahan sosial, pemahaman mengenai kerja sama lintas identitas adalah langkah krusial dalam membangun kohesi sosial. Dengan menegaskan kembali batas antara agama dan politik serta mendorong semangat kebersamaan, Indonesia dapat bergerak menuju tatanan sosial yang lebih adil dan inklusif.
Karena itu, analisis lebih lanjut diperlukan guna mengeksplorasi gagasan Kuyper agar dapat diterapkan dalam kebijakan publik dan praktik sosial di Indonesia. Keberagaman yang terus berkembang menuntut perumusan strategi yang lebih komprehensif dalam penjagaan harmoni sosial. Pemikiran Kuyper, jika diterapkan secara kontekstual dan fleksibel, dapat menjadi landasan bagi kebijakan yang tidak hanya menjamin keadilan struktural, tetapi juga membangun fondasi bagi kehidupan bersama yang lebih inklusif dan berkeadaban.
Dialektika bagi Pemikiran Kuyper
Pemikiran Abraham Kuyper tentang sphere sovereignty dan common grace menawarkan pendekatan yang brilian dan unik dalam mengelola keberagaman sosial-politik, secara khusus di Indonesia. Namun, untuk memperkaya diskusi, teologi Kuyper ini perlu juga dibandingkan dengan gagasan John Rawls tentang political liberalism dan Michael Walzer dengan konsepnya spheres of justice. Dengan membandingkan perspektif ini, kita dapat mengidentifikasi keunggulan dan keterbatasan model Kuyper, serta menawarkan pendekatan yang lebih utuh untuk Indonesia.
Dalam political liberalism, Rawls berargumen tentang keadilan yang perlu dirancang dalam kerangka yang memungkinkan semua orang, terlepas dari keyakinan moral atau agama mereka, untuk berpartisipasi dalam sistem politik yang adil. Prinsip overlapping consensus Rawls menekankan bahwa, dalam masyarakat plural, legitimasi politik perlu didasarkan pada alasan publik yang dapat diterima oleh berbagai kelompok, bukan pada satu doktrin agama atau ideologi tertentu. Dalam hal ini, sphere sovereignty Kuyper memiliki kesamaan dengan Rawls karena keduanya menekankan pentingnya pemisahan di antara berbagai ranah kehidupan. Namun, jika Rawls mendorong netralitas negara dalam kebijakan publik agar semua warga negara dapat merasa diakomodasi, Kuyper lebih menekankan pada pemeliharaan otonomi sektor kehidupan berdasarkan nilai-nilai agama dan budaya masing-masing.
Di sinilah letak tantangan utama dalam pemikiran Kuyper: meski sphere sovereignty dapat mencegah dominasi satu kelompok atas yang lain, ia berisiko menciptakan kelompok-kelompok yang semakin terfragmentasi jika setiap komunitas hanya beroperasi dalam batasannya sendiri tanpa keterlibatan dalam wacana publik yang lebih luas. Dalam konteks Indonesia, sekali lagi, hal ini dapat memperburuk segregasi sosial sehingga kelompok agama atau etnis tertentu hanya berinteraksi dalam lingkup mereka sendiri tanpa ada ruang untuk dialog yang lebih luas. Karena itu, gagasan Rawls tentang overlapping consensus dapat menjadi pengayaan bagi teologi publik Kuyper, dengan penekanan bahwa meski setiap sektor kehidupan memiliki otonomi, perlu ada prinsip keadilan yang bisa diterima oleh semua pihak sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan publik.
Michael Walzer, di pihak lain, menawarkan perspektif yang lebih dekat dengan Kuyper melalui konsep spheres of justice. Walzer menawarkan pemikiran bahwa keadilan tidak dapat disamakan di dalam semua bidang kehidupan. Setiap bidang atau sphere memiliki prinsip distribusi yang berbeda, tergantung pada nilai yang dipegang dalam bidang tersebut. Misalnya, keadilan dalam bidang pendidikan tidak bisa diatur dengan prinsip yang sama seperti keadilan dalam politik atau ekonomi. Pendekatan ini mirip dengan sphere sovereignty karena keduanya menekankan bahwa institusi sosial memiliki aturan internal yang tidak boleh diganggu oleh institusi lain. Namun, perbedaan utamanya adalah Walzer lebih fleksibel dalam memahami keterkaitan antarbidang, sementara Kuyper lebih cenderung mempertahankan batasan yang tegas antarbidang kehidupan.
Dalam konteks Indonesia, sintesis antara Kuyper dan Walzer dapat membantu dalam perancangan kebijakan publik yang lebih adaptif. Misalnya, dalam pengelolaan keberagaman agama di ruang publik, pendekatan sphere sovereignty dapat digunakan untuk memastikan bahwa institusi keagamaan memiliki otonomi dalam mengatur urusan internal mereka. Namun, pada saat yang sama, prinsip spheres of justice Walzer dapat digunakan dalam penentuan intervensi negara yang diperlukan untuk menjamin distribusi keadilan yang lebih luas.
Dalam kasus GKI Yasmin, misalnya, prinsip Kuyper akan menegaskan bahwa komunitas agama memiliki hak beribadah tanpa campur tangan politik, tetapi pendekatan Walzer akan menunjukkan—dalam hal akses terhadap ruang publik—perlu ada mekanisme distribusi yang adil dan memungkinkan kelompok agama lain mendapatkan perlakuan serupa.
