Lagi, Soal Dampak Asap

Suara Pembaruan, 11 Oktober 2007
Joseph H. Gunawan

Kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan muncul lagi. Asap kembali menyelimuti beberapa provinsi di Kalimantan dan Sumatera. Pada 2007 ini kemarau basah, kemarau dengan lebih banyak curah hujan, berkontribusi dalam penurunan jumlah titik api (hot spot) dibandingkan dengan 2006. Sampai September 2006, di wilayah Sumatera terdapat 38.393 titik api dan di Kalimantan 52.211. Secara keseluruhan total jumlah titik api sepanjang 2006 mencapai 49.560 di Sumatera dan 71.868 di Kalimantan. Sedang kini, hingga September 2007, tercatat 1.911 titik api di Sumatera dan 9.994 di Kalimantan.

World Development Indicator (WDI) 2007 menyatakan Indonesia sebagai penyumbang terbesar ketiga dalam pemanasan global di dunia, akibat menurunnya lahan gambut, kebakaran hutan, dan penggundulan hutan (deforestation). Bahkan, Wall Street Journal memberitakan penggundulan hutan itu bernilai 20 persen dari emisi karbondioksida (CO2) global yang dihasilkan oleh pembakaran hutan.

Tingkat deforestation di Indonesia tertinggi di dunia, yaitu 1,6 persen per tahun atau 1,8 juta hektare per tahun. Tak heran muncul tudingan yang menyudutkan Indonesia, di mana sekitar 51 kilometer persegi hutan hancur setiap hari.

Hutan Indonesia kini berada di urutan pertama dengan emisi karbon dari hutan dan perubahan fungsi lahan, mencapai 2,563 juta metrik ton CO2. Jadi, kendati jumlah hot spot berkurang dibandingkan dengan tahun sebelumnya, Indonesia masih menjadi emiter CO2 ketiga terbesar di dunia setelah AS dan China.

Kabut asap di Indonesia utamanya bersumber dari pembakaran hutan dan lahan gambut pada lokasi perkebunan rakyat, perkebunan swasta, dan pemegang hak penguasaan hutan (HPH). Pembakaran hutan masih dianggap jalan praktis, tercepat, termudah dan termurah dalam pembersihan lahan atau land clearing. Dalam pembukaan lahan untuk ditanami karet dan kelapa sawit itu terbukti lebih dilihat kepentingan ekonomi dan tidak dipedulikan kerusakan ekologi serta dampak sosialnya.

Hasil penelitian Wetland International (WI) 2006 menyebutkan, dari 1997 sampai 2006 sebanyak 1.400 juta ton emisi gas rumah kaca per tahun akibat dari kebakaran, penyusutan dan drainase lahan gambut. Kebakaran lahan gambut menjadi pemberi kontribusi paling besar terjadinya kabut asap yang merupakan sumber utama emisi karbon. Kalangan pengusaha kelapa sawit, pengusaha perkebunan dan pemegang izin HTI kerap kali menyepelekan berapa hektare vegetasi dan kompleksitas rantai kehidupan di wilayahnya yang hancur.
Pemegang konsensi perkebunan dan pengusaha minyak sawit juga berlaku sama, yakni mengesampingkan berapa luas daerah tangkapan air dan ruang terbuka hijau yang rusak dan hilang dari peta bentang alam yang pada akhirnya menghancurkan tutupan hutan alam.

Dampak Asap
Produk kimia pembakaran hutan dan lahan menghasilkan berbagai polutan udara, yaitu CO, CO2, NO, SO2, gas aldehida, ozon, partikel silika, partikel fluorida, alumina, karbonoksida besi, dan asap. Kerusakan lingkungan yang disebabkan kebakaran hutan dan lahan bukan hanya bersifat lokal atau kerusakan ekosistem, juga kerusakan lingkungan global atau kerusakan ekosfer nyata dari ancaman pemanasan global dan lubang ozon.

Dengan menurunnya kadar ozon berarti sinar ultraviolet B makin bertambah sampai ke bumi dan menimbulkan terjadinya radiasi matahari, yang mengakibatkan percepatan proses penuaan, keriput, kegagalan fungsi mata, sistem kekebalan tertekan, dan kanker kulit.
Dampak asap dari kebakaran hutan dan lahan dihitung dengan kadar indeks standar pencemaran udara (ISPU), kerentanan rakyat seperti faktor umur, lingkungan, arah angin, dan kelembaban udara. Asap beracun yang sangat pekat berbahaya dan menurunkan kondisi kesehatan orang lanjut usia, ibu hamil, anak balita dan penderita penyakit saluran pernapasan atau infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), jantung, paru-paru sebagai organ tubuh yang langsung berhubungan dengan dunia luar. Polutan lingkungan akibat asap berpotensi menimbulkan sederetan penyakit, yakni radang hidung, emfisema, tenggorokan, kram perut, asma, muntah-muntah, kanker, penyakit paru kronik, dan radang bronkus kronik.

Berkaitan dengan upaya mencegah asap ini, pemerintah pusat berkewajiban menginstruksikan jajaran di bawahnya agar segera mentransformasikan pola pikir warga yang berisiko tinggi, yakni tidak membakar hutan untuk pembukaan lahan, tapi beralih ke arah yang lebih arif, yang ramah lingkungan, dan inovatif. Pemerintah perlu memperkenalkan metode-metode baru dalam pembukaan lahan dan ladang secara benar. Pemerintah juga harus secara berkesinambungan menyampaikan penyuluhan agar petani tradisional di sekitar hutan menghentikan sistem ladang berpindah-pindah.

Alam ini milik bersama, sehingga tanggung jawab pengelolaannya adalah tanggung jawab dan komitmen bersama. Kerusakan alam di satu tempat akan mempengaruhi lingkungan hidup di tempat lainnya. Kasus hot spot di kawasan Kalimantan dan Sumatera dengan ancaman pemanasan global yang nyata di depan mata seyogianya menyadarkan sekaligus mempertebal kesadaran bersama akan pentingnya pengelolaan alam secara terarah, konsekuen, dan konsisten.

Joseph H. Gunawan, Penulis adalah Pemerhati Lingkungan, alumnus University of Southern Queensland (USQ), Australia

Leave a Comment

Your email address will not be published.