Suara Pembaruan, 18 Juni 2008
Benyamin F. Intan
Pemerintah akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No 199 Tahun 2008 tentang Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Melalui SKB ini, pemerintah berupaya senetral mungkin ingin berdiri di atas semua kelompok. Itu sebabnya kehadiran SKB hanya sebatas memberikan peringatan dan perintah kepada anggota dan pengurus JAI agar mematuhi keputusan pemerintah. Misalnya, dengan menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan JAI yang menyimpang dari pokok ajaran agama Islam. SKB memang tidak membekukan dan membubarkan JAI, tapi juga tidak memberikan kebebasan bagi JAI melakukan aktivitas keagamaannya.
Di sini, untuk menyelesaikan konflik, pemerintah berkompromi. Pemerintah memakai pendekatan ‘bukan-ini-bukan-itu’ (neither-nor). Logika neither-nor tidak bisa memuaskan semua pihak. Neither-nor berprinsip tidak ada pihak yang diterima sepenuhnya, tidak ada pihak yang ditolak sepenuhnya. Prinsip dasarnya menang tanpa ngalahake – menang tanpa mengalahkan. Artinya, tidak ada yang menang, tidak ada yang kalah.
Clifford Geertz menyebutkan pilihan inklusif-pragmatis ini sebagai “adaptive, absorbent, pragmatic, and gradualistic, a matter of partial compromises, half-way covenants, and outright evasions” (Islam Observed, hal 16).
Pilihan neither-nor adalah pilihan negatif. Pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah. Konflik tidak diselesaikan dengan mencari sintesa yang lebih tinggi. Konflik “diatasi” dengan cara menunda, dengan cara sedapat mungkin dihindari. Jadi, maksud pemerintah dengan SKB kompromi bukan untuk menciptakan integrasi sosial. Harapan pemerintah hanyalah sebatas mencegah disintegrasi sosial.
Ketegangan
Persoalan dasar SKB kompromi adalah ketidakmampuannya memuaskan semua pihak. Kelompok yang peduli eksistensi Ahmadiyah menganggap SKB go too far, sementara kelompok anti-Ahmadiyah yang menginginkan pembubaran Ahmadiyah menganggapnya not go far enough. Bukti empiris di lapangan menunjukkan terjadi eskalasi ketegangan antara kedua kelompok ini pada pasca-SKB. Khususnya pada kelompok anti-Ahmadiyah, terjadi lonjakan kecurigaan dan rasa waswas di dalam memantau JAI.
Potensi konflik yang sangat besar ini dipertajam dengan isi SKB yang multitafsir. Tidak jelas, aktivitas keagamaan JAI yang diperbolehkan dan yang dilarang. Apakah JAI boleh mengadakan aktivitas keagamaan individu, ke masjid misalnya. Sampai sejauh mana JAI boleh beraktivitas keagamaan secara komunal. Semuanya ini tidak jelas, sehingga memicu tafsir sepihak dari mereka yang memantau. Akibatnya, konflik horizontal tinggal tunggu waktu dan tidak terelakkan. Kehadiran SKB bukannya menyelesaikan masalah, tapi malah membuat masalah bertambah runyam.
Pemerintah telah salah kaprah dengan SKB. SKB yang ditandatangani dua menteri dan Jaksa Agung ini ternyata menyangkut soal tafsir agama. Dalam poin dua ada kata “menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam.” Artinya, SKB menjebak pemerintah memihak soal tafsir agama. Wewenang memberikan tafsir agama yang semestinya hanya ada pada Tuhan dan penganut agama, telah diambil alih oleh pemerintah.
Akibatnya, pemerintah membelenggu kebebasan beragama dengan menafikan hak seseorang untuk menafsirkan apa yang dipercaya sesuai hati nuraninya. Penganut Ahmadiyah tidak lagi memiliki kebebasan memberikan tafsir pada agamanya, karena bisa dituduh melakukan penodaan agama dan melakukan tindak kriminal.
Pendek kata, SKB telah melampaui batas kewenangan pemerintah. Tidak ada hubungan kausal antara iman kepercayaan Ahmadiyah dengan pelanggaran hukum, tindakan kekerasan, atau mengganggu ketertiban umum, yang merupakan tugas hakiki pemerintah. Kehadiran SKB bukti campur tangan pemerintah terhadap urusan intern agama. Wewenang pemerintah pada agama sudah jauh menyimpang, bukan lagi pada “tataran batasan agama” (at the boundaries of religion), tapi sudah “melintasi tataran batasan agama” (across the boundaries of religion) (Michael Walzer, Spheres of Justice, hal 15, 282).
