- Investor Daily Indonesia, 25 Agustus 2013
- Binsar A Hutabarat
- Waktu Baca: 5 menit
Kemunduran mental atau moralitas bangsa, terutama di kalangan pejabat, terlihat pada kasus-kasus korupsi, kolusi, nepotisme yang terus mengalami regenerasi. Pejabat, baik di pusat maupun di daerah banyak yang menjadi benalu bagi negara.
Terkuaknya kasus-kasus megakorupsi menunjukkan Indonesia belum merdeka dari korupsi. Pasalnya, ketika kasus-kasus megakorupsi seperti Hambalang belum terselesaikan, kini terkuak kasus korupsi pada sektor migas, salah satu penyumbang terbesar anggaran negara disamping pajak.
Di tengah merebaknya kasus-kasus korupsi yang membelenggu negeri ini, adakah pribadi-pribadi yang berjasa luar biasa dan patut dijadikan panutan untuk bermoralitas dan berintegritas tinggi? Itulah sebuah pertanyaan menarik. Simak saja, dari sebelas penerima bintang Mahaputera Adipradana, delapan orang berasal dari jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II. Mereka adalah Hatta Rajasa, Sudi Silalahi, Purnomo Yusgiantoro, Jero Wacik, Djoko Kirmanto, M. Nuh, Suryadharma Ali, dan Mari Elka Pangestu.
Ironisnya, beberapa kementerian yang dipimpin oleh peraih bintang jasa itu justru tidak memiliki reputasi luar biasa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, memiliki potret buram dalam pelaksanaan ujian nasional. Begitu pula Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kini menjadi sorotan setelah munculnya skandal kasus suap di sektor minyak dan gas bumi. Kementerian Agama juga tak sepi isu-isu korupsi yang menerpa institusi “pengawal moral” bangsa itu.
Semua itu menggambarkan bahwa Indonesia memang sudah merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang, tapi belum merdeka dari kungkungan korupsi. Kemerdekaan yang mestinya menjadi jembatan emas untuk menyejahterakan rakyat Indonesia kini malah terjebak dalam lumpur korupsi. Para pimpinan, jajaran birokrat, dan elite negeri ini, yang mestinya menjadi pelayan kepentingan umum, malah menjadi pelayan dan hamba uang serta kekuasaan.
Kalau para pemimpin serta elite bangsa sudah terkungkung dalam praktik tak terpuji yang namanya korupsi, lalu siapa lagi yang pantas menjadi teladan kebaikan, kebenaran, keadilan, kejujuran, dan penuntun moral?
Abdi dan Pelayan
Jika Pancasila dan UUD 1945 benar-benar menjadi pedoman dan penuntun yang mendasari praktik-praktik kenegaraan bagi para elite dan para politikus negeri ini, pasti takkan ada penyalahgunaan anggaran negara atau penyimpangan jabatan/kekuasaan. Sayangnya, persoalan yang sesungguhnya ada para karakter atau mentalitas manusianya, bukannya pada nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945. Itulah makanya benar kata Theodor Heuss dan Carlo Schmid dengan ungkapan terkenal mereka: “Bukan politik yang merusak karakter, tetapi karakter-karakter yang jeleklah yang merusak politik.”
Jadi, meminjam istilah Imanuel Kant, apa yang sangat dibutuhkan negeri ini adalah politikus moralis, bukan moralis politik yakni mereka yang menyalahgunakan moral dan agama hanya untuk kekuasaan sendiri. Mereka inilah yang kerap – dengan berbajukan moral dan agama – memprovokasi dan manipulasi.
Padahal, menurut Harold Lasswell, politik bukan hanya berbicara tentang kekuasaan (who gets what, when and how) tetapi juga tentang moral (who should get what, when and how–and why). Keinginan untuk berkuasa tidak boleh menafikan cara-cara yang benar dan kudus, karena untuk mengelola pekerjaan kudus dibutuhkan kekudusan hati. Suatu pertandingan yang jujur dan adil dalam menapaki singgasana kepemimpinan adalah implementasi dari politikus yang bermoral.
Sejarah membuktikan bahwa orang- orang yang berkarakter buruk akan senantiasa bernafsu untuk membenamkan moral politik demi ambisi kotornya, dan kemudian merusak politik dengan memberikan isi baru pada politik, yang sesungguhnya. Masyarakat, dalam hal ini, harus mewaspadai agar orang- orang bermoral buruk tidak boleh menguasai panggung politik, khususnya dalam panggung politik kepemimpinan nasional. Sebaliknya, ambisi sosok-sosok untuk menduduki jabatan politik demi pengabdian kepada masyarakat dengan cara-cara yang bermoral patut dihargai dan layak didukung.
Perjuangan seorang pejabat politik untuk memperjuangkan seluruh kepentingan rakyat merupakan sesuatu yang amat mulia. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Presiden Kennedy dalam pidato pelantikannya sebagai presiden, Januari 1961: “Jangan bertanya apa yang Negara buat untukmu, tapi bertanyalah apa yang dapat Anda lakukan untuk negerimu.” Siapa pun yang menginginkan jabatan politik semestinya bertanya apa yang bisa dibuatnya untuk negaranya.
Jadi, adalah suatu penyimpangan, suatu aib, apabila jabatan politik yang disandang seseorang kemudian dipergunakan untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan tertentu. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah bukti telah terjadinya penyimpangan jabatan politik, yang dilakukan oleh orang-orang-orang yang rakus dan tamak. Mereka itulah benalu-benalu negara.
Sejarah selalu berulang bahwa politik seringkali dipergunakan sebagai alat untuk memuaskan nafsu kotor manusia. Itu ditandai dengan hadirnya para pemimpin yang rela mengisap darah rakyat, menelantarkan rakyat, dan secara tega membenamkan rakyat berada dalam lembah kemiskinan. Para politikus busuk seperti itulah yang menjadi malapetaka bagi negara. Sebutan Leviathan dari Thomas Hobbes kepada pemerintahan yang melacurkan jabatan politik adalah sangat tepat. Apabila monster berkuasa, rakyatlah yang pasti menjadi korban pemerintahan yang tak beradab itu.
Butuh Politikus Moralis
Kini menjadi tantangan bagi semua rakyat Indonesia, ke depan, yakni bagaimana agar politikus-politikus yang tampil di negeri ini adalah politikus moralis. Menguduskan politik hanya mungkin terjadi apabila semua orang terlibat dalam pekerjaan besar tersebut. Jika tidak, kemerosotan moral elite itu secara bersamaan akan membawa kemunduran mental bangsa. Indonesia memerlukan pemimpin yang tidak hanya pandai, memiliki kemampuan manajerial yang piawai, tapi juga memiliki sifat kepahlawanan.
Pemimpin yang demikian adalah pahlawan karena keberaniannya membela dan menyuarakan kebenaran, bekerja dengan tujuan menguntungkan semua orang tanpa perbedaan, dan yang mendatangkan kebaikan bagi semua. Hadirnya pemimpin-pemimpin yang baik, bermoral, dan berintegritas akan memperkuat persatuan bangsa, yang merupakan dasar bagi persatuan umat beragama. Demikian juga sebaliknya, persatuan umat beragama menjadi dasar utama bagi persatuan bangsa. Dengan demikian jelaslah kemunduran mental dan moralitas bangsa ini harus menjadi tanggung jawab semua rakyat Indonesia, khususnya para elite negeri ini.
Binsar A Hutabarat, peneliti Reformed Center for Religion and Society