Kubur Dendam, Bangun Kebersamaan

Investor Daily, 25 November 2006
Binsar A. Hutabarat

Sabtu 19 November di Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Jakarta terjadi pertemuan antara keluarga korban kekerasan Poso, Sulawesi Tengah dengan Hasanuddin, Irwanto dan Haris. Ketiga orang tersebut adalah terdakwa pelaku mutilasi tiga pelajar SMA di Poso yaitu Thresia Morangke, Alvita Paliwo, dan Yurni.

Dalam kesempatan tersebut ketiga terdakwa meminta maaf kepada keluarga korban yang datang ke Jakarta. Permohonan maaf diungkapkan oleh Hasanuddin yang juga mewakili kedua rekannya. “Secara tulus, kami mohon maaf atas segala yang telah terjadi. Kami berharap ini bukan hanya formalitas sampai di sini, tapi juga diikuti sampai di Poso”.

Sebanyak 12 orang dari keluarga korban yang dipimpin oleh Pendeta Rehabeam Mbio menyambut baik permohonan maaf tersebut sekaligus memaafkan para tersangka. Mereka mengaku sudah letih dengan konflik Poso yang menurut Brigjen Muhammad Guntur berakar dari perseteruan elite.

Konflik tersebut akhirnya justru mengorbankan nyawa banyak orang yang pada awalnya hidup secara harmonis. Sebelum konflik terjadi, umat Islam dan Nasrani di Poso sangat akrab. Wajarlah jika mereka merindukan damai itu kembali di Poso. Pendeta Rehabeam Mbio dengan yakin mengungkapkan, “Saya kira, kami semua, termasuk umat muslim sudah capek dengan penderitaan ini.”

Dalam bahasa tuturnya Albert Morangke, kakak Theresia Morangke mengatakan dari segi rasa kemanusiaan, keluarga korban tentu sulit memaafkan perbuatan pelaku karena ini sesuatu yang terlalu berat. Namun berkat kasih Yesus Kristus mereka sekeluarga diberi kemampuan untuk memberi maaf Hasanuddin cs yang sudah mengakui kesalahan mereka sekaligus meminta maaf. Usai berdialog, Hasanuddin bersama dua tersangka menyalami dan berpelukan dengan keluarga korban. Dari 12 keluarga korban yang datang bertemu dengan tiga tersangka, salah satunya adalah Novita Madewa, korban yang luput dari maut.

Pertemuan keluarga korban dan pelaku kasus mutilasi ini difasilitasi oleh Markas Besar Kepolisian RI. Kapolri Jenderal Sutanto menyambut baik pertemuan itu dan berharap pertemuan tersebut dapat membuat situasi lebih kondusif di Poso. Namun menurut Kapolri, proses hukum akan tetap berjalan bagi ketiga terdakwa. Pernyataan Sutanto ini tentunya dibangun di atas dasar kasih yang tidak menutupi keadilan.

Kubur Dendam
Kesediaan keluarga korban mutilasi memaafkan serta menerima pertobatan Hasanuddin, Irwan dan Haris merupakan sikap yang bertabur kemuliaan. Membuka pintu maaf untuk persoalan yang sangat menyakitkan apalagi sampai menghilangkan nyawa orang yang kita kasihi tidaklah mudah. Namun, sebagaimana diungkapkan Albert Morangke, sesuatu yang berada dari luar diri mereka telah berintervensi. Sang Khalik yang kasihnya menembus batas-batas kemanusiaan telah menembus hati nurani mereka, karena Sang Khaliklah maka keluarga korban diberi kemampuan untuk membuka pintu maaf yang bercahayakan kemuliaan.

Oleh intervensi Sang Khalik, manusia tidak lagi menjadi serigala atas sesamanya, sebaliknya manusia memantulkan kemuliaan Sang Khalik. Betapa agungnya pintu-pintu maaf yang terbuka itu, semoga juga terus terpancar sampai ke seluruh pelosok Poso.

Demikian juga, ketika nurani meronta berjuang melepaskan diri dari kekangan nafsu manusia yang buas, Hasanuddin cs walau terbat mampu mengucapkan permohonan maaf. Mereka tidak lagi dikuasai kebuasan seperti ketika melakukan pembunuhan sadis akibat ketidakmampuan menahan diri dari nafsu keserigalaan. Di sana pun ada awal dari suatu perubahan dalam kehidupan manusia, secara khusus dalam hubungan dengan sesamanya.

Mengubur dendam merupakan tindakan yang bijaksana, karena mengobarkan dendam hanya akan melahirkan dendam, tak ada akhirnya. Meminta maaf adalah pengakuan kesadaran betapa kita patut memperbaiki diri untuk memantulkan martabat kemanusiaan serta perlunya membangun jembatan-jembatan yang telah terputus. Di sana juga bersemayam anugerah mulia tentang indahnya hidup dalam kebersamaan. Sebaliknya tetap dalam kejahatan merupakan tindakan bodoh yang bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga diri sendiri.