Batasan-batasan otonomi agama dan negara, yang oleh Abraham Kuyper dikatakan sebagai sphere sovereignty, telah dirusak dan dilanggar. SKB menolak prinsip “a Free [religion] in a Free State” (Abraham Kuyper, Lectures on Calvinism, hal 99, 106). Hubungan agama-negara dalam konteks SKB bukan lagi dekat dan intim, tapi sudah mulai lengket dan menyatu.
Akibatnya, terjadilah “politisasi agama”, di mana negara/pemerintah mendominasi ranah privat agama. Dengan menghukum pemeluk agama yang tidak menjalankan agamanya sesuai tafsir agama resmi, pemerintah telah mengkriminalkan agama. Kriminalisasi agama jelas akan membelenggu kebebasan beragama. Demi ‘berdiri di atas semua pihak,’ pemerintah telah mengorbankan tugas hakikinya di dalam mengemban konstitusi yang jelas-jelas menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara. SKB telah mengaburkan normatif kebebasan beragama, karena gap diskontinuitas antara konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan hukum di bawahnya yang menentang kebebasan beragama.
Kriminalisasi agama yang memasung kelompok agama minoritas dengan berpihak pada mayoritas memunculkan isu diskriminasi agama. Dengan membeda-bedakan warga negara berdasarkan agama yang dianutnya, negara sebetulnya sudah kehilangan fungsinya yang paling luhur sebagai pengayom kemaslahatan warga, tanpa diskriminasi. Natur negara yang tadinya inklusif dan nonsektarian kini menjadi otoriter dan diskriminatif. Politisasi agama berbalik menjadi tindakan bunuh diri bagi negara.
Tidak Produktif
Bukan hanya itu. SKB dengan isu diskriminasi agama apabila dibiarkan akan menyulut konflik horizontal, seperti yang telah diungkapkan di atas. Artinya, kehadiran SKB kontraproduktif. Bukannya mengatasi konflik, tapi malah berpotensi sumber konflik. Pendek kata, politisasi agama tidak produktif, ia malah menjadi bumerang bagi negara. Penolakan terhadapnya, oleh karena itu, menurut David Hollenbach, S.J, adalah sebuah keniscayaan yang normatively objectionable (The Global Face of Public Faith, hal 185).
Amat disayangkan, munculnya SKB kompromi bukan hanya karena penyimpangan wewenang negara, tetapi juga ada saham agama di dalamnya. Demi kepentingan politisnya agama “berselingkuh” dengan kekuasaan negara (agamaisasi politik), tidak sadar bahwa legitimasi religius (religious legitimacy) yang dilimpahkan kepada negara untuk menekan kelompok agama minoritas dapat berdampak negatif padanya. Kekuasaan yang mana dapat berbalik menjadi bumerang bagi agama bersangkutan secara kontraproduktif.
Agama yang merestui intervensi negara dalam kehidupan rohani warga sekalipun bermotivasi dan beriktikad luhur, dalam kenyataannya bukannya membuat orang lebih beriman dan bertakwa, tapi malah memperkembangkan kemunafikan yang dapat merusak citra agama itu sendiri. Bayangkan bila berhadapan dengan hukum negara yang mengharuskan pemeluk agama menjalankan keyakinannya sesuai dengan tafsir agama resmi, daripada repot dan susah orang akan cenderung menampakkan kehidupan rohani yang supervisial. Akibatnya, muncullah kemunafikan yang nantinya dapat menghancurkan nilai-nilai luhur agama itu sendiri.
Agama yang mensubordinasikan negara di bawah kekuasaannya adalah agama yang menginginkan kebijakan negara diambil sesuai dengan ketentuan agama. Dalam konteks ini, agama dijadikan alat penentu untuk membedakan perlakuan terhadap warga negara. Sadar atau tidak, agama tersebut telah mempersamakan dirinya yang infinit dengan kekuasaan negara yang fana dan sementara. Agama demikian akan kehilangan karakter transendennya. Tanpa identitas transenden, agama mandul, tidak lagi berfungsi kritis dan profetis. Akibatnya, ia tidak lagi mampu mengemban misinya sebagai pengayom moralitas bangsa.
Dengan membelenggu kebebasan beragama dan mengkriminalkan agama, eksistensinya bukan hanya melawan konstitusi, tapi juga tidak demokratis, oleh karena dalam negara-negara demokrasi modern, agama tidak dapat dikriminalkan.
Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society