Kesadaran Kritis dan Sikap Politik Warga Gereja

Esai

  • Janwan Tarigan
  • Peneliti Malang Corruption Watch (MCW) 
  • 1 April 2022
  • Waktu Baca: 15 menit

Kesadaran Kritis dan Sikap Politik Warga Gereja
Perdebatan klasik tentang keterlibatan gereja dalam aktivitas politik seolah tak menemukan jawaban terang dan final. Termutakhir, ketika Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) turut berkomentar soal polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2021 silam. PGI menyatakan ketidaksepakatannya dengan hasil TWK KPK yang menyatakan 58 pegawai KPK tidak lolos tes. Warga gereja pun merespons tindakan PGI tersebut. Beberapa pihak mendukung, lantas ada pula yang tidak setuju.[i] Pada umumnya warga gereja menolak sikap PGI, sebab PGI sebagai organisasi keagamaan dinilai mulai mengurusi isu-isu politik praktis.
Bagaimana kita sepatutnya melihat pertentangan ini? Mengapa warga gereja terkesan sensi dengan hal-hal berbau politik? Dan bagaimana seharusnya warga gereja menyikapi politik? Berharap sekelumit pertanyaan ini ikut serta dalam diskusi mempertajam pemahaman politik warga gereja. Sebagai catatan awal, penulis mengidentifikasi dua hal yang menjadi pandangan di kalangan warga gereja.
Pertama, pandangan mengenai realitas politik yang korup. Pandangan ini beranggapan bahwa gereja tidak boleh berpolitik karena dinilai akan merusak citra gereja sebagai tubuh Kristus (1 Korintus 12: 27). Warga gereja yang berpandangan seperti ini seringkali mendasarkan argumentasinya pada kondisi politik yang “kotor”. Politik diidentikkan dengan nafsu kekuasaan yang penuh tipu daya menghalalkan segala cara, sehingga tidak baik terlibat di dalamnya, bahkan harus dijauhi.
Kedua, pandangan mengenai idealisme politik yang beradab. Mereka menilai semestinya gereja berpolitik, sebab tujuan gereja sejalan dengan filosofi politik itu sendiri. Politik ditelaah sebagai sesuatu yang asali: memaknai politik sebagai alat untuk mencapai tujuan mulia. Sebagaimana gagasan Plato dan Aristoteles yang merupakan pencetus kata “politik”, di mana bagi mereka filsafat sosial politik bertujuan menciptakan kesejahteraan, keadilan, dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat negara-kota.[ii] Bahkan, lebih hakiki, Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah makhluk politik (zoon politicon).
Menurut penulis, Aristoteles juga akan mengamini perbedaan kedua pandangan warga gereja tersebut, bahwasanya memang manusia memiliki dua sifat alamiah, yakni baik dan jahat, kasar dan lembut, adil dan tidak adil.[iii] Sekarang, kita bisa memilih, apakah menerima politik jahat, kasar, dan tidak adil ataukah kita memperjuangkan politik kebaikan, lembut, dan adil.
Tercederainya makna politik dalam persepsi warga gereja hari ini tidak dapat disimpulkan secara serta merta dengan memandang keseluruhan politik itu jahat. Munculnya pandangan tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut. Salah satu penyebabnya adalah kesenjangan antara konsepsi dan realita politik yang acapkali dipertontonkan di tengah masyarakat seperti perebutan kekuasaan, korupsi, pengkhianatan, dan lainnya. Tak pelak, hal ini kemudian menimbulkan pergeseran makna dari “politik adab” menjadi “politik korup”. Secara konseptual, seharusnya bukan politiknya yang dicap jahat, melainkan pelaku-pelaku yang memanfaatkan politik itu sendiri demi kepentingan pribadi dan golongan. Bisa dikatakan orang-orang yang berpandangan demikian menempatkan diri mereka sebagai subjek yang menentukan situasi. Jika politik hari ini kotor, maka kitalah yang bertugas membersihkannya. Malahan, Frederich Naumann berkata, “Ketika orang-orang baik menjaga jarak dari politik, tak perlu heran jika politik menjadi tidak baik.”[iv]

