- Investor Daily Indonesia, 22 Februari 2014
- Binsar A Hutabarat
- Waktu Baca: 6 menit
Hari Keadilan Sosial Sedunia (World Day of Social Justice) diperingati setiap tanggal 20 Februari. Masyarakat Indonesia bersama masyarakat dunia mestinya memanfaatkan momentum ini menampilkan hasil-hasil perjuangan bersama yang berkeadilan sosial.
Sayangnya, masyarakat Indonesia dan juga masyarakat dari berbagai belahan dunia masih sering menyaksikan praktik-praktik yang berketidakadilan. Selama sepuluh tahun belakangan ini pembangunan berkeadilan masih di atas kertas. Pasalnya, tingkat kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin bukannya makin menyempit, malah justru makin melebar.
Di Indonesia, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009-2014 yang menargetkan kemiskinan tahun 2014 sebanyak 9-10% dari total penduduk Indonesia, tampaknya kian menjauh. Proyeksi terakhir bahkan mengarah ke angka 10,54-10,75%. Demikian juga tingkat pengangguran masih memperlihatkan angka-angka yang mencemaskan, dari target APBN 2014 sebanyak 5,7 – 5,9%, pemerintah mencatat realisasi 5,7-6%.
Fakta lain menunjukkan, 20% kelompok masyarakat teratas di negeri ini menikmati penambahan kue pembangunan sebanyak 8% selama 2004-2014. Sementara itu, 40% kelompok masyarakat terbawah justru mengalami pengurangan kue pembangunan sebanyak 4%. Dalam rentang sepuluh tahun terakhir ini, lebih banyak kue pembangunan dinikmati oleh kelompok ekonomi atas. Itulah sebabnya jurang antara kelompok kaya dan kelompok miskin makin melebar.
Hal ini diperkuat lagi dengan makin bertambahnya rasio Gini dari 0,38 pada 2010 menjadi 0,41 sejak tahun 2011. Rasio Gini menjelaskan tingkat kesenjangan kelompok kaya dan kelompok miskin yang makin lebar. Nilai Gini rasio berkisar 0 – 1, di mana makin tinggi Gini rasio, tingkat kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin makin tinggi.
Membangun Solidaritas
Ketidakadilan ekonomi memang tak boleh dibiarkan terus berlangsung. Pemerintah harus berjuang keras untuk mengatasinya. Jika hal ini dibiarkan, ketidakadilan ekonomi bisa menjadi ancaman serius bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka.
Konstitusi negeri ini mengamanatkan, fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara, dan tanggung jawab menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat yang menganggur juga ada pada negara. Karena itu, kuasa negara atas bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus diusahakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Konstitusi juga menetapkan, pemerintah harus mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yakni menyejahterakan rakyat Indonesia, dan membawa rakyat Indonesia pada kehidupan yang adil dan makmur. Pemerintah bisa dituduh bertindak tidak adil jika membiarkan rakyat Indonesia terus hidup dalam kemiskinan.
Keadilan sebagai sebuah fairness, sebagaimana diucapkan John Rawls, adalah sebuah kontrak, dan itu menyangkut sebuah sikap hati, sebuah keutamaan dalam diri seseorang. Sikap fairness ini mensyaratkan adanya solidaritas terhadap sesama. Perasaan solidaritas ini memungkinkan seseorang peduli terhadap sesamanya yang kurang beruntung, miskin, dan menderita. Rasa solidaritas ini memungkinkan rakyat Indonesia bahu-membahu melawan penjajah, menjadi kekuatan yang ampuh dalam mengusir penjajah.
Bentuk serta puncak sikap adil adalah sebuah kebaikan hati. Apabila sikap ini terus bertumbuh dalam kehidupan masyarakat Indonesia, maka perjuangan untuk mengentaskan kemiskinan akan menjadi perjuangan bersama. Kebaikan hati akan membuat mereka yang beruntung mau menolong mereka yang berada dalam kemiskinan dan penderitaan. Kebaikan hati ini sesungguhnya menjadi puncak kemanusiaan, sebuah nilai tertinggi dari kemanusiaan, kualitas puncak dari kemanusiaan.
Pemerintah harus memperlakukan orang miskin secara berbeda dengan mereka yang kaya, karena keadilan berarti memperlakukan yang berbeda secara berbeda, dan memperlakukan yang sama secara sama. Jadi pemberian fasilitas khusus bagi mereka yang miskin untuk dapat hidup lebih baik, berupa pemberian jaminan kesehatan, pendidikan, kebutuhan dasar untuk hidup dan lain-lain, bukanlah sebuah ketidakadilan, tetapi sebaliknya justru merupakan keadilan.
Tuhan menempatkan semua manusia di bumi yang satu, karena itu semua manusia mestinya dapat hidup bersama. Apalagi, jika kita memahami bahwa Sang Pencipta itu telah menciptakan semua manusia sama, sederajat, dan memiliki harkat dan martabat yang sama sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan Deklarasi Universal HAM, bahwa pengakuan atas martabat manusia yang sama adalah dasar bagi kehidupan yang merdeka, adil, dan damai. Mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki tersebut telah mengakibatkan lahirnya perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan kemarahan hati nurani umat manusia.
Solidaritas antarsesama adalah sesuatu yang alamiah. Ia melekat pada kemanusiaan, sesuatu yang ditanamkan pencipta ketika sang khalik itu menciptakan manusia. Namun, solidaritas itu harus terus ditumbuhkembangkan agar mampu menjadi kekuatan untuk merekatkan kehidupan bersama. Tingginya semangat solidaritas suatu bangsa akan sangat berperan kuat bagi kemajuan bangsa tersebut. Solidaritas adalah dasar bagi persatuan yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan bangsa.
Distribusi dan Akses
Ketidakmampuan manusia untuk hidup bersama, sebagaimana dikatakan Martin Luther King, seorang pejuang HAM: “Jika kita tidak dapat hidup bersama, maka kita akan mati bersama.” Kebenaran tersebut mendapatkan konfirmasinya pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang menjadi latar belakang lahirnya piagam internasional HAM. Perang Dunia mengorbankan banyak nyawa dan harta benda yang tidak sedikit. Semua bangsa menderita kerugian karena bangsa-bangsa tidak mampu hidup bersama dengan damai.
Solidaritas merupakan sebuah spirit yang amat penting, karena itu perlu dijaga dan terus ditumbuh-kembangkan. Memadamkan semangat solidaritas sama saja dengan melemahkan kekuatan perekat dalam hidup bersama, yang berujung pada disintegrasi bangsa, yang menjadi cikal bakal lahirnya negara gagal.
Banyak penderitaan, ketiadaan sandang pangan, perumahan, dan lain-lain, sejatinya bukan karena barang-barang kebutuhan itu tidak ada atau tak tersedia. Kelaparan terjadi umumnya karena soal distribusi dan akses. Secara nasional kebutuhan pangan Indonesia mencukupi. Tapi, sayangnya, banyak orang miskin dan keluarga-keluarga korban bencana yang tak memiliki akses terhadap pangan, demikian juga dengan sandang dan perumahan.
Peringatan Hari Keadilan Sosial Sedunia kali ini harus menyadarkan kita semua bahwa masih ada kesenjangan yang amat lebar dalam kehidupan bersama kita sebagai bangsa.
Binsar A Hutabarat, Peneliti Reformed Center for Religion and Society