- Investor Daily, 25 April 2013
- Tandean Rustandy
- Waktu Baca: 5 menit
Menjadi pemimpin yang disegani dan bijak selalu dimulai dari visi. Ini merupakan kompas dan sumber inspirasi serta motivasi dari semua keputusan untuk bisa dilaksanakan.
Visi akan menunjukkan karakter dari seorang pemimpin di dalam kemampuannya untuk melihat, menciptakan, dan menggali apa yang belum ada menjadi realita. Semua ini merupakan prioritas untuk meraih nilai luhur institusi di atas kepentingan ego pribadi dan melebihi semua tujuan jangka pendek.
Menurut Sun Tzu, sifat kepemimpinan harus memiliki lima (5) aspek, yaitu kecerdasan, keberanian, kasih, beriman, dan disiplin. Jika seorang pemimpin mengambil satu keputusan berdasarkan kecerdasan, keberanian, dan disiplin saja, maka ia akan cenderung menerapkan tangan besi dan mengarah menjadi pemimpin yang otoriter. Ini karena semua keputusan hanya didasarkan pada aspek logika dan ratio.
Sebaliknya, jika pengambilan keputusan hanya bergantung pada kasih dan iman saja, biasanya akan muncul kompromi dan sifatnya lemah, sehingga akibatnya sering dibodohi. Seorang pemimpin yang bijak akan mengambil keputusan berlandaskan lima aspek sifat kepemimpinan itu tadi. Dengan demikian, akan lahir keputusan yang adil dan bijaksana.
Komitmen dan Konsisten
Robert Greenleaf, pendiri Modern Servant Leadership Movement mengatakan bahwa melayani itu nomor satu, memimpin nomor dua. Kepemimpinan yang melayani diri sendiri akan usang dan tidak akan langgeng. Komitmen dan konsistensi menjadi teladan merupakan unsur yang sangat penting dalam sifat seorang pemimpin. Dalam mencapai tujuannya seringkali seorang ‘pemimpin’ berlaku seperti binatang, menghalalkan segala cara sehingga banyak orang yang dirugikan bahkan ada yang sampai mengorbankan pengikutnya sendiri.
Pemimpin yang tidak mau berkorban dan bahkan mengorbankan bawahannya tidak layak disebut pemimpin. Seorang pemimpin harus mutlak “takut Tuhan”. Ia harus terus mengisi dirinya dengan Firman Tuhan. Setiap manusia diciptakan menjadi wadah kebenaran yang menjadi pangkal bijaksana tertinggi dan tidak akan pernah habis sampai akhir hidupnya.
Sebagai pemimpin, sebelumnya mereka adalah pengikut yang cerdas dan loyal. Orang yang dapat mengikuti pemimpin dengan tulus dan loyal biasanya akan dipercaya melanjutkan estafet kepemimpinan. Eleanor Roosevelt, istri mantan Presiden Amerika Serikat ke-26 Theodore Roosevelt mengatakan: “Tidak ada pemimpin yang bisa terlalu jauh berada di depan para pengikutnya”.
Jika ada jurang yang begitu jauh, maka tidak mungkin orang yang dipimpin dapat mengikuti pemimpinnya. Seorang pengikut bisa menjadi pemimpin harus melalui suatu proses dan memiliki konsep berpikir yang sederhana sesuai aturan. Diperlukan sikap pengorbanan untuk berubah dan kebanyakan orang enggan melakukannya, karena tidak mau meninggalkan zona nyaman. Pengembangan diri menuntut kita harus belajar berkorban dalam hal waktu, uang, pikiran, dan perasaan.
Penyair legendaris dari Inggris, William Shakespeare, percaya ada tiga hal untuk meraih keberhasilan: “Harus tahu lebih banyak dari orang lain, berusaha lebih keras dari orang lain, dan berharap lebih sedikit dari orang lain.” Sementara itu, pemimpin besar India, Mahatma Gandhi, memiliki keyakinan bahwa “Kekuatan bukan datang dari kapasitas fisik tetapi berasal dari kemauan yang tak dapat ditaklukkan.”
Gandhi memiliki gaya kepemimpinan dengan sisi kesederhanaan yang luar biasa. Kacamata yang dibeli tahun 1890 di London, tidak pernah ia ganti selama 15 tahun. Ia memilih memakai pakaian dengan tenunan sendiri, yaitu khadhi, yang ia gunakan sebagai protes terhadap kembalinya Inggris sekitar tahun 1930. Sampai sekarang Mahatma Gandhi tidak pernah dilupakan di seluruh dunia karena perjuangannya yang begitu luar biasa dengan kesederhanaannya. Itulah teladan yang terbaik.
Jika kita bandingkan dengan mantan Presiden Prancis ke-23 Nicola Sarkozy, jelas faktanya sungguh jauh berbeda. Gaya hidup mewahnya dengan biaya makan yang mencapai 10 ribu dolar per hari, memiliki 121 mobil operasional di istana Élysées dibanding pendahulunya yang hanya 55 unit. Biaya sekali kunjungan ke daerah mencapai sebesar 600 ribu dolar. Pada akhirnya dia harus mundur dari kursi kepresidenan. Dunia akan cepat melupakannya, karena dia tidak memberikan keteladanan bahkan saat ini ia sedang berurusan dengan penegak hukum dalam kasus menyalahgunakan dana kampanye.
Keteladanan, Semangat Berkorban
Margaret Thatcher adalah wanita pertama dan terlama menjabat Perdana Menteri Inggris (1979-1990). Masa pemerintahannya dikenal dengan kebijakan ekonomi radikal dengan privatisasi industri strategis perusahaan negara yang terus merugi karena sangat tidak efisien dan berani menekan serikat pekerja. Kondisi ekonomi Inggris pada awal Thatcher menjabat sebagai perdana menteri sangat buruk. Inflasi berada pada tingkat 27% dan pertumbuhan produk domestic bruto (GDP) -2.2%. Namun, berkat tangan dinginnya di tahun 1986 inflasi turun menjadi 2,4% dan GDP bertumbuh 2,4%.
Di era pemerintahannya rakyat menjadi lebih sejahtera dan martabat Kerajaan Inggris menjadi lebih berwibawa. Dia berjuang melawan arus dan sangat konsisten tidak mau berkompromi. Sepak terjangnya membua ia dicintai sekaligus dikecam. Dunia menjulikinya ‘Wanita Besi’ (Iron Lady) karena begitu gigih melawan ideologi negara adi kuasa Uni Soviet. Slogannya “If you just set out to be liked, you would be prepared to compromise on anything at any time and you would achieve nothing”. (Jika engkau hanya ingin untuk disukai, maka engkau akan berkompromi dalam semua hal setiap waktu dan engkau tidak akan mencapai apa-apa).
Kita harus belajar keteladanan, semangat, dan pengorbanan serta keberhasilan dari Mahatma Gandhi dan Margaret Thatcher, sekaligus belajar menghindari kegagalan seorang Sarkozy. Seseorang harus berani bayar harga jika mau menjadi pemimpin yang sejati. Seperti lilin, mereka harus siap “dibakar” untuk menerangi dan emas yang rela “dilebur” untuk dimurnikan.
Kita mesti memiliki motivasi yang benar, karena sangatlah gampang seorang terperangkap jebakan duniawi berupa melayani demi untuk dihargai. Pelayanan yang dilakukan tanpa sikap hati yang merendahkan diri dan melayani, justru menistakan makna keteladanan. Siapkah Anda menjadi seorang pemimpin? Ujilah diri Anda dan mulailah berubah!
Tandean Rustandy, Peneliti Senior Reformed Center for Religion and Society