Kesadaran Kritis dan Pembebasan
Kedua pandangan di atas sama benarnya jika mengacu pada latar dan maksud munculnya persepsi warga gereja terhadap politik. Ibarat api, politik dapat berguna menerangi ruangan sekaligus bisa membakar seisi ruangan—membawa malapetaka. Bergantung untuk apa kita menggunakannya, demi kebaikan atau kejahatan. Bila warga gereja berpolitik untuk tujuan memenuhi nafsu kekuasaan, tentu aktivitas politik perlu dibatasi. Sebaliknya, warga gereja harus berpolitik agar dapat membawa kebaikan lebih luas bagi kehidupan jemaat.
Namun, akan berbeda jika kita coba melihat masing-masing pandangan tersebut dari tingkat kesadarannya. Hal ini secara lebih lanjut dapat ditinjau dari perspektif teori kesadaran yang dikemukakan Paulo Freire, seorang pemikir pendidikan dan politik. Menurut Freire, kesadaran manusia terbagi ke dalam beberapa tingkatan, yakni kesadaran magis, naif, dan kritis.[v] Kesadaran yang dimaksud Freire adalah bagaimana masyarakat melihat masalah sosial yang terjadi di sekitarnya; kemiskinan, kesenjangan sosial, penindasan, korupsi, dan lainnya.
Pertama, kesadaran magis diartikan sebagai ketidakmampuan masyarakat melihat kaitan antara masalah sosial yang dialaminya dengan sistem politik dan kebudayaan yang diterapkan. Semua yang terjadi dipandang sebagai takdir Tuhan, di mana manusia tidak bisa melawan atau mengubah dan hanya dapat menerima dengan lapang dada. Mereka melihat kemiskinan adalah takdir. Maraknya korupsi karena Tuhan menciptakannya. Satu-satunya pintu perubahan hanya dengan mengharapkan perubahan turun dari langit sesuai kehendak Tuhan. Dengan demikian, mereka dengan kesadaran magis tidak akan berbuat sesuatu yang dapat mengubah keadaan ke arah lebih baik.
Kedua, satu tingkat di atasnya adalah kesadaran naif, yaitu kesadaran yang sudah dapat memahami adanya persoalan, tetapi meyakini bahwa kondisi tersebut disebabkan dan bergantung oleh dirinya sendiri. Misalnya, masalah korupsi, kemiskinan, dan kesenjangan sosial dipandang soal individu lepas individu. Maraknya korupsi karena ketamakan individu. Individu yang rajin akan kaya, begitu sebaliknya, individu yang malas pasti jatuh dalam kemiskinan. Kesenjangan sosial yang ada juga dipandang disebabkan oleh masyarakat itu sendiri.
Ketiga, tingkatan tertinggi yaitu kesadaran kritis, di mana masyarakat dapat melihat secara tajam korelasi antara permasalahan sosial dan sistem politik dan budaya. Mereka menyadari permasalahan sosial tidak terlepas dari pemberlakuan sistem politik yang menindas. Sistem politik yang korup menyebabkan maraknya korupsi. Kemiskinan dan kesenjangan sosial terjadi dikarenakan sistem politik yang mengondisikan kekayaan terpusat pada segelintir orang, golongan atau daerah tertentu atau kemiskinan struktural.
Kesadaran magis dan naif menganggap kemiskinan disebabkan oleh takdir dan faktor individu semata. Sementara kesadaran kritis percaya bahwa Tuhan tidak menginginkan manusia pasrah dengan keadaan dan menjalani hidup susah. Begitu pula ketika melihat kemiskinan, mereka tidak percaya faktor malas dan rajin menjadi penyebabnya. Mereka mengamati petani sangat rajin, buruh pergi-pagi pulang-malam, tetapi tetap saja berada di bawah garis kemiskinan. Tidak adil, sulit diterima nalar kritis. Pasti ada sebab di luar takdir dan faktor individu. Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2019, misalnya, memperlihatkan kesenjangan si kaya dan si miskin yang begitu mencolok, di mana sebesar 50 persen aset nasional dikuasai satu persen orang kaya.[vi] Padahal, di negara dengan sistem pemerintahan demokrasi menghendaki kesetaraan politik dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyatnya. Hal ini tentu mengindikasikan ada yang menyimpang dari sistem politik kita. Dengan demikian, kesadaran kritis akan mendorong masyarakat bergerak mencari solusi persoalan yang ada di sekitarnya.
Gagasan Freire mengenai kesadaran kritis di atas sejalan dengan nilai gerejawi. Bagi Freire, pendidikan harus menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat yang pada akhirnya membebaskan manusia dari belenggu penindasan (kegelapan). Seperti halnya gereja percaya bahwa tugas orang percaya adalah membawa terang (membebaskan) di tengah kegelapan dunia (Matius 5: 14–15). Firman Tuhan mengamanatkan kepada orang percaya agar menunjukkan terangnya, dengan perumpamaan yang cukup jelas dalam Injil Matius: “Lagi pula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.”

