- Investor Daily, 30 Juli 2012
- Tandean Rustandy
- Waktu Baca: 5 menit
Dalam penerbangan ke New York belum lama ini, saya kebetulan sepesawat dengan Ibu Negara Republik Indonesia, Hj. Ani Bambang Yudhoyono. Beliau duduk di suite di atas first class. Ketika pulang, kebetulan persis di depan saya duduk Presiden Singapura Tony Tan Keng Yam. Saya takjub dengan kesederhanaannya. Pejabat senior Singapura terbang dengan pesawat komersial – kelas bisnis, bukan suite.
Saya teringat, pertanyaan mantan Menkeu Korsel Yoon Jeung Hyun kepada PM Singapura Lee Hsien Loong, mengapa sebagai pemimpin negara kaya dia tidak memakai pesawat pribadi. Lee menjawab, dia harus memberi contoh. Di Singapura, pejabat hingga level tertinggi, kalau bepergian harus menggunakan pesawat komersial yang dioperasikan Singapore Airlines.
Banyak hal yang memang bisa dipelajari dari negara tetangga kita itu: lokasi strategis, pemerintahan bebas korupsi, angkatan kerja terampil, pro-investasi asing, dan berorientasi ekspor. Semuanya ini membuat ekonomi pasar bebas Singapura sukses dan menarik bagi investasi internasional.
Pemimpin yang Melayani
Baik-buruknya organisasi, bangsa, dan negara, hal itu sangat ditentukan oleh kualitas pemimpinnya. Jika organisasi yang anggota-anggotanya berkualitas pemimpin, organisasi tersebut akan berkembang dan kuat. Pemimpin harus berkomitmen, konsisten, memikirkan persoalan masyarakatnya, dan menolong mereka dari kesukaran hidup.
Prinsip ini bukan hanya di wilayah kenegaraan, tapi juga dalam lingkup perusahaan. Prinsip inilah yang membedakan manajer dan pemimpin di perusahaan. Konsep kepemimpinan modern memperlihatkan, pemimpin yang berhasil menggerakkan dan mentransformasi orang adalah pemimpin yang berorientasi pelayanan. Bukan mencari pujian atau pencitraan diri.
Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang peduli pada pertumbuhan dan dinamika kehidupan bangsanya. Ia mendahulukan kepentingan bangsa dan negara daripada ambisi pribadi/kelompoknya. Motivasi melayani dimulai dari dalam, kemudian ke luar melayani mereka yang dipimpinnya, bukan dibuat-buat sebagai bagian dari political acting. Pelayanan sejati buah dari cinta kasih.
Pola kepemimpinan baru diperlukan dalam menghadapi ketidakpastian masa depan. Pengalaman menunjukkan pola kepemimpinan lama, dengan gaya parlente, pragmatis, dan hedonis, tidak mampu menjawab tantangan masa depan dengan tingkat kompleksitas tinggi.
Dalam kaitan ini, program penghematan austerity Prancis menarik untuk disimak. Presiden Prancis Francois Hollande berhasil menarik simpati masyarakat dengan menurunkan tingkat kemewahan yang ditetapkan presiden sebelumnya, Nicolas Sarkozy.
Mobil presiden Citroën C6 diganti Citroën DS5. Jumlah sopir resmi pun dikurangi. Presiden Hollande naik kereta api ke Brussels, tanpa jet negara. Ia mengimbau para menteri untuk naik kereta api. Ketika terbang, ia memilih coach class pada maskapai penerbangan komersial.
Bagaimana dengan Indonesia? Bertolak belakang dengan program austery Prancis, pada era otonomi daerah, setiap daerah di Indonesia justru berusaha menaikkan anggaran belanja daerahnya. Namun, apakah kenaikan anggaran menghasilkan perubahan dan perbaikan pada pelayanan maupun kesejahteraan masyarakat?
Banyak pemimpin menuntut dilayani daripada melayani. Mereka beranggapan, pemimpin haruslah dihormati dan dilayani. Tanpa itu, katanya, pemimpin tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Padahal, mantan Presiden AS D. Einsenhower mengatakan integritas adalah kualitas tertinggi kepemimpinan. Tanpa itu, tidak ada sukses sejati, tidak peduli apakah itu di lapangan sepakbola, tentara, atau di kantor.
Sederhana, Kerja Keras
Optimisme Indonesia akan maju mulai timbul tatkala warga Jakarta memilih gubernur dan wakilnya 11 Juli 2012. Pemilihan gubernur ini membawa optimisme lantaran munculnya sosok fenomenal, pasangan Jokowi-Ahok yang mengedepankan isu-isu kemanusiaan dengan paradigma pemimpin itu melayani, bukan dilayani.
Pasangan ini unggul dengan 42% suara, sedangkan pasangan lainnya 33%, 11%, 5%, 4%, dan 1%. Lawan politiknya yang menggunakan politik citra dan identitas dengan kampanye besar-besaran dan gaya selebritas, berhasil dikalahkan dengan politik akal sehat dan perilaku Jokowi-Ahok yang sederhana. Rakyat memilih secara rasional dengan mempertimbangkan kualitas dan kemampuan untuk membenahi Jakarta. Vox populi vox Dei, suara rakyat suara Tuhan.
Timbul harapan, budaya kompetisi dengan bekerja untuk rakyat akan tumbuh, dan rakyat akan memilih pemimpin nasionalis yang sederhana, kerja keras, tegas, dan mau melayani. Pemimpin yang gagal membawa kesejahteraan tidak akan terpilih lagi. Jika warga Jakarta memilih Jokowi-Ahok pada pemilukada putaran kedua 20 September, biarlah mereka membuktikannya.
Kita merindukan pemimpin bangsa dan korporasi sebagaimana dikatakan Lao Tze, “Seorang pemimpin yang terbaik adalah ketika orang hampir tidak tahu dia ada, ketika karyanya selesai, tujuannya terpenuhi, orang-orang berkata: ‘kami melakukannya sendiri’.”
Tandean Rustandy, Peneliti Senior Reformed Center for Religion and Society