Seputar Indonesia, 1 Mei 2008
Antonius Steven Un
Kenaikan Yesus Kristus ke sorga dipahami sebagai momentum kemenangan kehidupan. Seruan “tetelestai” (sudah selesai) pada Jumat Agung di Golgota ialah pertanda tuntasnya karya Sang Tuhan dan Juruselamat itu. Momentum kebangkitan dan kenaikan-Nya melengkapi akhir hidup, bukan sekedar sebuah ending tetapi happy ending.
Selama periode kehidupan yang demikian dini, Yesus telah menorehkan sekelumit prestasi mengagumkan dan mewariskan sejumlah karakter revolusioner untuk diteladani. Dalam rangka komemorasi ini, mendesak dan signifikan merefleksikan karakter-karakter agung tersebut, di tengah krisis, transisi dan transfigurasi kepemimpinan nasional yang tengah berlangsung ini.
Pengingkaran Diri
Pertama, pengingkaran diri. Yesus telah mempertontonkan suatu disklaim terhadap harga diri, harta, hak, hikmat dan hidden agenda. Dalam inkarnasi-Nya, Sang Tuhan merupa dalam diri sang budak. Suatu kunjungan yang merendahkan, jauh dari hingar bingar selebrasi dan tanpa celebrity. Dalam kehidupan-Nya, Sang Khalik dan Si Empunya semesta, tak berbantal bagi kepala-Nya. Dalam kematian-Nya, tak beradil dan tak beradab.
Praktek kepemimpinan kontemporer beraroma antitesis, tanpa pengingkaran diri, sarat pengingkaran Tuhan dan rakyat. Politik menjadi panggung atheisme praktis dan dereligiositas, diskonektivitas antara konfesi (pengakuan) dan konduite (kelakuan). Pemimpin adalah kolektor simbol agama di satu sisi namun sekaligus simtom sosial di sisi lain. Tidak heran, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan pemimpin korup penuh suap busuk, mulai dari oknum Komisi Pemilihan Umum (eksekutif), Kejaksaan Agung dan Komisi Yudisial (yudikatif) dan terakhir, Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif).
Pengingkaran terhadap rakyat terus terjadi akibat ditelorkannya kebijakan memiskinkan seperti kenaikan harga BBM yang tidak tepat nalar, kebijakan mercusuar seperti proyek-proyek triliunan rupiah yang tidak tepat guna, dan kebijakan setengah matang seperti bantuan langsung tunai yang tidak tepat sasaran.
Pengingkaran diri dalam praksis kepemimpinan adalah pengingkaran terhadap fasilitas dan tunjangan superlatif, sebaliknya menunjukkan ikhtiar kinerja maksimum bagi kepentingan rakyat. Setelan baju dinas jutaan rupiah dan kendaraan dinas miliaran rupiah adalah bentuk pengkhiatan terhadap karakter pengingkaran diri.
Servant Leadership
Kedua, kepemimpinan hamba. Motif dari servant leadership adalah menjadi hamba, menjadi pelayan bagi semuanya. Teolog William Lane menyebutnya sebagai “vocation of the servant” (1974) yakni suatu model kepemimpinan yang menegaskan eksistensi diri “bukan untuk dilayani melainkan melayani” (Markus 10:45). Yesus bahkan mencuci kaki para murid-Nya sebagai simbol Ia melayani mereka.
Panggilan kepemimpinan hamba yang diwariskan Yesus, menandaskan suatu kriteria sempurna tak tergantikan, yakni kerelaan bermental babu, dan bukan prabu, guna menjadi abdi negara dan rakyat. Tanpa karakter demikian dalam diri para pemimpin kita, proses demokrasi prosedural yang berbiaya politik, sosial dan ekonomi demikian tinggi, hanya akan mendudukan seorang oportunis bermental bos. Pada gilirannya, orientasinya adalah menguras uang rakyat dan membonsai konstituen sekedar sebagai komoditas politik dan komersialisasi.
Mengasihi Musuh
Ketiga, mengasihi musuh, apalagi sesama. Adagium ini dapat diimplikasikan secara luas, menerima orang yang berbeda, mengampuni orang yang berbuat jahat dan memaslahatkan orang yang membenci. Yesus menggenapi setiap implikasi agung ini. Menerima murid yang tak terpelajar dan miskin seperti Petrus dan Yohanes, mengampuni para pemaku diri-Nya seperti kepala prajurit senturion serta memaslahatkan pembenci-Nya seperti Rasul Paulus, yang berubah dari senang berbual menjadi suka “berbuah” (menjadi berkah bagi sesama).
Yesus tidak menghendaki manusia terjebak ke dalam logika balas dendam (the logic of retaliation) dan patron kesetanan (the pattern of evil) di mana kejahatanlah yang menang dan memudarkan pengharapan bagi umat manusia. Yesus bukan hanya mengasihi musuh tetapi kemudian menelantarkan sesama-Nya. Logika either-or demikian dalam memahami perilaku Yesus, diganti dengan logika a fortiori. Musuh saja Ia cintai, apalagi sesamaNya.
Kemenangan mengejutkan pasangan underdog dalam Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara menjadi ajang dan ruang bagi para pasangan “raksasa” untuk berikhtiar bukan saja menerima melainkan mengakui keunggulan, meruwat kepemimpinan pasangan definitif serta mengharapkan dan mengupayakan kemaslahatan lawan politik. Inilah ujian bagi kenegarawanan dan kematangan berpolitik elite. Selamat memperingati Hari Kenaikan Yesus Kristus. Tuhan memberkati.
Antonius Steven Un, Penulis adalah Rohaniawan, Peneliti Teologi Politik Reformed Center for Religion and Society