Surya, 15 Januari 2008
Antonius Steven Un
Hari Selasa, 15 Januari ini merupakan peringatan lahirnya Martin Luther King, Jr, pejuang hak asasi manusia (HAM) dan anti diskriminasi ras yang berhasil memenangkan kesetaraan ras bagi kaum kulit hitam di Amerika Serikat. Untuk jerih lelah perjuangannya, King dihadiahi Nobel Perdamaian tahun 1964.
Komitmennya bagi penghapusan diskriminasi ras demikian besar sampai-sampai hadiah uang yang diterimanya dari Komite Nobel sebesar $54.123 disumbangkan bagi kemajuan gerakan hak-hak sipil. Salah satu sumbangsih King bagi sejarah adalah roh (baca: gerakan) anti-kekerasan.
King mengkritik pendekatan kekerasan yang digunakan kaum tertindas menghadapi penindasan, sekalipun ia mengakui bahwa kekerasan kerap mendatangkan kemenangan. Namun demikian, meminjam ungkapan filsuf-teolog Dr. Stephen Tong, side effects overcome original effects, maka efek samping kekerasan lebih mahal dan dominan ketimbang efek aslinya. Efek samping kekerasan bahkan menciptakan masalah sosial baru dan mendatangkan kondisi yang lebih chaos.
Menggunakan kekerasan sebagai pendekatan menuju keadilan rasial dianggap oleh King sebagai tidak praktis dan tidak bermoral (Stride Toward Freedom (1958) dalam kumpulan tulisan suntingan editor Diane Revitch & Abigail Thernstrom, 2005, hal. 214-15). Dianggap tidak praktis karena akan berakhir dengan kehancuran bagi semua.
”Hukum lama mata ganti mata akan membuat semua orang buta”, demikian keluhannya. Dianggap tidak bermoral karena menginjak-injak kemanusiaan, menyuburkan kebencian, memustahilkan persaudaraan, membuat masyarakat bermonolog, menciptakan kepahitan dan kebengisan dan warisannya adalah ”kerajaan kekacauan (chaos) yang tanpa makna dan tanpa akhir”.
Logika sesat kekerasan sebagaimana dieksposisi oleh King seharusnya membuat kita menghapuskan pendekatan tersebut dari bumi Pertiwi ini. Regulasi bukanlah satu-satunya solusi.
Sebaliknya pembangunan paradigma dan kultur baru sebagai antitesis kultur kekerasan yang mendarah daging merupakan salah satu isu pergumulan sosial kekinian kita sebagai bangsa. IPDN, gang motor, KDRT, tawuran antar pelajar dan sebagainya, masih harus menjadi pekerjaan rumah berat ke depan.
Pendekatan Non-Violence
King menawarkan pendekatan non-violence (nir-kekerasan) sebagai jalan keluar dalam memperjuangkan kebebasan. Pembelajaran bagi kita adalah dengan melakukan dereduksi makna yakni bahwa pendekatan nir-kekerasan bukan saja digunakan dalam perjuangan kemanusiaan kaum tertindas tetapi menjadi pola pikir dan model relasi interpersonal, antar kelembagaan dan organisasi, khususnya menghadapi konflik horizontal.
Pertama, pendekatan non-violence merupakan upaya menjaga keseimbangan masyarakat yang sehat. Membalas kekerasan dengan kekerasan hanyalah akan menciptakan masyarakat sakit dan timpang dengan aroma dan trauma balas dendam tidak habis-habisnya.
Motivasi perjuangan King jelas, seperti yang dirumuskannya, ”Tuhan tidak sekedar berkepentingan akan pemerdekaan kaum hitam, kaum coklat dan kaum kuning; Tuhan berkepentingan akan kebebasan seluruh umat manusia” (Stride Toward Freedom, hal. 211). Hal inilah yang harus menjadi motivasi bersama seluruh bangsa, sebab dengan terciptanya masyarakat sakit, energi bangsa terkuras dalam menyelesaikan konflik horizontal, sementara upaya mencapai visi bangsa sesuai amanat konstitusi menjadi terasa sangat amat berat.
