Investor Daily, 4 Juni 2012
Tandean Rustandy
Perjalanan dari Bandara Internasional Malpensa, Milan, ke Sassuolo, Modena, pusat industri manufaktur keramik terpenting dunia yang berjarak 250 km, biasanya memakan waktu 3,5 jam karena jalan tol selalu padat. Namun, perjalanan saya pada Mei lalu ternyata hanya dua jam.
Jalan tol utama yang menghubungkan wilayah utara Italia ke selatan tampak len gang. Jumlah truk, kontainer dan mobil pribadi menurun drastis. Hal ini membuat saya terkejut karena sudah puluhan kali saya melewati jalan tol tersebut, dan tidak pernah sepi. Krisis Eropa sangat nyata terlihat, dampak dari “Program Pengetatan” yang sedang dilakukan pemerintah Italia untuk keluar dari krisis.
Di Sassuolo, saya makan siang di restoran langganan. Biasanya cukup ramai dengan para pekerja. Tapi, siang itu tampak sepi. Para pekerja mulai ketat dengan pemakaian uang. Pemilik restoran merangkap sebagai chef mengatakan dia bisa survive karena bangunan restoran dimiliki sendiri dan harus mengurangi pelayan.
Sebelumnya, restoran tidak dipungut pajak, tetapi sekarang harus mulai membayar. Faktor pemicu lain adalah tingginya harga minyak (Italia menempati posisi ke–3 harga minyak termahal di dunia) yang membuat biaya transportasi membubung tinggi. Dengan demikian harga bahan baku pun turut melonjak. Seperti pepatah, “sudah jatuh tertimpa tangga”.
Belajar dari Italia
Pertumbuhan produk domestik bruto (GDP) Italia pada kuartal I-2012 ini memang berada pada tingkat -0,8% seiring dengan penurunan daya beli masyarakatnya. Sedangkan per April 2012 pertumbuhan ekspor Tiongkok menurun perlahan dari 8,9% menjadi 4,9%. Hal ini akibat anjloknya ekspor ke Eropa dan Amerika Serikat.
Kalau pertumbuhan ekonomi negara besar seperti Tiongkok menurun sedikit demi sedikit, bagaimana para pemimpin Asia mengantisipasinya? Apakah negara-negara Asia mau berjuang sendiri-sendiri? Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah para pemimpin kita sudah mempelajari dan mempersiapkan diri atas dampak krisis Eropa terhadap Indonesia?
Kita bersyukur memiliki sumber daya alam melimpah dan daya beli yang cukup baik. Kita masih bisa mengekspor hasil tambang, seperti batubara dan gas alam dalam jumlah yang cukup besar. Ironisnya, sektor industri nasional sedang problem mengenai suplai gas. Kita dikejutkan mendengar keputusan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) menaikkan harga gas hingga 55%. Industri manufaktur kelas menengah ke bawah kembali terpukul. Bagaimana mungkin biaya produksi bisa kompetitif dibanding dengan produk Tiongkok?
Indonesia memang harus banyak belajar menerapkan program pengetatan, seperti dilakukan Italia dan sebagian negara-negara Eropa. Kami sebagai pengusaha terus berusaha untuk menjadi contoh kepada setiap karyawan dalam menerapkan program pengetatan yang digariskan. Apabila sebagai pemimpin tidak menjadi contoh mana mungkin seluruh karyawan akan menjalankanya. Tujuan seorang pemimpin harus menjadi panutan untuk membangun sebuah institusi yang kuat, kompetitif, serta mampu terus bertumbuh tanpa bergantung kepada siapa pemiliknya.
Sebagai pengusaha, kami tidak memiliki kekayaan alam, SDM maupun law enforcement seperti pemerintah, tetapi usaha kami bukan saja survive tetapi bertumbuh. Perbedaan pengusaha dan pejabat pemerintah adalah pengusaha, bagaimana mencari dan mengelola dana supaya terus bertumbuh, sedangkan pejabat pemerintah tidak perlu mencari dana tapi sudah disediakan untuk membelanjakannya.
Makanya kita sering mendengar penyelewengan anggaran dan yang terkini penyelewangan perjalanan dinas mencapai 30-40% dari biaya perjalanan dinas sebesar Rp 18 triliun. Rakyat sudah sangat bosan mendengar birokrasi pemerintah sering korupsi, tapi tindakan pencegahan dan hukuman sangat minimal.
Apabila penyakit korupsi tidak dibasmi dan para pemimpin tidak mengerti “cinta bangsa dan negara”, bagaimana nantinya ketika suatu saat di Indonesia terjadi hal yang sama seperti di Eropa? Siapa nanti yang akan memikulnya? Pasti anak-cucu kita yang menanggungnya.
Kalah satu sebab terjadinya krisis Eropa adalah generasi muda terlena oleh comfort zone. Mereka lahir di situasi yang nyaman, infrastruktur begitu bagus, bunga bank cukup rendah dan stabil, sistem pemerintahan yang sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat. Karena lahir dalam kondisi yang nyaman maka semangat berjuang sangat rendah, segala sesuatu sudah disediakan.
Berbeda dengan generasi tua yang harus membangun dari kehancuran Perang Dunia Kedua. Mereka merasakan kepahitan, kekurangan sandang pangan. Kondisi comfort zone mulai mempengaruhi sebagian besar penjabat, pengusaha dan rakyat kita yang hidup dikota besar. Banyak pejabat dan pengusaha yang berkuasa semakin serakah, berkolusi untuk semakin makmur dan jarang mau turun ke lapangan. Mereka lupa asal asulnya, seyogianya kalau sudah berkuasa, yang harus dibangun adalah daerah supaya kesenjangan antara kota besar dan daerah tidak mencolok.
Pejabat Harus Turba
Sepatutnya kita harus malu membandingkan Indonesia dengan Eropa dalam banyak hal, terkecuali kekayaan alam kita yang melimpah. Kekayaan alam adalah anugerah dari Tuhan yang harus dikelola supaya bisa membuat Indonesia semakin makmur, sejahtera, dan disegani. Pertumbuhan kita sangat banyak ditopang dari hasil eksploitasi perut bumi dan suatu saat pasti akan habis. Kerusakan lingkungan yang terjadi biayanya luar biasa mahal dan akan dipikul oleh anak cucu kita.
Para pejabat pemerintah seharusnya bukan hanya menjadi pendengar yang setia, tapi harus sering turun ke bawah (turba) untuk bisa melihat kesulitan, tantangan, dan kesempatan. Dengan demikian mereka bisa merasakan kesulitan dan penderitaan, sehingga akan lebih peduli berkorban untuk rakyat.
Jadi pemimpin itu jangan egois, sebagaimana dikatakan mantan Presiden AS Franklin D Roosevelt: “Kepentingan diri sendiri adalah musuh dari semua kasih sayang sejati”. Apabila setiap kita merindukan Indonesia tidak terpuruk seperti dirasakan bangsa Eropa saat ini, kata mutiara Presiden Rooselvelt patut menjadi teguran yang membangun.
Tandean Rustandy, Penulis adalah Direktur Studi pada Reformed Center for Religion and Society, Jakarta, alumnus University of Chicago Booth School of Business