Jalan Terang
Pertanyaannya, apakah warga gereja sudah merangkul kesadaran kritis untuk menjawab masalah sosial yang terjadi? Untuk menemukan jawaban yang jernih, perlu kiranya kita pahami dasar keberadaan gereja itu sendiri. Berdasarkan pengertian harfiahnya, gereja berasal dari bahasa Yunani yaitu kata ekklesia, artinya “orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan (kejahatan) ke jalan terang (kebenaran)”. Orang-orang yang sudah “dipanggil” disebut orang percaya atau pengikut Kristus yang bersekutu dalam wadah gereja (Efesus 2: 19–22). Sebagai pengikut Kristus, orang percaya harus seturut karakter-Nya dan melakukan kehendak-Nya. Melakukan hal yang serupa dengan Kristus, yakni memanggil orang-orang dari kegelapan ke jalan terang sehingga mengalami pertobatan. Itulah inti iman Kristen, dan harus dilaksanakan dalam tindakan. Dalam konteks kondisi politik praktis yang kotor hari-hari ini, orang-orang percaya sepatutnya berupaya mengubah dan membersihkannya. Memberitakan dan membawa terang kebenaran ke ruangan gelap yang bernama politik korup.
Perihal iman dan tindakan, firman Tuhan tegas menyampaikan dalam Yakobus 2: 14–17, “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakikatnya adalah mati.” Terang bahwa iman Kristen menghendaki adanya perbuatan nyata.
Namun, kenyataannya orang percaya seringkali memaknai iman Kristen lebih sebagai kepercayaan kepada Tuhan tanpa diikuti pengertian akan kehendak Tuhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini kemudian berakibat pada tindakan membatasi pelayanan di dalam gereja saja. Sementara, sesuatu yang berada di luar gereja, seperti politik, tidak perlu dicampuri oleh warga gereja. Paradigma ini seakan mendikotomikan antara iman dan politik. Padahal, antara iman dan politik tidak dapat dipisahkan, keduanya saling mengisi.
Misalnya, kaitan iman dan politik dalam hal kesadaran kritis. Mereka yang memiliki kesadaran kritis bukan berarti hanya mengandalkan kekuatan sendiri lalu meragukan pertolongan Tuhan. Begitupun keberadaan kesadaran magis dan naif belum tentu paling beriman dari yang lain. Alih-alih mengurangi iman, politik justru dapat mempertebal keimanan. Sebab, melaluinya apa yang kita imani dipraktikkan dan terus diuji. Pembelajaran dari proses itu disebut politik yang menjadi bekal manusia dalam menggenapi firman Tuhan. Iman Kristen dan politik sama-sama bertujuan memandu kehidupan manusia ke jalan kebenaran (terang). Ibarat sebuah perjalanan, iman adalah tujuannya, sementara politik berperan sebagai kendaraan yang mengantarkan ke tujuan tersebut. Maka, sebagai orang percaya, penting bahkan niscaya bagi kita membuka diri untuk menyiapkan dan menaiki kendaraan tersebut agar sampai ke tujuan gereja.

