Investor Daily, 26 Desember 2006
Joseph H. Gunawan
Pemerintah berusaha keras menarik investasi asing tapi lingkungan berbisnis justru seperti menolak investasi, akibatnya perekonomian Indonesia berjalan di tempat. Safari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke berbagai negara masih juga belum membuahkan hasil, persoalan krusial apakah sesungguhnya yang sedang melilit iklim investasi Indonesia ?
Sejak badai krisis menimpa negara kita tahun 1997, perekonomian Indonesia yang terpuruk sangat dalam masih belum mengalami recovery hingga sekarang. Bank Dunia masih menilai iklim investasi di Indonesia yang terburuk di ASEAN. Wajarlah jika sejak tahun 2000 investasi asing yang masuk ke negara kita sangat minim dan mereka lebih memilih China, India, Thailand serta Vietnam. Dapat dimengerti, investor asing hanya melihat soal keuntungan dalam berinvestasi dan berekspansi di suatu negara.
Untuk meningkatkan iklim investasi nampaknya kita perlu menyimak pendapat Profesor Michael Porter dari Harvard Business School tentang Indonesia. “Perekonomian Indonesia stagnan dan produktivitas rendah karena sejumlah faktor, mulai dari sistem tenaga kerja yang tidak efisien, berbagai peraturan baik di pusat maupun di daerah yang seringkali bertentangan serta infrastruktur yang tidak memadai”.
Faktor-faktor itulah yang mengakibatkan iklim investasi Indonesia masih belum mampu menarik investor asing. Bahkan tragisnya tidak sedikit para investor asing yang harus hengkang dari negeri ini dan menutup pabriknya di Indonesia karena merugi. Sebagaimana yang terjadi dengan pabrik sepatu di Tangerang, PT Dong Joe Indonesia (6,000 karyawan), PT Spotec (4,500 karyawan) dan PT Tong Yang Indonesia.
PT Dong Joe Indonesia dan PT Tong Yang Indonesia merupakan pabrik berlisensi internasional dan secara eksklusif memproduksi sepatu merek Reebok, Rockport, Perry Ellis, Spotec dan Adidas. Penghentian order dari Adidas Group itu menyebabkan total sekitar 18,000 karyawan menghadapi PHK.
Iklim Investasi
Iklim investasi sendiri bisa didefinisikan sebagai seluruh kebijakan, kelembagaan dan lingkungan bisnis baik yang sedang berlangsung maupun diharapkan terjadi di masa mendatang yang dapat mempengaruhi tingkat pengembalian dan resiko suatu investasi. Iklim investasi yang sehat dibutuhkan tidak hanya untuk menarik investor domestik dan asing, tetapi juga supaya perusahaan yang sudah ada untuk tetap memilih lokasi di Indonesia. Di sini, tidak hanya pemerintah yang harus proaktif mencegah keluarnya investor asing yang sudah ada di Indonesia tetapi juga keterlibatan semua elemen bangsa.
Menilik sejumlah indikator yang ada, daya saing Indonesia terbukti masih lemah. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang menunjukkan besarnya investasi yang dibutuhkan untuk mencapai 1% pertumbuhan PDB, ternyata Indonesia masih berkisar 4-5%, padahal ICOR negara-negara tetangga hanya 2-3%. Kondisi dunia usaha yang belum sepenuhnya pulih dapat terbaca dari rendahnya tingkat investasi kotor yang baru mencapai 22% dari Produk Domestik Bruto, padahal investasi merupakan motor stimulus pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan berkelanjutan.
