Kepercayaan Masuk Kolom KTP

Suara Pembaruan, 29 November 2006
Benyamin F. Intan

Setelah Konghucu diakui sebagai agama, kini giliran aliran kepercayaan mendapatkan simpati pemerintah, pasalnya Menteri Dalam Negeri akan memasukkan aliran kepercayaan sebagai agama dalam kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP). “Aliran kepercayaan bisa masuk kolom agama seperti agama yang diakui pemerintah,” kata Dirjen Administrasi dan Kependudukan Depdagri A Rasyid Saleh, sebagaimana dikutip media massa 1 November 2006.

Berita ini tentunya menjadi angin segar bagi aliran kepercayaan yang telah begitu lama dimasukkan dalam ruang tertutup karena tidak memenuhi syarat definisi agama versi Departemen Agama, padahal definisi itu sendiri belum mendapatkan kesepakatan dari semua pihak.

Seperti kita ketahui, penolakan pemerintah terhadap aliran kepercayaan sebagai bukan agama, dikarenakan definisi tentang agama yang mengharuskan dipenuhinya beberapa hal ini. Antara lain, memiliki kitab suci, memiliki nabi, percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, adanya pengakuan internasional, memiliki tata ibadah.

Karena aliran kepercayaan (berjumlah ratusan di Indonesia) tidak memenuhi ketentuan tersebut, sehingga jadilah aliran kepercayaan bukan sebagai agama, tetapi budaya, dan tempatnya juga bukan di Departemen Agama tetapi dibina oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tindakan memasukkan aliran kepercayaan dalam kolom agama di KTP, mendapatkan dukungan dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ami dan yang menganggap bahwa tindakan Menteri Dalam Negeri itu adalah upaya pemerintah mewadahi kelompok aliran tertentu yang menolak ikut induk agamanya. Dukungan Amidan tentunya didasarkan penyelidikan yang mendalam sebagai seorang tokoh agama. Sebelum rencana pemasukan aliran kepercayaan dalam kolom agama di KTP, pemuatan kolom agama pada KTP telah mendapatkan kritik dari berbagai pihak, karena terbukti menimbulkan diskriminasi. Salah satunya adalah karena pemeluk agama di luar agama resmi negara diharuskan memilih kelima agama resmi yang ada-setelah pengakuan Konghucu kini menjadi enam agama.

Karena adanya diskriminasi yang diakibatkan pencantuman agama dalam kolom KTP, maka diusulkan kolom agama dalam KTP dihilangkan. Yang muncul kemudian adalah pengakuan aliran kepercayaan sebagai agama dalam KTP, bukan penghapusan kolom agama dalam KTP seperti kritik yang banyak dia-jukan.

Angin segar yang dihembuskan oleh kementerian dalam negeri untuk memasukkan aliran kepercayaan sebagai agama dalam kolom KTP, ternyata masih tertahan tembok tebal. Pasalnya, Rancangan Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan (RUU Adminduk) yang hampir final di DPR, memang masih tetap mengatur pencatatan agama di KTP, tetapi tidak mengatur pencatatan aliran kepercayaan.

Aliran kepercayaan masih harus menunggu pintu-pintu bagi masuknya angin segar kebebasan tersebut. Kenyataan ini terlihat karena ada beberapa tokoh agama yang menolak dengan tegas tindakan pemerintah tersebut. Tidak tanggung-tanggung, Wakil Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Weinata Sairin turut mengajukan keberatannya, ia mengatakan bahwa suatu aliran bisa masuk kategori agama jika memenuhi persyaratan tertentu. Tentu yang dimaksud Sairin adalah kriteria Menteri Agama tentang apa yang disebut agama.

Bagi Sairin, aliran kepercayaan adalah bagian dari agama, kemudian ia juga mengkhawatirkan terjadinya pencatatan ganda dengan agama induk, karena sebelumnya penganut aliran kepercayaan harus memilih agama resmi yang diakui pemerintah. Suara Sairin ini tentunya bersifat pribadi karena pasti tidak semua lembaga gereja lain menyetujui sikapnya terhadap aliran kepercayaan yang menganggapnya bukan agama.

Penolakan untuk memasukkan aliran kepercayaan dalam kolom agama di KTP juga datang dari Ketua Nahdlatul Ulama Ahmad Bagja. Ia mengatakan aliran kepercayaan bukanlah agama dan tak bisa diakui sebagai agama.

