Suara Pembaruan, 6 Januari 2007
Benyamin F. Intan
Bencana terus melanda Indonesia tiada henti, seakan ingin melahap semua orang dalam murkanya, itulah yang terlontar dari mulut orang-orang yang luput dari bencana dan menyaksikan bagaimana mengerikannya maut menjemput setiap orang yang menjadi korban dalam bencana.
Memang harus diakui, wilayah tanah air kita memiliki potensi tinggi terjadinya tsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tanah longsor, yang kesemuanya ini merupakan pemberian dari sang pencipta yang tidak bisa kita tolak. Namun hal itu tidak berarti lalu kita sama sekali tidak berdaya menghadapi datangnya bencana.
Keganasan alam bisa tetap terjadi, tapi manusia sebagai citra Allah (imago Dei), melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seharusnya mampu mendeteksinya, paling tidak mengurangi dampak bencana. Karena alam yang teratur terbaca oleh pemikiran manusia dan kemajuan teknologi adalah cara mengatasi keganasan akibat negatif dari alam.
Dengan demikian, bencana yang terjadi bukan semata karena keganasan alam melainkan karena manusia tidak mampu mengelola alam dengan bijak. Tapi herannya, keganasan alam selalu dianggap penyebab utama bencana yang menelan korban manusia.
Bencana asap yang berlarut-larut melanda negeri ini dan negara-negara tetangga akhirnya bisa teratasi, berkat turunnya hujan. Pemerintah mengakui hanya hujan yang mampu menghentikan asap, pengakuan itu memang ada benarnya tapi lebih banyak salahnya.
Asap memang sudah tidak lagi menunjukkan kepongahannya di langit Indonesia pada musim penghujan, dan tidak ada lagi yang perlu diekspor ke negara-negara tetangga. Tapi, hujan yang dianggap dewa penolong itu justru menunjukkan kepongahannya melebihi asap yang telah disingkirkannya, pasalnya banjir dengan tanah longsor di berbagai tempat telah menelan korban manusia dan harta benda yang tidak sedikit.
Bencana banjir serta tanah longsor telah menjadi langganan di negeri ini, apalagi pada musim penghujan, kita seakan pasrah dengan kondisi ini.
Mandailing Natal, Sumatera Utara, harus mengakui keganasan tanah longsor yang menelan rumah-rumah penduduk serta nyawa manusia, demikian pula dengan Aceh, belum juga pulih akibat bencana tsunami dua tahun lalu, kini terkapar dihantam banjir.
Belum cukup sampai disitu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi memprediksi banjir bandang dan tanah longsor yang mengerikan masih mungkin terjadi di 11 provinsi di Indonesia pada bulan Januari 2007 ini.
Korban manusia hampir pasti akan bertambah, mudah-mudahan dengan peringatan ini antisipasi terhadap bencana dapat lebih serius dilakukan, paling tidak dapat mengurangi jatuhnya korban manusia.
Kesalahan Manusia
Bencana yang terjadi di Indonesia bukan hanya terjadi karena keangkuhan alam (natural evil), tetapi juga terkait dengan keteledoran manusia dalam mengantisipasi bencana (moral evil).
KM Senopati yang berpenumpang 571 orang dihantam gelombang besar di perairan Pulau Mandalika, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, 29 Desember 2006, sampai saat ini baru ditemukan 207 penumpang dengan 11 orang meninggal.
Departemen Perhubungan secara resmi melarang semua jenis kapal melaut selama sepekan, terhitung mulai Senin, 1 Januari 2007, mengingat tenggelamnya beberapa kapal akibat cuaca buruk.
Tapi anehnya, alam kembali dijadikan kambing hitam bencana, padahal cuaca buruk bukan tidak dapat dideteksi, tapi sebelum ada korban sering kali tidak digubris.
Realitas ini juga nyata pada hilangnya pesawat Adam Air yang sampai kini belum ditemukan. Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) Juanda, Surabaya, sebenarnya telah memperingatkan adanya cuaca buruk di sekitar Makasar dan Manado sebelum keberangkatan pesawat Adam Air dari Surabaya. Meski ada peringatan, Pilot Revri Agustian Widodo memutuskan tetap berangkat pukul 12.59.