Iklim investasi Indonesia kurang menarik dibandingkan China, India, Thailand dan Vietnam. Atas dasar indikator stabilitas makro, korupsi, penegakan hukum dan pajak, sebuah lembaga survei internasional mendudukkan Indonesia di peringkat 60, jauh lebih rendah dari Malaysia (26) dan Thailand (31). Masalah tenaga kerja dan produktivitas, infrastruktur fisik, perizinan, kepabean dan cukai, keamanan masih terus membebani investasi di Indonesia. Survei UNCTAD, dalam World Investment Report 2004 menyebutkan peringkat Indonesia berada dalam posisi 139 dari 140 negara dilihat dari kinerja investasi.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai investasi asing 1 Januari-31 Oktober 2006 turun drastis dibandingkan 1 Januari-31 Oktober 2005. Tahun 2006, nilai investasi hanya mencapai US$ 4,480 miliar dengan 770 proyek, sedangkan tahun 2005 nilai investasi mencapai US$ 8,552 miliar dengan 785 proyek. Suatu penurunan investasi yang signifikan yaitu sebesar 52,5%. Penurunan drastis ini menjadi salah satu faktor yang menentukan mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan dan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,6% pada tahun 2005.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Heriawan mengungkapkan realisasi pertumbuhan ekonomi tahun 2006 diperkirakan hanya 5,52% yang paralel dengan anjloknya nilai investasi asing. Pertumbuhan ekonomi yang tidak mencapai target ini akan berimplikasi pada penurunan penerimaan pemerintah, penyediaan kesempatan kerja yang rendah, kemiskinan, serta kesejahteraan publik yang tidak membaik. Kualitas pertumbuhan 5,52% masih rendah karena sektor riil belum jalan dan tidak berarti bagi perekonomian.
Perbaikan
Populasi Indonesia yang mencapai 245 juta jiwa atau menempati posisi tertinggi keempat di dunia, merupakan faktor utama ketertarikan investor asing. Potensi populasi yang ratusan juta ini juga masih dapat dikembangkan. Di sini diperlukan pengelolaan dan penyaluran yang tepat dan baik untuk potensi yang sangat besar tersebut. Pada hakikatnya Indonesia memiliki daya tarik yang besar bagi investor asing untuk berani berinvestasi secara jangka panjang. Namun tentunya Indonesia juga harus mempercantik diri dengan memberikan berbagai kemudahan dalam soal perizinan, pajak dan insentif bagi investor untuk bisa masuk ke dalam peta persaingan global.
Bagi investor asing, investasi akan dilaksanakan kalau melihat ada potensi dan peluang bisnis. Sebenarnya, investor asing tidak terlalu peduli dengan hal-hal tak terduga sebab sudah dimasukkan ke dalam resiko seperti resiko ketidakpastian politik, situasi keamanan dan ancaman bencana alam. Apabila kesempatan berbisinis lebih besar dari resikonya, investor asing tetap akan mengambil kesempatan tersebut. Walaupun tetap jaminan keamanan merupakan salah satu masalah paling penting bagi investor asing.
Dalam hal ini realisasi dari Inpres No.3/2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 27 Pebruari silam masih harus dievaluasi, apakah kebijakan tersebut sesuai dengan harapan investor asing karena sampai saat ini belum juga membuahkan hasil.
Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi itu berisi matriks program yang berisi serangkaian tindakan, hasil yang dituju, target waktu, serta penanggung jawab setiap komponen. Paket tersebut memuat hal yang ingin dicapai dalam perbaikan iklim investasi, siapa yang melaksanakannya, bentuk kebijakannya, apakah peraturan pemerintah atau yang lainnya serta mekanismenya.
Sebagian besar isi paket regulasi bidang investasi ini seperti kepabean dan cukai, perpajakan, ketenagakerjaan, usaha kecil, menengah dan koperasi masih menunggu selesainya pembahasan sejumlah RUU yaitu RUU Pajak, RUU Penanaman Modal dan Tenaga Kerja. Konsekuensinya, banyak dari isi paket ini yang masih menggantung dan pelaksanaan paket regulasi termasuk paket insentif seringkali masih dilaksanakan dengan setengah hati dan asal jadi tanpa kepastian hukum. Padahal kepastian hukum merupakan motor stimulus utama untuk menarik investor asing menanamkan modalnya, untuk itu kepastian hukum yang dituangkan dalam undang-undang merupakan kebutuhan yang mendesak.
Peraturan yang tidak kondusif bahkan destruktif cenderung membuat peraturan yang berdasarkan teori memerlukan sebuah penyempurnaan. Praktisi atau orang yang pernah terjun langsung ke lapangan harus diikut sertakan dalam membuat berbagai regulasi, sehingga regulasi sungguh merupakan jalan keluar yang tepat untuk mendorong perbaikan iklim investasi.
Joseph H. Gunawan, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society