Loyalitas kepada Bangsa

Suara Pembaruan, 27 Oktober 2009
Binsar A. Hutabarat

Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II harus berwawasan nasional. Artinya, sebagai nasionalis, para menteri KIB II harus memiliki cinta yang berkobar-kobar terhadap bangsanya. Oleh karena itu, meskipun mereka berasal dari berbagai partai politik atau golongan, bukan tidak mungkin mereka dapat bersatu dalam menjalankan pemerintahan.

Perasaan terikat sebagai satu bangsa akan membuat mereka rela mengabdi kepada bangsa dan negara tanpa pamrih, sebagaimana yang telah mereka ikrarkan dalam sumpah pada pelantikan 22 Oktober 2009.

Loyalitas kepada bangsa itu jugalah yang dituntut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang diutarakan seusai melantik 34 menteri KIB II dan pejabat setingkat menteri. Meletakkan loyalitas pada bangsa bukan pada partai dan golongan adalah tepat. Para menteri sepatutnya juga meletakkan loyalitas dan pertanggungjawaban mereka kepada presiden sebagai nakhoda pemerintahan sesuai dengan sistem presidensial, bukannya kepada pemimpin partai.

Wawasan nasional akan menjadi kekuatan batin yang dapat mempersatukan para menteri, yang datang dari berbagai partai politik dan golongan, untuk dapat bekerja sama dalam menjalankan pemerintahan dengan presiden sebagai nakhoda. Sebaliknya, wawasan primordialisme menjadi ancaman yang akan memudarkan loyalitas para menteri terhadap bangsa dan negara

Apabila para menteri KBI II mampu menunjukkan komitmen mereka terhadap bangsa dan negara, pastilah optimisme rakyat terhadap pemerintahan yang baru ini akan terus bertambah. Persoalannya sekarang, apakah para menteri itu mampu meletakkan loyalitas kepada bangsa lebih daripada ke partai atau tidak. Inilah yang sedang dinantikan oleh segenap rakyat Indonesia.

Benarlah ungkapan yang menyatakan, “loyalitas kepada partai berakhir ketika loyalitas kepada bangsa dimulai.” Prioritas utama seorang warga bangsa adalah menaruh loyalitasnya pada bangsa bukan pada partai politik. Apabila partai politik tidak lagi mengutamakan kepentingan bangsa, maka seorang warga bangsa yang baik seharusnya lebih memilih untuk loyal terhadap bangsa, bukannya pada partai politik, karena partai politik sesungguhnya merupakan alat untuk dapat mengabdi kepada bangsa dan negara. Jadi, tujuan pengabdian utama seorang warga bangsa bukanlah kepada partai, melainkan kepada bangsa.

Loyalitas kepada partai juga bukan sesuatu yang haram, asal hal itu tidak menegasikan loyalitas kepada bangsa. Atau loyalitas kepada partai seharusnya makin menguatkan loyalitas terhadap bangsa dan negara. Demikian juga dengan menteri pengusaha. Menjadi pengusaha adalah hak setiap warga bangsa. Namun, apabila usaha yang dijalankan sang menteri tersebut kemudian bisa mengganggu pengabdiannya di pemerintahan, maka cara yang bijaksana adalah melepaskan pengelolaan usaha tersebut kepada orang atau lembaga yang dapat dipercaya.

Dua Tuan
Apabila para menteri KBI II mampu berpegang pada wawasan nasional Indonesia, maka dapat dipastikan mereka tidak akan memiliki dua tuan, karena pengabdian kepada bangsa dan negara lebih utama dari pengabdian kepada partai dan golongan.

Menghamba pada dua tuan adalah sesuatu yang mustahil. Seseorang pasti akan mencintai tuan yang satu dibandingkan dengan tuan yang lainnya. Jika ini diaplikasikan pada menteri KBI II, khususnya mereka yang duduk dalam jabatan formal partai politik, tentu akan sangat mengkhawatirkan. Dapat diduga, para menteri tersebut akan lebih mementingkan perkembangan partainya daripada menaati nakhoda pemerintah, dalam hal ini presiden, dan ini akan mengancam keutuhan KBI II.

Bukan mustahil, bongkar-pasang kabinet akan kembali terjadi pada KBI II, dan sudah pasti akan sangat mengganggu pengabdian pemerintah untuk menyejahterakan rakyat, menegakkan demokrasi dan keadilan. Padahal, tugas berat di pundak pemerintah itu membutuhkan kerja sama yang solid dari seluruh jajaran kabinet.

Meski bukan mustahil loyalitas kepada partai bisa berjalan seiring dengan loyalitas kepada bangsa dan negara, namun pengalaman pemerintahan sebelumnya telah membuktikan, loyalitas kepada partai jauh lebih kuat dibandingkan dengan loyalitas kepada nakhoda pemerintahan, dan para menteri juga akan lebih meletakkan pertanggungjawaban mereka kepada partai politik daripada kepada Presiden yang mengangkatnya. Akibatnya, keutuhan kabinet terancam, bukti bahwa loyalitas kepada bangsa sering kali terpinggirkan.

Mungkin, karena kekhawatiran akan terulangnya kejadian tersebut, maka presiden menuntut para menteri yang dilantiknya untuk meletakkan loyalitasnya kepada bangsa dan negara. Komitmen untuk mengabdi kepada bangsa dan negara akan terlihat dari apakah menteri KBI II dari unsur partai rela melepaskan kedudukan formal pada partainya atau tidak, dan apakah menteri yang memiliki perusahaan dapat melepaskan badan usahanya selama mereka duduk dalam pemerintahan.

Para menteri KBI II harus menjauhkan diri dari ancaman wawasan primordialisme yang akan memudarkan wawasan nasional. Para menteri tidak boleh tertutup pada nilai kesatuan bangsa. Keragaman latar belakang partai dan golongan tentu saja akan melahirkan berbagai pemikiran dan primordialisme adalah ancaman yang akan mempersulit pencapaian kompromi untuk melahirkan kebijakan bersama.

Apabila para menteri KBI II mampu berpegang pada wawasan nasional Indonesia, maka dapat dipastikan mereka tidak akan memiliki dua tuan, karena pengabdian kepada bangsa dan negara lebih utama dari pengabdian kepada partai dan golongan.

Para menteri yang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap bangsa dan negara akan rela mencurahkan waktu dan tenaganya untuk kesejahteraan rakyat dengan melepaskan jabatan formal pada partai dan menyerahkan pengelolaan perusahaannya kepada pihak lain.

Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.