Antonius Steven Un
Kompas Jawa Timur, 6 Februari 2007
Waktu baca: 5 menit
Sekalipun pemilihan umum baru akan diadakan dua tahun lagi, euforia demokrasi mulai terjadi dengan berdirinya beberapa partai politik baru. Pendirian partai politik baru, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, berimbas pada pengadaan struktur kepengurusan di daerah.
Sejatinya, dengan semakin banyak partai politik (parpol) baru didirikan ditambah dengan pengadaan struktur hingga ke tingkat kecamatan, seharusnya kanal aspirasi politik menjadi semakin banyak sehingga kepentingan masyarakat menjadi lebih terakomodasi. Namun demikian, fakta membuktikan ternyata tidak demikian.
Kehadiran parpol di daerah lebih berfungsi sebagai representasi organisatoris dan kebijakan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) ketimbang sebagai representasi politik masyarakat. Parpol lebih menyuarakan kepentingan partai ketimbang kepentingan konstituen dan lebih mendahulukan kepentingan diri daripada kepentingan masyarakat. Kalau begini, parpol menjadi malfungsi dan disfungsi.
Tidak heran, masyarakat lebih suka menggunakan aksi ekstra-parlementer, politik jalanan atau pengerahan masa dalam menyampaikan aspirasinya. Penggunaan ruang publik dalam bentuk unjuk rasa tidak lagi dibaca sebagai bentuk ekspresi kebebasan mengeluarkan pendapat melainkan sebagai bentuk ketidakpercayaan publik atas peran komunikasi politik yang diemban parpol dan wakil rakyat.
Akibatnya akan menjadi sangat mahal harganya dan sangat membebani seperti terciptanya iklim investasi yang kurang kondusif, suatu prakondisi syarat bagi pertumbuhan ekonomi ideal. Karena itu, perlu adanya reposisi dan revitalisasi peran komunikasi politik yang diemban parpol.
Peran ini jelas ditegaskan oleh para akademisi seperti guru besar ilmu politik UI, almarhumah Prof. Miriam Budiardjo dan ahli politik Sigmund Neumann. Jika Prof. Budiardjo menggunakan istilah “komunikasi politik”, Neumann menyatakan peran partai politik sebagai sarana “penghubung antara pemerintah dan pendapat umum”.
Komunikasi politik memiliki dua arah: dari rakyat kepada pemerintah dan sebaliknya dari pemerintah kepada rakyat. Arah pertama menuntut parpol berperan sebagai sarana agregasi dan artikulasi kepentingan yang akan diteruskan menjadi program partai untuk diusulkan dan diperjuangkan menjadi kebijakan publik dari pemerintah berkuasa. Arah kedua menuntut parpol untuk melakukan sosialisasi produk hukum dari legislatif dan kebijakan pemerintah kepada masyarakat.
Efektivitas Komunikasi Politik
Peran komunikasi politik yang diemban oleh parpol di daerah perlu diupayakan efektivitasnya di dalam langkah-langkah kongkrit. Pertama, secara etika politik, perlu adanya suatu kesadaran nurani dan political will dari elit partai serta wakil rakyat di daerah untuk membangun komunikasi politik. Dengan lain kata, benar-benar ada keinginan kuat untuk menyerap aspirasi masyarakat.
Tanpa keinginan luhur demikian maka komunikasi politik tidak akan berjalan efektif sekalipun pemerintah menyediakan tunjangan komunikasi intensif mencapai miliaran rupiah atau memfasiltasi segala rupa sarana dan prasarana komunikasi. Malah semua anggaran dan sarana prasarana yang disediakan menjadi tidak tepat guna dan mubazir bahkan dianggap pemborosan.
Kedua, secara manajemen, parpol di daerah perlu merekrut elit profesional dan menguatkan struktur mencakup bidang-bidang yang merupakan kebutuhan masyarakat/konstituen seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, UKM, tenaga kerja, pertanian, peternakan dan sebagainya. Dengan begini, pada satu sisi, parpol di daerah dapat melakukan agregasi dan artikulasi kepentingan masyarakat secara lebih kompeten, rasional dan realistis, dan pada sisi lain, dapat melakukan kajian obyektif terhadap efektifitas dan efisiensi kebijakan pemerintah daerah dalam bidang-bidang tersebut. Hasil dari usaha ini dapat disalurkan melalui fraksi-fraksi parpol yang ada di DPRD untuk disuarakan kepada pemerintah daerah.
Ketiga, secara teknis, parpol di daerah perlu mendirikan pusat layanan publik semacam call center yang mudah diakses oleh masyarakat serta langsung ditanggapi secara antusias baik oleh elit partai dan terutama oleh fraksi partai politik di DPRD untuk diteruskan kepada pemerintah atau pihak yang terkait. Sebagai contoh, customer service yang disediakan oleh bank-bank dalam bentuk call center 24 jam, terbukti efektif menangani keluhan pelanggan. Hal ini merupakan wujud dari motto yang diemban pelaku bisnis: pelanggan adalah raja. Apabila para praktisi politik sungguh-sungguh ingin menjadi abdi masyarakat maka layanan publik call center bisa menjadi salah satu wujud komitmen mulia tersebut.
Antonius Steven Un, Ketua Sekolah Teologi Reformed Injili Malang (Saat ini: Ketua Sinode Gereja Reformed Injili Indonesia).