Manjauhi Loyalitas Ganda

Investor Daily, 31 Oktober 2009
Binsar A. Hutabarat

Saat melantik 34 menteri KIB II beberapa waktu lau, presiden SBY mengigatkan para menteri agar meletakkan loyalitas sepenuhnya kepada bangsa dan negara serta presiden, bukan kepada pimpinan partai. Pernyataan tersebut jelas mengindikasikan bahwa tak boleh ada “dua tuan” dalam pengabdian menteri.

Penegasan SBY mengindasikan pada satu hal penting, yakni bahwa seorang menteri harus berwawasan nasional. Ia seorang nasionalis tulen ketika harus mengemban tugas-tugas bangsa dan negara. Meskipun mereka berasal dari berbagai partai politik, dalam mengemban tugas, jiwa atau semangat “nasionalis” harus tertanam kuat dalam diri mereka.

Perasaan terikat sebagai pelayan kepentingan bangsa dan negara akan membuat mereka rela mengabdi kepada bangsa dan negara tanpa pamrih. Semua itu secara jelas mereka ucapkan saat ikrar pelantikan 22 Oktiber 2009.

Selain loyalitas kepada bangsa dan negara, para menteri juga sepatutnya meletakan loyalitas dan pertanggungjawaban mereka kepada presiden sebagai nahkoda pemerintahan sesuai dengan sistem presidensial, bukannya kepada pemimpin partai. Presiden adalah kepala negara, pemimpin bangsa. Sebagai bawahan, menteri harus taat kepada pimpinannya.

Apabila para menteri KIB II ini mampu menunjukan komitmen mereka terhadap bangsa dan negara, rakyat pasti boleh berharap bahwa pemerintahan yang baru ini akan benar-benar melayani kepentingan rakyat, untuk kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat Indonesia seluruhnya?

Mampukah para menteri tahan terhadap setiap godaan yang membuatnya terjebak dalam sekat-sekat kepentingan partai atau kelompoknya sendiri?

Bukan “Dua Tuan”
Benarkah ungkapan yang menyatakan, “Loyalitas kepada partai berakhir ketika loyalitas kepada bangsa dimulai”. Ini berarti kepentingan negara (lebih besar) harus berada atas kepentingan partai politik (lebih kecil), atau kepentingan umum harus lebih diutamakan lebih daripada kepentingan kelompok atau golongan, apalagi perseorangan.

Loyalitas kepada partai itu juga bukan sesuatu yang haram, asalkan loyalitas kepada partai itu tidak sampai mereduksi atau mengasikan loyalitas kepada bangsa. Justru loyalitas kepada partai seharusnya semakin menguatkan loyalitas seorang warga negara terhadap bangsa dan negaranya.

Demikian juga dengan menteri pengusaha. Menjadi pengusaha adalah hak setiap warga bangsa. Namun, apabila usaha yang dilakukan sang menteri tersebut kemudian bisa menggangu pengabdiannya di pemerintahan, maka cara yang bijaksana adalah melepaskan pengelolaan usaha tersebut kepada orang atau lembaga yang dapat dipercaya.

Apabila para menteri KIB II mampu berpegang pada wawasan nasional dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan partai politik yang mengusungnya, sudah dapat dipastikan takkan terjadi konflik kepentingan dalam diri sang menteri. Mengabdi kepada “dua tuan” –-pemimpin negara dan pemimpin partai politik—takkan terjadi dalam dirinya.

Menghamba pada dua tuan sekaligus adalah suatu yang mustahil. Seseorang pasti akan mencintai yang satu dibanding dengankan tuan yang lainnya. Kalau sampai ada “dua tuan” dalam pengabdian seorang menteri, ini jelas akan mangancam keutuhan KIB II. Kerja sama dan solidaritas kabinet dipastikan terganggu, yang pada akhirnya akan merusak kinerja kabinet secara keseluruhan.

Pengalaman pemerintah sebelumnya telah membuktikan bahwa loyalitas yang lebih besar kepada partai daripada kepada nakhoda pemerintahan, akan mengancam keutuhan solidaritas kabinet. Bila ini terjadi, kembali kepetingan bangsa menjadi terpinggirkan, dan rakyat bangsa ini lagi-lagi menjadi korban sikap egois sang menteri.

Itulah yang dikhawatirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sehingga pada masa awal pemerintahannya yang kedua ia harus menyampaikan hal tersebut secara terang benderang kepada para pembantunya.

Hindari Primodialisme
Para menteri KIB II, dengan demikian, harus “bersumpah” untuk menjauhkan diri dari sikap yang primodialistis, mementingkan diri, partai, kelompok atau golongan, dan menempatkan kepetingan umum, bangsa, dan negara di atas segalanya. Pintu hati para menteri harus selalu terbuka pada nilai-nilai kesatuan bangsa.

Keragaman latar belakang partai dan golongan bukan suatu yang salah. Sangat boleh jadi, dari keragaman latar belakang inilah lahir pemikiran-pemikiran kreatif yang sangat berguna bagi bangsa dan negara. Tentu bukan sebaliknya, sebuah kepentingan lebih besar harus dikalahkan hanya demi kepentingan partai. Kalau ini yang terjadi, bangsa ini kembali masuk pada kotak-kotak primodialisme, yang justru akan mempersulit pencapaian kompromi-kompromi untuk melahirkan suatu kebijakan bersama.

Bola sekarang berada di tangan para menteri KIB II. Mereka mulai sibuk dengan menyusun program 100 hari kerja. Akankah mereka mampu mengarungi ujian selama lima tahun ke depan di tengah berbagai godaan, termasuk untuk berhamba kepada “dua tuan”?

Para menteri yang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap bangsa dan negara akan dengan sepenuh hati mencurahkan waktu dan tenaga mereka untuk kesejahteraan rakyat seluruhnya. Mereka pasti dengan sadar mau menyingirkan kepentingan-kepentingan partai, kelompok atau golongan, dengan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya. Dalam hal loyalitas, mereka takkan berhamba pada dua tuan.

Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.