Kaderisasi Koruptor

  • Suara Pembaruan, 15 Desember 2011
  • Binsar Antoni Hutabarat
  • Waktu Baca: 7 menit

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga super di negeri ini kinerjanya ternyata tak sebanding dengan kaderisasi koruptor. Kita tentu berharap pemimpin-pemimpin KPK yang baru saja terpilih bisa memperbaiki kinerja KPK pada masa mendatang, setidaknya dalam menghambat melesatnya kaderisasi koruptor untuk menghadirkan Indonesia yang bebas dari korupsi.

Apabila pada era sebelumnya korupsi didominasi para politisi, maka sekarang ini korupsi juga diikuti secara massal oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) muda. Fenomena lonjakan kekayaan PNS muda menjadi sorotan publik karena berdasarkan dasar gaji mustahil PNS muda tersebut menghimpun kekayaan di atas satu milyar dalam setahun. Penemuan rekening gendut PNS-PNS muda membuktikan bahwa kaderisasi koruptor di negeri ini berjalan dengan sangat baik.

Kita tentu paham, reproduksi korupsi melalu hadirnya koruptor-koruptor muda hanya akan menggelapkan masa depan bangsa. Korupsi menghancurkan kehidupan bangsa, mengakibatkan kemiskinan, pengangguran, dan membunuh banyak orang yang semestinya bisa ditolong. Negara wajib memberantas tikus-tikus yang menghambat hadirnya kesejahteraan bagi rakyat banyak itu.

Memang, tak ada negara di dunia ini yang sama sekali bebas dari korupsi. Tapi, harus diakui bahwa pemberantasan korupsi yang serius pada sebuah negara telah memberikan andil besar bagi hadirnya kesejahteraan sebuah bangsa. Negara gagal menjadi akhir paling buruk masa depan bangsa yang tak mampu memutus mata rantai kaderisasi koruptor. Itulah sebabnya, setiap bangsa yang ingin tetap eksis harus berjuang keras memberantas korupsi dalam segala bidang kehidupan.

Kaderisasi Koruptor
Seyogianya semua penghuni bumi ini wajib menjamin dunia fisik ini sedemikian rupa hingga kondisi-kondisi keberadaan itu tetap dan tidak mengakibatkan kemalangan bagi siapapun, demikian juga bagi generasi selanjutnya. Tepatlah apa yang dikatakan Levinas, “Respondeo Ergo Sum“, (aku bertanggung jawab, jadi aku berada). Manusia bukan lagi manusia jika tak memiliki tanggung jawab atas sesamanya. Melindungi kehidupan dan menanggapi penderitaan sesama adalah prinsip utama etika, “berbuat baiklah terhadap sesama dan janganlah berbuat jahat terhadap sesama”. Jadi, kaderisasi koruptor yang menyengsarakan sesama adalah tidak etis.

Kaderisasi koruptor yang salah satunya terindikasi dalam rekening gendut PNS muda merupakan fakta bahwa di negeri ini telah terjadi involusi budaya atau pembusukan budaya. Kaderisasi koruptor tidak mengandung nilai-nilai bermutu yang memanusiakan manusia, sebaliknya malah merendahkan sesama manusia. Korupsi adalah manifestasi dari apa yang Thomas Hobbes sebut, “Manusia adalah serigala atas sesamanya”.

Manusia beretika mestinya menyadari akibat buruk perbuatannya pada orang lain, baik pada masa kini maupun generasi selanjutnya. Manusia beretika harusnya bertekad seperti apa yang dikatakan Aristoteles, “Lebih baik menderita daripada melakukan kejahatan”. Hans Jonas, seorang filosof Jerman-Amerika, secara lebih luas mengungkapkan, “Bertindaklah sedemikian rupa hingga akibat-akibat tindakan kita dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusiawi sejati di bumi”. Manusia wajib hidup damai dengan sesama dan hidup damai dengan alam.