Benarlah apa yang dikatakan oleh T.B. Simatupang, “barang siapa tidak dapat hidup bersama, ia akan mati bersama.” Poso merupakan saksi dari agungnya kata-kata Simatupang. Ketika kedua kelompok saling bertikai dan hanya peduli dengan keselamatan diri kelompok mereka sendiri, demi membela diri, awalnya mungkin mereka berpikir salah seorang dari mereka akan hidup dan yang lain harus mati, tetapi faktanya kedua belah pihak sama-sama menderita.

Tidak ada kedamaian yang dibangun dengan kejahatan, apalagi saling menghinakan martabat kemanusiaan. Merajut simpul-simpul yang telah terputus walaupun sulit, tetap lebih mulia dari pada membiarkan kebencian, nafsu membunuh serta terus menguasai.

Tegakkan Keadilan
Kehadiran kasih yang mampu membukakan pintu maaf menurut Sutanto tidak melenyapkan keadilan. Hal itu terungkap pada pernyataannya bahwa proses hukum akan tetap berlaku pada Hasanuddin, Irwan dan Haris. Saling memaafkan merupakan komitmen untuk membangun hubungan individu atau kelompok yang telah hancur, tetapi keadilan memungkinkan bangunan hubungan yang sedang dikerjakan dapat berdiri dengan kokoh. Pengadilan dalam hal ini memiliki tugas berat yaitu memberikan vonis yang seadil-adilnya.

Hukuman yang akan diberikan perngadilan kepada Hasanuddin cs harus fair, setimpal dengan perbuatan jahatnya, bukan usaha memuaskan keinginan salah satu pihak, walaupun tentunya kesediaan mereka meminta maaf patut dihargai. Tetapi permintaan maaf tersebut tidak untuk menutupi kejahatan, sebaliknya dapat menyingkap mengapa perbuatan jahat itu dilakukan. Karena hukum, baik sebagai hasil dari konsensus manusia maupun hukum yang diturunkan sang pencipta dalam bentuk hukum agama melekat dengan kasih. Hukum lahir untuk kebaikan bersama dan ia meninggikan nilai-nilai kemanusiaan, karena hukum adalah untuk manusia.

Melalui hukum, manusia dapat menuju cita-cita kemanusiaan, yaitu masyarakat Poso yang adil dan makmur, sebagaimana ditetapkan dalam tujuan kemerdekaan Indonesia. hukum menjadi peta untuk mencapai kota kebahagiaan. Melalui hukum kita secara bersama bergandengan tangan berjalan bersama tanpa ada yang tersesat untuk mencapai tujuan bersama. Jadi hukum melekat dengan kasih, karena ia mencintai keadilan yang adalah syarat bagi kebebasan manusia dan kebaikan bersama.

Sanksi hukum yang akan ditimpakan pada Hasanuddin, Irianto dan Haris tidak perlu diartikan sebagai kebencian hukum yang mewakili kebencian manusia. Hukum sebaliknya menghapuskan kebencian manusia. Pada waktu seseorang menghalangi kebebasan manusia untuk menuju cita-cita kemanusiaan, hukum melaksanakan fungsi perlindungan terhadap cita-cita kemanusiaan dengan memberikan efek jera bagi sang pelanggar hukum.

Sanksi hukum yang merupakan kesepakatan bersama adalah tanda kasih untuk mengembalikan sang terdakwa bersama-sama berjalan pada cita-cita kemanusiaan. Sanksi hukum sebagai alat pemberi efek jera seharusnya juga tidak akan melahirkan kebencian dari sang pesakitan, karena hukum sedang menggendongnya kepada jalan kebenaran. Pengadilan yang transparent dan fair dalam hal ini sangat dinantikan dalam usaha membangun damai di Poso.

Demikian juga dengan aparat keamanan, sikap tegas tanpa memihak harus menjadi utama dalam penanganan kasus di Poso. 28 tersangka tindak kejahatan di Poso masih buron hingga kini harus ditangkap. Hal tersebut penting untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat Poso. Jaminan bahwa aparat keamanan mampu memberikan perlindungan yang pantas bagi masyarakat di sini sedang dipertaruhkan.

Kerja sama dengan masyarakat dan tokoh-tokoh agama harus tetap dijalin untuk adanya pengertian bersama. Kegagalan mengkomunikasikan tindakan aparat keamanan dalam menangani konflik yang ada akan menimbulkan kecurigaan baru, karena itu sosialisasi tindakan aparat keamanan menjadi penting. Kita tentunya berharap damai dapat kembali berjejak di Poso.

Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.