Sinar Harapan, 30 Oktober 2007
Antonius Steven Un
Senin, 29 Oktober ini, merupakan peringatan 170 tahun lahirnya politikus, jurnalis, pendidik, teolog, filsuf Belanda, Abraham Kuyper (1837-1920). Nama ini mungkin terasa asing di kuping pembaca, tetapi jika menyebut Vrije Universiteit Amsterdam, publik Indonesia tentu lebih familiar.
Universitas yang memberi gelar Doctor Honoris Causa kepada tokoh hukum dan HAM almarhum Yap Thiam Hien (1980) dan gelar Doctor of Philosophy kepada Ekonom Hendrawan Supratikno (1998) didirikan oleh Kuyper.
Signifikansi eksistensi dan peran Kuyper di negeri kincir angin tidak terbatas hanya dalam politik dan pendidikan, tetapi amat kompleks dan komprehensif. Selain mendirikan Vrije Universiteit, Kuyper juga pernah menjadi Perdana Menteri Belanda periode 1901-1905. Ia juga pernah menjadi editor kepala koran harian De Standaard dan editor koran mingguan De Heraut selama lebih dari 45 tahun.
Peran nyatanya telah menjadi berkah bagi masyarakat di tempat ia beada. Mengenang Kuyper, penulis memperkenalkan pemikiran politiknya, khususnya dalam memandang eksistensi dan peran pemerintahan.
Kuyper memandang eksistensi pemerintahan sebagai order of preservation, bentuk pemeliharaan Tuhan akibat manusia sudah jatuh dalam dosa. Baginya, tanpa negara, hukum dan pemerintahan, serta otoritas yang berkuasa, maka akan terjadi neraka di bumi.
Hal ini diakibatkan, realitas kejahatan dalam natur berdosa manusia, menjadikan manusia berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri sehingga menghasilkan kondisi amat mengerikan, sebagaimana digambarkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), Homo Homini Lupus (manusia adalah srigala pada sesamanya).
Realitas kejahatan dalam kehidupan manusia mengakibatkan filsuf Niccolo Machiavelli (1469-1527), misalnya, mengambil jalan ekstrem dengan menempatkan penguasa tirani bagai binatang buas yang menghalalkan segala cara melawan anarkisme. Meskipun tidak seekstrem Machiavelli, Kuyper juga memandang institusi pemerintahan sebagai mutlak dibutuhkan dan bahkan kita harus bersyukur untuk kehadirannya. Ia memandang pemerintahan sebagai ”an instrument of ‘common grace’ to thwart all license and outrage and to shield the good against the evil” (1898).
Sakralisasi
Kuyper menyebut institusi pemerintahan sebagai “hamba-Nya” untuk melindungi manusia dari kehancuran total. Itu sebabnya, warga negara harus menaati pemerintahan bukan karena ketakutan kepada hukuman, tetapi karena kesadaran nurani.
Hal ini tidak berarti Kuyper menyetujui sistem pemerintahan tirani seperti Machiavelli, tetapi ia sendiri mendorong warga negara untuk menjalankan fungsi pengawasan justru karena menyadari bahwa pejabat pemerintahan juga adalah manusia berdosa yang tidak luput dari ambisi despotisme.
Pemahaman ini setidaknya menghasilkan dua implikasi. Pertama, dengan menyebut pemerintah sebagai ”hamba-Nya” berarti Kuyper melakukan sakralisasi. Sakralisasi ini tidak boleh dibaca sebagai dasar legitimasi pemerintah melakukan eksploitasi terhadap rakyat.
Sebaliknya, sakralisasi harus didorong berperan positif dalam dua sisi. Pada satu sisi mengingatkan pejabat pemerintah agar tidak mempelacurkan jabatan itu secara reduktif, semata-mata untuk profit finansial. Pejabat pemerintah perlu senantiasa menyadari bahwa jabatan tersebut adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan bukan saja kepada konstituen, tetapi kepada Tuhan, sumber segala berkah.
