Memerdekakan Pengidap HIV/AIDS

Suara Pembaruan, 8 Agustus 2009
Joseph H. Gunawan

Hingga Juli 2009, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) DKI Jakarta mendeteksi 4.000 kasus HIV/AIDS dari 25.000 pengidap. Terjadi peningkatan 10 persen dibandingkan pada 2008, dengan 3.761 kasus. Hampir 70 persen jumlah penderita HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) terinfeksi via pengguna narkotika suntik (penasun) yang memakai jarum suntik secara bergantian.

Berdasarkan data survei yang dirilis Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Puslitkes UI pada 2004, dari angka prevalensi penyalahgunaan narkoba sebesar 3,2 juta pengidap, terungkap 572.000 orang sebagai penasun berpotensi terjangkit HIV/AIDS. Hasil penelitian Departemen Kesehatan pada 2005 melaporkan fakta penyebaran HIV/AIDS oleh penasun sebesar 50,1 persen. Biaya ekonomi sosial narkoba mencapai Rp 23,6 triliun setahun dan konsumsi narkoba terbesar memakan biaya ekonomi Rp 11,3 triliun. Kian mengkhawatirkan sekaligus merisaukan.

Data tersebut di atas semakin mengiyakan laporan hasil riset dari The Lancet, General Medical Journal, Inggris pada September 2008 yang menyingkapkan, 3 juta penasun di dunia terjangkit HIV positif. Para peneliti dari University of New South Wales, Australia, pun menyebutkan, tingkat infeksi HIV di kalangan penasun menunjukkan tren peningkatan.

Jelas, Pemerintah Indonesia perlu segera menetapkan politik penanggulangan AIDS yang gamblang. Momentum penting bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan dan mengimplementasikan alokasi anggaran yang cukup untuk memerangi AIDS yang makin memprihatinkan itu. Sudah seyogianya perhatian terhadap ancaman negara dan wabah HIV/AIDS direspons pemerintah dengan menghadirkan kemauan politik, kebijakan pembangunan politik, serta kepemimpinan yang kontekstual untuk mengatasi dan menekan laju penyebaran HIV/AIDS, yaitu suatu politik kepemimpinan memerangi HIV/AIDS.

Sejak penemuan kasus pertama di Bali pada 1987, HIV/AIDS terus menyebar ke semua provinsi di Indonesia. Depkes RI menyebutkan, jumlah pengidap HIV di Indonesia mencapai 5.904 orang hingga September 2007. Dalam periode Juli-September 2007, teridentifikasi 695 kasus AIDS dilaporkan dari 20 provinsi.

Sampai 31 Desember 2007, data KPA Nasional memperlihatkan secara kumulatif tercatat 17.207 kasus dengan perincian, 11.141 kasus penderita AIDS dan 6.066 kasus HIV di Indonesia. Berdasarkan data KPA, hingga 31 Maret 2008, secara kumulatif terdapat 11.868 kasus AIDS telah dilaporkan dari 32 provinsi, 194 kabupaten/kota. Pada 2004, kasus HIV/AIDS hanya ditemukan di 16 provinsi. Lonjakan yang sangat drastis kalau dibandingkan dengan data Juni 2006, yang tercatat 10.859 kasus.

Kampanye Kesehatan
Meminjam pandangan Edward C Green dari Harvard University dan Kim Witte dari Michigan State University, strategi pendekatan fear arousal dapat berperan utama dalam kampanye kesehatan masyarakat dan pendidikan pencegahan HIV/AIDS secara efektif dan sukses dalam mengendalikan perubahan perilaku seksual dan penasun ke arah yang tepat dan sehat jikalau dikombinasikan dan digabung dengan self-efficacy.

Jacob Bor dari Harvard University melihat, intervensi yang melibatkan pemerintahan nasional sanggup dan bisa menghambat jumlah penyebaran epidemi global tersebut secara berarti dan penting, menunda kematian ODHA yang terinfeksi dan meminimalkan dampak yang lebih luas.

Pemerintah Indonesia seharusnya lebih responsif terhadap permasalahan epidemi global ini. Jangan menunggu sampai tingkat epidemi HIV/AIDS tinggi baru menjadi prioritas politik. Apalagi, sejak 2000, HIV/AIDS di Indonesia berstatus low prevalence epidemic menjadi concentrated level epidemic. Diharapkan, antisipasi pemerintah dengan lebih berkomitmen dan bekerja lebih keras lagi, walaupun UNICEF telah ikut turun tangan mengatasi HIV/AIDS di beberapa provinsi khususnya Papua dan Papua Barat.

Sejak munculnya epidemi global, HIV/AIDS seyogianya diperlakukan sebagai suatu krisis politik yang harus diselesaikan secara politik dan pola penanganannya komprehensif, terpadu, dan terintegrasi dengan melibatkan partisipasi dan kerja sama seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah Indonesia perlu menetapkan politik kepemimpinan dengan membangun koordinasi, konsolidasi, dan integrasi kebijakan, baik kebijakan meminimalkan dampak buruk maupun kebijakan komunikasi pengendalian perubahan perilaku, serta mekanisme kerja dalam sistem penanggulangan menghambat lajunya penyebaran epidemi tersebut.

Diperlukan kebijakan pencegahan secara terfokus dengan menyebarkan informasi melalui pelayanan, penyuluhan, sosialisasi, edukasi, dan media yang merata untuk mengurangi angka penularan dan pemahaman keliru, stigma dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya. Kepemimpinan dan kemauan politik yang tegas, kuat, dan konsisten merupakan faktor penting dalam terselenggaranya kisah keberhasilan tersebut.

Hendaknya kongres internasional AIDS Asia dan Pasifik (ICAAP) ke-9 di Bali, 9-13 Agustus 2009, dijadikan momentum untuk memerangi HIV/AIDS mengingat telah menjadi ancaman bagi negara kalau dilihat dari sudut epidemiologi, apalagi hampir di semua provinsi terdapat kasus HIV/AIDS.

Joseph H. Gunawan, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.