Bayangan buruk dari akibat perbuatan jahat pada masa kini terhadap masa mendatang harusnya membuat kita berusaha bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang kita lakukan. Kaderisasi koruptor dengan alasan apapun harus disudahi oleh segenap rakyat di negeri ini jika memang kita ingin tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara gagal adalah bayangan buruk dari kaderisasi koruptor yang tak terhindarkan. Dipandang dari sudut manapun, kaderisasi koruptor tak memiliki pijakan kemanusiaan. Korupsi adalah kejahatan luar biasa, yang merendahkan martabat manusia Indonesia. Korupsi mestinya menjadi musuh semua umat manusia yang beradab.

Perlu Kaidah Moral
Epictetus dan Seneca jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa kebutuhan itu elastis sehingga bisa berkembang jika kaidah moral tidak merintanginya. Kemauan berkuasa yang didukung oleh kebutuhan dalam diri seseorang dengan menafikan moralitas ketika bertemu akan menghadirkan pemerintahan yang menakutkan. Selaras dengan hal itu, Thomas Hobbes telah mengingatkan bahwa, “Manusia sejak saat kelahiran mereka secara alamiah selalu memperebutkan segala sesuatu yang mereka inginkan, jika mungkin, mereka ingin agar seluruh dunia takut dan takluk kepada diri mereka”. Pemerintahan tanpa kaidah moral adalah bagaikan Leviathan.

Reinhold Niebuhr menegaskan bahwa kemauan untuk berkuasa (will-to-power), yang tidak hanya puas pada kemauan untuk hidup (will-to live) berakibat fatal bagi kehidupan manusia. Bagi Niebuhr kemauan untuk hidup merupakan sumber kreativitas manusia, sedang kemauan untuk berkuasa sifatnya destruktif. Baik yang kreatif maupun destruktif itu sama-sama hadir dalam kehidupan manusia, dan yang destruktif itu harus diminimalkan, sedang yang kreatif harus terus dikobarkan.

Pemerintah bisa dikatakan valid secara etis apabila pemerintah yang ada itu menghadirkan kesejahteraan rakyat banyak, dan bukannya menoleransi kesenjangan sosial. Bagi Aristoteles, ekonomi adalah seni memenuhi kebutuhan rumah tangga (oikos) dan nomos (aturan). Adam Smith memperkembangkannya menjadi suatu ilmu yang menyelidiki hakikat dan penyebab dari kemakmuran suatu negara. Karena itu pejabat publik yang hidup dengan memamerkan kemewahan dengan membiarkan rakyatnya hidup dalam kemiskinan adalah tidak etis.

Setiap orang yang menduduki jabatan publik harus mencamkan kebenaran ini. “Jabatan politik sudah selayaknya dihayati sebagai panggilan (calling) untuk melayani.” Hanya dengan kesadaran itulah mereka bisa waspada untuk tidak dikuasai napsu untuk berkuasa, dan menghalalkan segala cara. Elite yang memahami jabatan sebagai pusat pelayanan, tentu akan dengan jujur dan sadar menempatkan ranah politik sebagai media atau panggung dimana kepentingan umum menjadi tujuan.

Elite di negeri harus mampu menjadi teladan dalam pemberantasan korupsi. Pemerintah dalam hal ini adalah lembaga yang paling bertanggung jawab memimpin pemberantasan korupsi, dan itu tidak boleh hanya menjadi politik pencitraan. Tanpa kaidah moral, mereka yang telah menduduki jabatan publik akan terus haus kekuasaan, repotnya siapapun yang berkuasa tidak pernah yakin akan kekuatan dan keefektifan kekuasaannya, maka mereka yang haus kekuasaan itu selalu saja akan terus memperkuat kekuasaannya dengan cara apapun. Ini adalah bahaya yang harus dijauhkan dalam kehidupan elite negeri ini.

Binsar Antoni Hutabarat, Peneliti pada Reformed Center for Religion and Society.

Leave a Comment

Your email address will not be published.