Politik Sebagai Jembatan
Secara implisit, Alkitab juga menyinggung perlunya politik. Dalam Kitab Yeremia 29:7 tertulis: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Pesan Tuhan melalui Yeremia merupakan perintah Tuhan kepada umatnya untuk berdoa, mengusahakan-melakukan tindakan demi kesejahteraan kota. Lebih-lebih, konteks saat itu, bangsa Israel berada di negeri asing bernama Babel. Suatu negeri pembuangan orang-orang Israel dari Kerajaan Yehuda Kuno. Jika dipikir sekilas, untuk apa mengusahakan kesejahteraan kota orang? mengingat mereka tidak akan berdiam lama di situ. Tetapi, firman Tuhan menegaskan pada kalimat selanjutnya bahwa kesejahteraan kota itu merupakan kesejahteraanmu juga.
Demikian halnya dengan kita saat ini. Kita berada di tempat yang Tuhan percayakan juga harus mengusahakan kesejahteraan kota. Kata “kota” dapat dimaknai dalam arti luas, mulai dari bangsa dan negara, pulau, desa, hingga tempat bekerja. Dalam mengupayakan kesejahteraan kota inilah kita membutuhkan politik sebagai jembatan atau kendaraan menuju cita-cita (iman). Pilihan kita jelas, politik yang sehat. Politik yang memperadabkan manusia. Politik yang membebaskan dari belenggu dosa: korupsi, kemunafikan, dan penindasan. Dengan demikian, warga gereja perlu melihat peluang pelayanan ini untuk menjangkau banyak jiwa yang rindu keadilan dan kedamaian.  Sebagai langkah awal kiranya gereja sebagai “hakim penjaga moral” perlu membuka diri agar “melek” politik dan turut mengampanyekan narasi politik yang sehat.
Sebagai penutup, tulisan ini tidak bertujuan menghakimi gereja sebagai organisasi maupun individu, melainkan sebagai catatan pengingat yang dapat dijadikan refleksi bersama. Merujuk tesis Paulo Freire yang kiranya dapat berguna ke depan, “Aksi tanpa refleksi kritis dan tanpa kontemplasi, dan tanpa pamrih, adalah aktivisme yang berbahaya.” Ia juga berpendapat, “Teori sosial tanpa tindakan kolektif adalah idealisme atau wishful thinking yang bersifat melarikan diri.”[vii] Demikian halnya dalam pelayanan gereja dibutuhkan refleksi kritis baik secara organisasi maupun individu lepas individu yang dituangkan menjadi visi dan gerakan kolektif. Kehidupan memang adalah proses belajar yang perlu terus diuji mengacu pada kebaikan, sebagaimana firman Tuhan yang menguatkan melalui 2 Tesalonika 1: 21, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” Soli Deo Gloria!


Referensi:
[i] “Warganet: Ketua PGI Jangan Urusin KPK dan Stop Berpolitik,” Parameter Todays, 31 Mei 2021, https://www.parametertodays.com/warganet-ketua-pgi-jangan-urusin-kpk-dan-stop-berpolitik/.
[ii] Alim Roswantoro, “Filsafat Sosial-Politik Plato dan Aristoteles,” Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam 15, no. 2 (Juli 2015): 123–138, https://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/ref/article/view/1084.
[iii] M. Subhan S. D., “Binatang Politik,” Kompas, 25 Agustus 2018, https://www.kompas.id/baca/utama/2018/08/25/binatang-politik.
[iv] “Orang Baik Sebaiknya Berpolitik,” Kabar Serasan, 6 Juli 2018, https://kabarserasan.com/2018/07/06/orang-baik-sebaiknya-berpolitik/.
[v] Paulo Freire, Pendidikan yang Membebaskan (Jakarta: Media Lintas Batas, 2001).
[vi] Egi Adyatama, “TNP2K: 50 Persen Aset Nasional Dikuasai 1 Persen Orang Kaya,” Tempo, 9 Oktober 2019, https://nasional.tempo.co/read/1257603/tnp2k-50-persen-aset-nasional-dikuasai-1-persen-orang-kaya.
[vii] Freire, Pendidikan yang Membebaskan.


Penyunting:
Semy Arayunedya
Calvin Nathan Wijaya

Korespondensi: janwantarigan@gmail.com