Ketika Negara-Negara Superior Diterpa Bencana

Investor Daily, 11 April 2011
Tandean Rustandy
Pada kuartal I-2011, banyak peristiwa yang tidak pernah terpikirkan, namun terjadi. Siapakah yang pernah menduga para penguasa di Timur Tengah yang bertahuntahun duduk di singgasana kekuasaannya kini rontok satu persatu?

Dimulai dari Tunisia kemudian menjalar ke Mesir, bahkan pemimpin Libya Moammar Khadafy yang untouchable, pada akhirnya mesti berusaha keras untuk mempertahankan kekuasaannya. Para raja, sultan-sultan di kawasan itu dibuat pusing oleh rakyatnya yang kini menuntut perubahan.

Siapa pun tidak menyangka, bahwa Selandia Baru yang sangat makmur dan sejahtera bisa dibuat kalang kabut hanya karena gempa 6,5 skala Richter. Kota Christchurch yang begitu diidamkan oleh banyak imigran hancur berantakan. Kemudian kita dikagetkan oleh gempa dahsyat di Sendai, Jepang, berskala 8,9 skala Richter, diikuti tsunami yang melumpuhkan total area Sendai.

Yang paling menggemparkan adalah meledaknya reaktor nuklir Jepang ketika dihantam gempa dan tsunami tersebut. Ancaman radiasi menjadi momok bagi ribuan penduduk sekitar, hingga ke Negeri Paman Sam, serta negara-negara Eropa.

Pelajaran yang Dipetik

Setidaknya ada dua hal yang bisa kita pelajari dari peristiwa-peristiwa tersebut. Pertama, manusia yang mengejar kekuasaan dan uang semata- mata untuk kesejahteraan pribadi, tidak bisa bertahan selamanya.

Kedua, para pemimpin dunia ini mungkin merasa sudah berpikir dan membuat perencanaan yang terbaik terhadap musibah gempa yang rutin dihadapi. Namun, dengan kedahsyatan bencana alam, kita tetap harus sadar bahwa “Manusia boleh merencanakan tapi Tuhan yang menentukan”.

Soal para penguasa Timur Tengah, kerugian economy rent dan opportunity lost yang lebih besar mestinya bisa terhindari apabila sejak awal mereka telah membangun institusi yang kuat untuk pembangunan berkesinambungan demi kedamaian dan kesejahteraan rakyatnya.

Melihat kemampuan mengelola sovereign fund masing-masing Negara dengan mendapat keuntungan yang fantastis, tindakan itu jelas sangat mengherankan.

Lebih parah lagi, kekayaan yang didapat dari minyak bumi dan gas alam, serta keuntungan dari investasi sovereign fund tersebut juga tidak disalurkan dengan baik untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Akibatnya, terciptalah gap yang lebar antara yang kaya dan miskin di Timur Tengah.

Mereka yang kaya, yakni keluarga kerajaan bisa hidup berfoya-foya ditemani para selebritas dari man mancanegara, sementara rakyat kebanyakan tak mampu memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan.

Tidaklah mengherankan jika kemudian rakyat yang miskin itu bersatu untuk melawan penguasa. Bagi kita di Indonesia, “Revolusi Timur Tengah” setidaknya juga merupakan proses belajar dari perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945 dan reformasi 1998. Alangkah naifnya kita melupakan sejarah yang telah begitu banyak mengorbankan darah dan biaya.

Kita juga bisa belajar dari Selandia Baru yang tidak pernah memperhitungkan bahwa negaranya akan mendapat bencana gempa bumi. Mereka sangat fokus membangun kualitas hidup yang prima untuk rakyatnya, tapi siapa yang menyangka, gempa bumi dalam skala biasa menimbulkan kerugian yang sangat luar biasa besar.

Bangsa Jepang sering diterpa gempa dan mereka terlatih dalam menghadapinya. Bangunan di Jepang didirikan dengan kemampuan menghadapi gempa, tapi tidak dibangun untuk menghadapi tsunami. Jepang adalah bangsa “superior”, yang selalu “menyediakan payung sebelum hujan”.

Kita bisa belajar bagaimana mereka menghadapi dan menyelesaikan bencana yang terbesar setelah tragedi Hiroshima. Ledakan reaktor nuklir pembangkit listrik yang menjadi kekhawatiran banyak negara ditenangkan tidak lebih 10 hari. Bisa dibayangkan berapa besar kerugian yang diakibatkan apabila kasus kebocoran dari reaktor nuklir berlarut-larut.

Penuhi Kebutuhan Dasar

Ketiga kasus yang menimbulkan kerugian uang sangat besar di atas telah direspons dengan reaksi berbeda. Kerugian materi maupun jiwa di Timur Tengah diakibatkan oleh keegoisan dan kerakusan manusia. Bencana di Selandia Baru karena “kepolosan”. Manusia membangun untuk kenyamanan dan ketenangan tanpa mempertimbangkan bahwa bangunan berfondasi kokoh juga diperlukan supaya warganya lebih siap apabila ada “goyangan Tuhan”.

Sedangkan musibah di Jepang memberi makna seberapa pun pandai dan baiknya manusia menciptakan sesuatu, tetap tidak ada yang sempurna. Jepang tidak mempunyai kekayaan minyak bumi dan gas alam. Untuk mengurangi konsumsi, mereka memakai pembangkit listrik tenaga nuklir. Walaupun begitu ketat dalam menjalankan aturan pengawasan, seakan hampir tidak ada celah kesalahan manusia, tapi siapa sangka, gempa yang begitu dahsyat membuat dua reaktor nuklir rusak.

Adalah sangat menyedihkan melihat para “pahlawan pembangunan” menjadi pengungsi untuk menyelamatkan diri dari perang saudara di Timur Tengah. Sangat memilukan melihat penyelamatan korban yang tertimbun bangunan akibat gempa di Selandia Baru.

Juga sulit diungkapkan dengan kata-kata melihat orang berusia lanjut di Jepang tetap tegar walaupun mereka mengalami kedukaan dan kesakitan. Semua mereka menjadi pengungsi dan semua pasti mengalami kerugian materi yang tidak terhitung. Saat-saat seperti itu, hal yang mereka butuhkan makanan, minuman serta tempat tinggal, bukan uang, harta, atau kekuasaan.

Rakyat Indonesia perlu belajar. Sebagai negara yang rutin dikunjungi gempa, banjir, letusan gunung berapi, kebutuhan makanan, minuman, dan tempat tinggal adalah vital. Amerika Serikat kelimpungan ketika dihantam bencana Katrina, Eropa hampir mati suri pada waktu gunung berapi meletus di Islandia. Australia kelihatan luntang lantung pada waktu kebanjiran di Quennsland.

Apakah rakyat di negeri kita mampu mencukupi kebutuhan dasar mereka sehari-hari – makanan, minuman, tempat tinggal — meski tak ada bencana?

Tandean Rustandy, Penulis adalah Peneliti Senior Reformed Center for Religion and Society, Alumnus MBA Booth School of Business, University of Chicago

Leave a Comment

Your email address will not be published.