Sementara itu, common grace dalam pemikiran Kuyper dapat dibandingkan dengan konsep Rawlsian tentang public reason. Anugerah umum menekankan bahwa semua manusia, tanpa memandang perbedaan kepercayaan, memiliki kapasitas kerja sama demi kebaikan bersama. Di pihak lainnya, public reason Rawls menuntut bahwa, dalam diskursus publik, seseorang perlu menggunakan alasan yang dapat dipahami oleh semua warga negara, bukan hanya oleh mereka yang berasal dari satu komunitas agama tertentu.
Perbedaannya adalah common grace tetap mengacu pada gagasan anugerah Tuhan sebagai dasar bagi kerja sama lintas identitas, sedangkan public reason menghindari justifikasi teologis dalam ranah politik. Dalam praktiknya, pendekatan Rawls dapat menjadi pengayaan terhadap teologi common grace ala Kuyper yang masih memiliki kecenderungan menempatkan kerangka teologis sebagai dasar kerja sama sosial. Di Indonesia, sintesis antara kedua pendekatan ini dapat mendorong negara tetap menjamin netralitas dalam hukum dan kebijakan, tetapi juga mengakui nilai-nilai agama sebagai bagian dari dinamika sosial yang sah.
Dengan demikian, jika teologi publik Kuyper diintegrasikan dengan pemikiran filosofis Rawls dan Walzer, niscaya dapat dihasilkan model tata kelola pluralitas yang lebih komprehensif. Sphere sovereignty tetap dapat menjaga otonomi setiap sektor kehidupan, sekaligus perlu dikombinasikan dengan prinsip overlapping consensus Rawls agar ada titik temu yang dapat diterima oleh semua kelompok dalam perumusan kebijakan publik. Demikian pula, common grace dapat menjadi dasar bagi kerja sama sosial, tetapi boleh diperkaya dengan konsep public reason agar justifikasi kebijakan tetap dapat diterima dalam masyarakat yang beragam. Sementara itu, pendekatan Walzer membantu dalam memahami penerapan keadilan secara kontekstual dalam berbagai bidang kehidupan tanpa menciptakan monopoli atau eksklusivisme.
Dalam konteks Indonesia, sintesis ini dapat menciptakan keseimbangan antara kebebasan individu, keadilan kolektif, dan harmoni sosial. Dengan mengadaptasi elemen-elemen dari Kuyper, Rawls, dan Walzer, kebijakan publik dapat dirancang sedemikian rupa agar tidak hanya memastikan netralitas negara dalam hukum, melainkan juga memberikan ruang bagi identitas dan nilai-nilai komunitas yang berbeda untuk berkembang tanpa terjebak dalam eksklusivisme atau segregasi. Ini adalah tantangan besar, tetapi juga peluang untuk membangun model tata kelola pluralisme yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan di Indonesia.
Akhirulkalam
Keberagaman Indonesia menuntut tata kelola sosial yang tidak hanya adil, tetapi juga mendorong interaksi yang sehat antarkelompok. Pemikiran Abraham Kuyper tentang sphere sovereignty dan common grace menawarkan fondasi relevan yang memerlukan pendekatan lebih adaptif. Sintesisnya dengan political liberalism John Rawls dan spheres of justice Michael Walzer memberikan keseimbangan antara otonomi institusi, keadilan distributif, dan ruang publik yang inklusif.
Dalam praktiknya, sphere sovereignty bisa saja dikombinasikan dengan overlapping consensus agar kebijakan publik diterima oleh semua pihak. Sementara itu, common grace perlu diperkuat dengan public reason untuk memastikan kerja sama sosial tidak hanya berbasis nilai teologis, tetapi juga rasionalitas universal.
Dengan mengintegrasikan buah pikir Kuyper, Rawls, dan Walzer, Indonesia dapat membangun sistem sosial-politik yang lebih inklusif tanpa mengorbankan identitas dan kebebasan beragama. Pluralitas bukan sekadar menjaga batas di antara kelompok, tetapi juga menciptakan mekanisme interaksi yang menjadikan perbedaan sebagai sumber harmoni, bukan segregasi. Tantangan ini besar, tetapi keberagaman yang dikelola dengan tepat dapat menjadi aset utama bagi kohesi sosial dan keadilan bagi semua warga negara.
DAFTAR PUSTAKA
Crouch, Melissa. Law and Religion in Indonesia: Conflict and the Courts in West Java. London: Routledge, 2014.
Fealy, Greg. Indonesian Politics and Religion: Hardening of Identity Politics. Canberra: Australian National University Press, 2017.
Heslam, Peter S. Creating a Christian Worldview: Abraham Kuyper’s Lectures on Calvinism. Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Co., 1998.
Kuyper, Abraham. Lectures on Calvinism. Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Co., 1931.
_____ . Common Grace, Vol. 1: God’s Gifts for a Fallen World. Edited by Jordan J. Ballor and Stephen J. Grabill. Grand Rapids, MI: Christian’s Library Press, 2013.
____. “Sphere Sovereignty” in _Abraham Kuyper: A Centennial Reader. Edited by James D. Bratt. Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Co., 1998.
Rawls, John. Political Liberalism: Expanded Edition. New York: Columbia University Press, 2005.
Walzer, Michael. Spheres of Justice: A Defense of Pluralism and Equality. New York: Basic Books, 1984.
Penyunting:
Semy Arayunedya
20 Februari 2025