Lilin Natal dan Terang Dunia

Surya, 24 Desember 2007
Antonius Steven Un

Lilin adalah simbol Natal. Penyalaan lilin kebaktian Natal di berbagai gereja di seluruh dunia. Sejatinya, narasi Natal dalam teks sakral Injil tidak menyebutkan eksitensi dan makna lilin sebagai simbol Natal. Jika kartu dan pohon Natal yang ditambahkan pada tradisi Natal benar-benar suatu suplemen yang sekedar memeriahkan maka lilin Natal, sekalipun tidak eksplisit dalam Narasi Injil Matius dan Injil Lukas, sesungguhnya merupakan esensi dari kelahiran Yesus Kristus.

Epistemologi Natal menyatakan dengan jelas bahwa memancarkan terang di tengah kegelapan itu merupakan esensi dari kelahiran Yesus Kristus. Pertama, Yohanes 1:5 dan 9, ”Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya…Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang sedang datang ke dalam dunia”. Metafora terang digunakan Yohanes untuk menunjuk kepada Yesus Kristus (bandingkan Yohanes 1:1,14). Kedua, kehadiran malaikat membawa kabar gembira bagi para gembala di padang di mana kemuliaan Tuhan bersinar terang di tengah malam (Lukas 2:8-12) merupakan analogi terhadap peran Yesus sebagai terang.

Kemunafikan Agama
Eksistensi Yesus dinilai tepat pada waktunya karena dunia sedang gelap. Kegelapan tersebut disebabkan, secara khusus dalam konteks religiusitas, agama telah terjebak kepada kemunafikan. Di bawah pentafsiran aliran Farisi, salah satu mazhab utama dalam agama Yahudi, Perjanjian Lama telah diselewengkan demikian jauh sehingga menjadi agama legalis tanpa relasi personal dan sangat mementingkan format luar.

Menurut pakar biblika John Drane, mazhab Farisi adalah kelompok yang memiliki pengikut sekitar 6000 orang di mana pokok teologi mereka adalah mengupayakan penerapan praksis dari peraturan-peraturan dalam Hukum Taurat (1986). Konsep dasarnya adalah suatu kepercayaan bahwa ”pembuangan ke Babel adalah akibat dari kegagalan Israel melakukan Taurat dan bahwa pelaksanaan Taurat termasuk tugas perseorangan maupun tugas nasional” (H. L Ellison, 1988).

Dengan semangat nomianisme ini, Pemimpin Farisi memaksa umat ”abangan” untuk menjalankan 613 peraturan yang telah dirangkumkan oleh ahli-ahli Taurat, tidak perduli mengerti atau tidak dan rela atau tidak. Sekalipun dalam catatan sejarawan Yahudi Flavius Josephus (AD 37-101), orang-orang kota sangat menghormati mazhab Farisi karena mereka berkhotbah tentang gagasan moral yang sangat luhur (Antiquities 18.1.3), Yesus justru mengkritik mereka habis-habisan karena kemunafikan mereka.

Yesus kerap menggunakan istilah ”hypokrites” yang berarti ”pelakon”. Mereka berpura-pura menjalankan hukum Taurat tetapi sesungguhnya tidak. Dan bukan saja demikian, bahkan mereka mengajarkan hukum moral yang begitu agung tetapi mereka sendiri tidak melakukannya. Di sinilah pengertian kemunafikan, terdapat jurang antara luar dan dalam, antara perkataan dan perbuatan, antara hati dan hidup.

Mengenai kemunafikan, Yesus mengatakan ”sama seperti kubur yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran” (Matius 23:27). Mengenai mazhab Farisi yang penuh kemunafikan, Yesus mengatakan kepada orang banyak dan murid-muridNya, ”sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat [peraturan agama] dan meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya” (Matius 23:3-4).

Agama sudah rusak dan penuh kemunafikan sehingga kebusukan dan kegelapan bukan saja terjadi di dalam dunia tetapi justru terjadi di rumah-rumah ibadah. ”Lampu” di rumah-rumah ibadah sudah padam. Agama mengalami malfungsi dan disfungsi dalam berperan menerangi dunia karena agama penuh skandal moral dan kemunafikan. Di dalam konteks puncak kerusakan moral agama inilah Yesus lahir, besar dan melayani. Ia menjadi terang, pertama-tama di dunia religius barulah dalam lingkup sosial-politik.

Metafora Lilin Natal
Kehadiran Yesus Kristus yang lahir di palungan Betlehem membangkitkan identitas manusia untuk berperan sebagai lilin terang di tengah kegelapan. Terdapat sejumlah karakteristik lilin terang. Pertama, terdapat perbedaan fundamental antara terang dan gelap. Di sinilah karakteristik utama dan pertama dari terang dunia. Mengusahakan dan menjaga perbedaan moralitas di tengah masyarakat busuk merupakan panggilan dan tanggung jawab kita yang memang tidak mudah. John Stott mengatakan diperlukan masyarakat yang berstatus dan bersifat sebagai ”counter culture” untuk mengimbangi lajunya kebusukan dan kegelapan (1988).

Kedua, terang selalu menguasai kegelapan dan tidak pernah ditelan oleh kegelapan, betapapun kecilnya terang itu. Menyalakan anak korek api di tengah malam pekat, sekalipun tidak bisa menerangi kegelapan tersebut tetapi api anak korek itu tetap terlihat dan tidak tertelan. Di tengah konteks krisis moral di negara kita, baik dalam hal korupsi, perilaku buruk pejabat publik maupun masyarakat kekerasan, Natal melagukan kidung pengharapan bahwa orang-orang benar yang berjuang sebagai terang tidak mungkin ditenggelamkan oleh kegelapan sekalipun mereka minoritas.

Ketiga, lilin itu membakar dirinya sehingga ia dapat menjadi terang. Tanpa pengorbanan, sulit menjadi terang. Seorang pejabat publik yang ingin mempertahankan dirinya bersih, tidak bisa tidak harus menyangkal diri, misalnya untuk tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan mengeruk uang rakyat bagi kepentingan diri, mengatur fasilitas yang wah dan kunjungan kerja dan studi banding luar negeri yang tidak tepat guna. Menyangkal diri dan rela hidup sederhana seperti Yesus yang lahir di palungan adalah ciri khas dan tanggung jawab terang itu.

Keempat, terang itu memiliki sifat berani menyatakan kebenaran. Yesus Kristus mengatakan ”Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu” (Matius 5:15). Terang itu menyadari dirinya dibutuhkan sehingga ia tidak memilih untuk bersembunyi.

Bagai menara mercusuar yang berdiri tegak di pelabuhan/pantai, menjadi terang berarti berani menyatakan kebenaran. Di sinilah kita melihat antitesis tajam antara sistem pemerintahan totaliter-otoritarian-diktatorial dan demokrasi. Sistem pemerintahan yang pertama adalah sistem yang mematikan lilin dan menghambat orang menjadi terang sedangkan sistem kedua membuka ruang agar terang itu dapat dinyatakan. Teolog penentang Adolf Hitler, Dietrich Bonhoeffer (1906-1945) menyatakan ”Melarikan diri ke dalam persembunyian, berarti mengingkari panggilan Yesus” (dikutip oleh Stott, 1988).

Lilin Natal sejati adalah Yesus yang menjadi terang di tengah kegelapan. Lebih penting diri menjadi terang ketimbang sekedar menyalakan lilin terang secara simbolis di malam Natal. Selamat Natal!

Antonius Steven Un, Rohaniawan, Pengajar Teologi-Filsafat dan Peneliti

Leave a Comment

Your email address will not be published.