Pemerintah adalah hamba Allah bagi kebaikan masyarakat bukan menjadikan masyarakat hamba bagi kebaikan dan keuntungan sendiri. Karena pemerintah adalah hamba, ia harus mendedikasikan hidupnya bagi kemaslahatan rakyat dengan mementingkan tanggung jawab bukan fasilitas dan tunjangan. Pada sisi lain, sakralisasi juga harus dibaca sebagai what ought yang menjadi kriteria bagi masyarakat untuk mengawasi dan mendorong pemerintah menjalankan karakter kudusnya.
Kedua, realitas permasalahan kekinian, pascareformasi 1998, pemerintah seperti kehilangan kekuatan untuk mengendalikan gejala-gejala kepentingan dan kekuasaan lokal yang tidak bias dipungkiri, kerap menggunakan kekerasan secara tidak terukur.
Contoh kasus cukup banyak: Ambon, Poso, Alas Tlogo dan sebagainya. Kuyper jelas menolak pemerintahan tirani, tetapi tidak berarti ia setuju dengan masyarakat anarkis.
Artinya, pemerintah harus dikerangka dan dibingkai oleh publik agar menggunakan kekuasaannya secara terukur, tetapi sebaliknya, pemerintah juga harus berperan efektif-efisien dalam membingkai penggunaan kekuasaan dan kekerasan di masyarakat secara terukur sehingga menghasilkan masyarakat yang equilibrium.
Menyandang Tiga Pedang
Dalam menggambarkan peran pemerintahan sebagai hamba Tuhan, Kuyper menggunakan analogi ”penguasa menyandang pedang”. Pemerintah dituntut menjalankan tiga ”pedang” yakni sword of justice, sword of war dan sword of order (Lectures on Calvinism, 1931, h. 93). Pedang pertama berfungsi untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelaku kejahatan/ kriminalisme.
Pedang kedua berfungsi untuk membela kehormatan dan hak serta kepentingan negara terhadap musuh-musuhnya. Pedang ketiga untuk menghalau pemberontakan. Ketiga pedang ini dibingkai dalam kewajiban-kewajiban tertinggi pemerintah, yakni untuk mengusahakan keadilan dan integrasi bangsa.
Hal ini membawa kepada sejumlah langkah praktis. Pertama, perlunya kembali kepada prinsip ruled by law sehingga law enforcement harus terus menerus diupayakan guna mencapai keadilan secara substantif, bukan keadilan prosedural administratif semata.
Kasus tertangkapnya Irawady Joenoes amat menyayat hati karena menjadi indikasi bahwa law enforcement di negara kita rapor merah. Jika anggota komisi yang mengawasi lembaga peradilan saja melakukan tindak pidana suap bagaimana dengan lembaga yang diawasinya. Apa perlu mendirikan lagi komisi untuk mengawasi komisi yang mengawasi lembaga peradilan.
Kedua, keadilan dan integrasi sebagai visi menuntut pemerintah untuk melakukan perlindungan maksimum terhadap minoritas. Eksistensi minoritas tidak boleh diparadigma sebagai beban dan penyakit yang harus disingkirkan melainkan sebagai batu ujian bagi pemerintah dalam menjalankan hukum dan keadilan.
Jika pemerintah sanggup melindungi minoritas, otomatis mayoritas akan dilindungi karena pada dasarnya pemerintah lebih mudah mengakomodasi mayoritas ketimbang minoritas. Minoritas yang mengalami keadilan substantif akan membangun kekuatan legitimasi pemerintah dalam mengupayakan integrasi bangsa.
Ketiga, keadilan dan integrasi harus diparadigma sebagai satu kesatuan. Tanpa keadilan tidak mungkin integrasi berjalan mulus. Integrasi adalah buah dari keadilan substantif yang dialami.
Jika kebijakan pemerintah dirasakan tidak adil,keinginan untuk disintegrasi akan semakin besar. Hal ini berarti promosi terbaik dari integrasi adalah keadilan yang bukan berhenti pada level wacana dan perundangan strategis pada konstitusi, tetapi benar-benar terekspresi dalam perundangan teknis.
Sebagai contoh, konstitusi mengamanatkan anggaran pendidikan dua puluh persen, tetapi ternyata belum dapat diwujudkan hingga ke tataran praktis.
Antonius Steven Un, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society