Menurutnya, pemerintah mencampuradukkan agama dan budaya apabila tetap memasukkan aliran kepercayaan ke agama. Menurut Ahmad, selama ini tak ada keberatan dari penganut kepercayaan tentang kolom agama dalam KTP.

Pernyataan ini tidak tepat karena terlalu banyak suara yang telah meneriakkan diskriminasi terhadap aliran kepercayaan, sehingga Gus Dur dan tokoh-tokoh agama lainnya juga telah mengingatkan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak apa yang diyakini seseorang itu agama atau bukan, jika seseorang mengakui apa yang dipercayai sebagai agama, maka orang lain tidak boleh mengatakan bahwa itu bukan agama. Kontroversi mengenai pemasukan aliran kepercayaan bukanlah hal yang baru.

Usaha aliran kepercayaan untuk diakui sebagai agama merupakan jalan panjang perjuangan aliran kepercayaan. Sementara berbagai nasib pahit dialami para penghayat kepercayaan seperti pencitraan buruk, dianggap komunis, dipaksa menganut agama tertentu, atau anak mereka dianggap sebagai anak haram. Dan banyak perkawinan yang tidak dicatatkan di kantor catatan sipil karena dianggap tidak memeluk agama, dan anak-anak dari hasil perkawinan dianggap sebagai anak kumpul kebo, akibatnya sejumlah pegawai negeri sipil penghayat aliran kepercayaan tidak mendapat tunjungan anak atau istri.

Tragis, aliran kepercayaan yang memiliki saham yang tidak kecil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia harus dipinggirkan dan kehilangan hak-hak sipilnya hanya karena terganjal definisi agama Departemen Agama.

Bingkai Pancasila Pertanyaan kita, apa sesungguhnya yang ada di balik penolakan yang berlebihan terhadap dimasukkannya aliran kepercayaan dalam kolom agama di KTP? Akar masalahnya, menurut penulis, adalah karena kita tidak berpijak atas landasan Pancasila. Dalam bingkai Pancasila, negara tidak mempunyai wewenang untuk menentukan mana yang agama dan mana yang tidak, mana agama yang benar dan mana agama yang sesat, mana agama yang bisa diakui dan mana agama yang harus dilarang.

Wewenang yang semestinya hanya ada pada Tuhan dan penganut agama yang bersangkutan ini tidak boleh diambil alih oleh negara. Pensubordinasian agama oleh negara tidak boleh terjadi. Ironisnya, agama-agama sering memberikan otoritas tersebut kepada negara, contohnya pelarangan “ajaran sesat” oleh pemerintah yang dilakukan atas rekomendasi agama-agama. Kejadian serupa terjadi ketika para tokoh agama menolak aliran kepercayaan dalam kolom agama di KTP.

Sadar atau tidak, telah melimpahkan otoritas religious legitimacy yang sangat kuat lagi kepada pemerintah, kekuatan yang mana membuat pemerintah lebih terdorong lagi mensubordinasikan agama. Negara Pancasila tidak mengenal prinsip subordinasi, apakah itu “pensubordinasian agama di bawah negara” dalam bentuk agama negara ataupun “pensubordinasian negara di bawah agama” dalam bentuk negara agama. Hubungan agama-negara dalam bingkai Negara Pancasila seharusnya tidak tumpang tindih, meminjam perkataan Abraham Kuyper, “a free (Religion) in a free State” (Lectures on Calvinism, hal. 99, 106).

Penolakan pencantuman aliran kepercayaan pada kolom agama di KTP bukan hanya menggambarkan pensubordinasian agama di bawah negara, tapi juga menimbulkan diskriminasi yang sangat serius, karena agama telah dijadikan alat penentu untuk membedakan perlakuan terhadap warga negara. Padahal negara seharusnya “buta warna” dalam hal ini.

Menjadikan agama sebagai alat penentu dalam kebijakan Negara sangat bertentangan dengan jiwa Pancasila yang inklusif dan non-diskriminatif. Niat mulia Departemen Dalam Negeri seharusnya mendapatkan dukungan semua pihak termasuk tokoh-tokoh agama. Kita berharap RUU Adminduk yang hampir final digodok tim perumus DPR, memiliki nafas Pancasila yang tidak lagi diskriminatif terhadap aliran kepercayaan, karena bukankah penghayat kepercayaan adalah juga warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak sipil yang sama dengan kita?

Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.