Walaupun pantauan BMG telah disampaikan kepada semua maskapai penerbangan dan pilot wajib mengambil dokumen yang berisi prakiraan cuaca pada rute yang dilewati sebelum menerbangkan pesawat, laporan BMG tersebut tampaknya tidak menjadi perhatian serius.
Namun, ketika bencana terjadi, lagi-lagi alam dijadikan kambing hitam, padahal kenyataan alam dapat dibaca oleh manusia dan dapat dihindari lewat prakiraan cuaca walau tidak pasti.
Politik Bencana
Mengingat letak Indonesia pada “Ring of Fire” yang rawan bencana, kehadiran politik bencana merupakan suatu keharusan mutlak (absolute necessity). Namun sayangnya hingga kini pemerintah belum memiliki program politik bencana yang membuat bencana tak pernah dapat diantisipasi secara dini. Pencarian pesawat Adam Air yang hilang ternyata mengandalkan laporan radar Singapura, pasalnya Indonesia belum mampu mengawasi seluruh daerah kepulauannya, apalagi melindunginya.
Demikian juga dengan peristiwa tsunami di Pangandaran, peringatan dini sudah diberikan melalui alat pendeteksi tsunami dari negara tetangga, yaitu Jepang, tetapi tetap tidak diantisipasi oleh pemerintah.
Indonesia bukannya tidak mempunyai alat pendeteksi tsunami, tetapi alat itu tidak terawat baik, apalagi bicara orang yang bertanggungjawab memberi peringatan, tentunya lebih sulit untuk ditemukan.
O alangkah benarnya pepatah kita: “lebih baik mencegah daripada mengobati.”
Ongkos membangun sistem pendeteksian dini dengan perlengkapan sumber daya manusia yang memadai jauh lebih murah dibandingkan ongkos merehabilitasi pasca bencana.
Selain memberi peringatan dini, lingkup tanggung jawab politik bencana termasuk di dalamnya upaya pemerintah menanggulangi pasca bencana dengan membangun ketahanan masyarakat di dalam menghadapi bencana. Masyarakat disosialisasikan bagaimana menyelamatkan diri dari ancaman bencana.
Amat disayangkan, dalam pasca bencana pesawat Adam Air yang hilang, ketika keluarga korban sedang dirundung duka yang dalam, kesibukan mencari korban oleh tim SAR, serta keingintahuan masyarakat luas tentang nasib penumpang dan penyebab kecelakaan, muncul kekeliruan informasi dari pemerintah yang sangat fatal.
Informasi yang sempat disiarkan seluruh media massa bahwa pesawat Adam Air telah ditemukan dengan 90 korban tewas dan 12 penumpang selamat, ternyata berita itu tidak benar.
Kesimpangsiuran informasi yang diterima ini sempat meningkatkan kegelisahan keluarga korban, menunggu kepastian siapa di antara ke-12 penumpang yang dinyatakan masih hidup. Bahkan di dalam mengantisipasi informasi ini, sebagian keluarga korban sudah datang ke Makassar mencari kepastian kalau-kalau ada anggota keluarganya yang selamat.
Pemerintah hendaknya tidak gegabah dengan informasi yang menyangkut nyawa orang banyak. Kesalahan fatal dan kebohongan publik ini seharusnya bisa dihindari asalkan pemerintah mau melakukan konfirmasi di lapangan, dengan tanpa begitu saja percaya omongan pihak-pihak yang belum jelas.
Terjadinya musibah dalam angkutan transportasi umum baik bus, kereta api, kapal laut, dan pesawat udara adalah bukti perlunya introspeksi diri untuk tidak mengulangi bencana yang sama.
Kesadaran manusia sebagai penakluk alam seharusnya mendorong manusia terus mempelajari alam serta bersikap bijak dengan alam; dengan demikian, niscaya alam akan makin bersahabat dengan kita.
Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society