Kedua, pendekatan non-violence menunjukkan bahwa obyek perlawanan kita alias musuh bersama bukanlah sang kriminal melainkan kriminalisme itu sendiri, bukan sang penjahat melainkan kejahatan itu sendiri, bukan sang penindas, melainkan penindasan itu sendiri. King mengatakan ”Melalui perlawanan non-violence, kaum kulit hitam akan naik ke puncak kemuliaannya karena melawan sistem yang tidak adil sementara mencintai para pelaku sistem itu” (Stride Toward Freedom, hal. 216).
Karena itu, musuh kaum buruh bukanlah pengusaha, tetapi kiat berbisnis kotor yang memanipulasi dan mengeksploitasi buruh secara semena-mena bagi kepentingan profit finansial.
Musuh kita dalam hal lingkungan bukan kaum kapital melainkan perilaku pembalakan liar dan perilaku pembuangan limbah secara tidak bertanggung jawab, entah hal itu dilakukan oleh pemodal, atau regulator yang berselingkuh jahat bagi kepentingan materialisme belaka.
Ketiga, pendekatan non-violence tidak berarti membuang militansi. Militansi tidak boleh disempitkan dengan penggunaan kekerasan yang tidak terukur. King mengatakan, ”manakala gerakan massa itu pantang memakai cara-cara kekerasan dan dengan teguh hati bergerak menuju sasarannya…maka dukungan publik secara magnetis akan tertarik kepada kubu gerakan non-violence ini” (Stride Toward Freedom, hal. 217).
Berarti militansi bukanlah berbicara pendekatan sebab komitmen nir-kekerasan sudah jelas. Sebaliknya, militansi berbicara keteguhan hati terhadap visi dan prinsip perjuangan yang tidak boleh luntur sekalipun ditempa penderitaan. Justru daya tarik dari gerakan demokrasi nir-kekerasan adalah militansinya. Hal ini berarti, gerakan dan masyarakat sipil harus menghapus kekerasan dari kamus mereka, untuk kondisi apapun juga.
Keempat, pendekatan non-violence mempunyai kekuatan lain yang tidak dimiliki oleh kekuatan hukum yuridis-formal. Jika hal yang terakhir ini berkekuatan koersif menuntut individu menjalankan amanahnya, paling-paling yang terjadi adalah kemunafikan karena hukum dijalankan dari luar (legalisme) tetapi bukan dari kesadaran nurani.
Sebaliknya, pendekatan non-violence yang berbasiskan cinta kasih kepada musuh, mempunyai kekuatan menyentuh nurani yang tertidur, hati yang keras untuk tergerak melihat dan mengkonsiderasi nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Dengan kata lain, pendekatan nir-kekerasan adalah pendekatan sosial yang tidak kalah penting dalam penyelesaian konflik dengan pendekatan yuridis-formal. Terhadap konflik-konlik horizontal yang kerap masih banyak terjadi, membangun relasi interpersonal perlu dikemukakan dan diupayakan terus menerus.
Terakhir, pendekatan non-violence berarti kesediaan untuk menderita dan berkorban. King bukan saja mengajarkan pendekatan ini tetapi melakoninya sendiri dan menjadi teladan. Ia melakukan perjalanan lebih dari enam juta mil dan berpidato ratusan kali, ditangkap sebanyak dua puluh kali, diserang sebanyak empat kali dan terakhir ditembak mati selagi ia berdiri di balkon ruang motelnya di Memphis, Tennesee, pada 4 April 1968.
Setiap perjuangan bagi kebenaran dan keadilan tidak mungkin tanpa pengorbanan. Perjuangan melawan Orde Baru harus menghasilkan kematian demikian banyak mahasiswa. Tinggal pertanyaannya, siapakah yang rela berkorban bagi kebenaran dan keadilan.
Setiap orang akan menjadi pahlawan bagi kebenaran keadilan tatkala memiliki kesediaan berkorban bagi orang lain, bagi nilai kemanusiaan universal dan seterusnya. Inilah teladan King yang harus kita tiru. Semoga!
Antonius Steven Un, Penulis adalah Peneliti Teologi Politik Reformed Center for Religion and Society