Suara Pembaruan, 23 Juni 2011
Mitra Kumara, M.Sc.
Kasus yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ruyati binti Satubino (54) asal Kabupaten Bekasi, Jawa Barat menjadi pukulan berat bagi bangsa Indonesia. Peristiwa itu memperpanjang eligi TKI yang sering disebut pahlawan devisa. Ruyati mati mengenaskan dengan cara dipancung tanpa pembelaan memadai, bahkan proses eksekusinya pun tak diketahui pemerintah Indonesia. Disamping Ruyati, masih ada 22 TKI yang terancam hukuman mati. Salah seorang TKI yang terancam proses eksekusi dalam waktu dekat ini adalah Darsem.
Ironisnya, eksekusi pancung yang dilakukan (18/6) pagi itu hanya berselang empat hari setelah pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Konferensi ke-100 Organisasi Buruh Internasional di Jenewa, Swiss. Konferensi ILO itu antara lain mengangkat persoalan peningkatan kesejahteraan pekerja rumah tangga, baik dalam negeri maupun luar negeri. Dan Presiden dalam pidatonya menyatakan bahwa pemerintah telah mengembangkan perjanjian dengan negara tujuan agar hak-hak buruh migran terjamin.
Lebih tragis lagi, Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi dalam wawancara dengan media televisi yang disiarkan secara langsung oleh salah satu stasiun TV swasta mengungkapkan bahwa Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi tidak mengetahui tanggal yang pasti dari eksekusi Darsem, TKI yang terancam hukuman mati dalam waktu dekat ini. Bukan mustahil jika pemerintah lambat menangani kasus tersebut Darsem akan menjadi korban selanjutnya. Dalam kasus Darsem memang jika denda (uang darah) yang merupakan tuntutan dari keluarga korban dibayarkan pada waktu yang ditentukan, maka Darsem dapat dibebaskan dari hukuman mati, meski ia tetap akan menjalani hukuman penjara.
Data BNP2TKI tahun 2008 ada 960.000 TKI yang bekerja di Arab Saudi dan ada sekitar 22.000 kasus kekerasan TKI di negeri itu (Seputar Indonesia, 21/6/2011). Banyaknya kasus TKI yang bekerja di Arab Saudi bukan menjadi alasan bagi pemerintah untuk membela diri atas kasus tragis yang menimpa Ruyati. Pemerintah harus mengakui kegagalannya dalam melindungi warganya, dan mempersiapkan langkah-langkah pembenahan diri agar kasus yang sama tidak terulang lagi, khususnya terhadap 22 TKI yang masih terancam hukuman mati.
Pemerintah Indonesia tidak cukup melayangkan nota protes kepada pemerintah Arab Saudi, sebagaimana dilakukan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Pemerintah harus melakukan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi. Pengiriman TKI dilakukan lagi setelah pemerintah Arab Saudi menunjukkan sejumlah aturan yang akan melindungi TKI dari tindak kekerasan.
Perlindungan TKI di Arab Saudi
Setelah itu pemerintah RI perlu mulai menyiapkan draf Nota Kesepahaman (Memorandum Of Understanding) antara Indonesia dan Arab Saudi. Nota Kesepahaman ini tidak bisa sekadar menjiplak dari Nota Kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia yang baru saja ditandatangani beberapa minggu yang lalu. Salah satu isinya adalah memberi perlindungan hukum terhadap TKI. Perlu dipelajari hukum Arab Saudi mana yang dapat dipakai untuk memberi perlindungan terhadap para TKI. Untuk itu pemerintah Indonesia perlu melakukan peninjauan hukum ketenagakerjaan dan hukum pidana Syariah di Arab Saudi.
Perlindungan yang dimaksud bukan untuk menghindari TKI dari konsekuensi pelanggaran hukum setempat. Tetapi ini lebih untuk memberikan hak bersuara TKI yang dimata hukum yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Sebagai TKI yang berpenghasilan minim dan kebebasannya sangat dibatasi, sangat sulit bagi mereka mendapat suara di tengah masyarakat di negeri asing. Apalagi kebanyakan majikan membatasi waktu berhubungan dengan dunia luar rumah tangga mereka. Itulah sebabnya perlu representasi hukum bagi para TKI ini.
Selain itu perlu diperbesar akses kedutaan dalam memonitor kasus-kasus yang menimpa TKI dalam instansi-instansi lokal di Arab Saudi, misalnya pendataan kasus TKI dari rumah sakit atau kepolisian setempat. Diluar dari sekadar pendataan, pemerintah mungkin perlu menetapkan satu institusi khusus yang dapat menangani kasus-kasus kekerasan yang tercatat ada 22.000 itu. Hanya sebagian kecil kasus-kasus ini yang naik ke pengadilan. Jadi diluar memberi representasi hukum, instansi ini bertugas memberikan perlindungan secara fisik, misalnya tempat tinggal sementara dan bantuan pengobatan, serta memberikan arbitrasi terhadap gugatan majikan setempat.
Berhubung TKI bekerja di sektor informal, sangat sulit bagi mereka untuk mendapat informasi tempat-tempat perlindungan kasus kekerasan. Untuk itu perlu ada usaha pemerintah agar mensosialisasikan jalur tempat mengadu bila mereka mendapat perlakuan kekerasan. Kebanyakan TKI tidak mendapat kesempatan bersosialisasi karena perlu 24 jam berada dirumah majikan. Jadi bila memang ada lembaga yang dapat membantu, belum tentu semua TKI tahu keberadaannya. Bila pun tahu, mungkin sulit untuk menghubungi mereka disaat perlu. Untuk itu pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat pemerhati TKI setempat dan dengan agen-agen penyalur tenaga kerja dalam mensosialisasikan adanya bantuan pemerintah bagi mereka.
Nota Kebersamaan juga perlu mencakup perlindungan kesehatan TKI. Dari data Kementerian Luar Negeri dan BNP2TKI ditemukan banyak kasus TKI yang sakit akibat kerja. Sebagai pekerja rumah tangga, para TKI harus siap 24 jam 7 hari seminggu melayani majikannya. Kurang waktu istirahat dan gizi makanan yang tidak cukup menyebabkan TKI rentan jatuh sakit. Selain itu lelah berkepanjangan akan beresiko tinggi mengalami kecelakaan kerja. Pemerintah Indonesia perlu menetapkan pelaksanaan perlindungan kesehatan TKI, misalnya membatasi waktu kerja maksimum atau memberi waktu istirahat minimum.
Bersamaan dengan itu, insentif untuk menjadi TKI dapat menurun bila kesempatan memperoleh pendapatan lebih baik tersedia di tanah air kita. Memang moratorium dapat mencegah TKI baru berangkat ke Arab Saudi. Tetapi untuk menarik TKI kembali ke tanah air, pemerintah dapat meninjau hal perbaikan pendapatan TKI. Kebanyakan dari mereka yang sudah terbiasa menerima pendapatan yang memadai sangat sulit untuk menerima standar pendapatan Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Indonesia yang umumnya lebih rendah. Akibatnya akan menjadi lebih besar dorongan untuk kembali ke luar negeri bekerja sebagai TKI.
Salah satu jalan keluar perbaikan pendapatan adalah beralih ke profesi yang lain. Untuk itu TKI yang kembali dapat membuka usaha mikro, kecil atau menengah (UMKM). Tetapi tidak mudah memulai UMKM, sehingga perlu pelatihan diberikan pada mereka yang berminat. Selain keahlian operasional seperti menjahit, memasak, mereka juga perlu keahlian administratif seperti mengakali pendanaan dan penataan keuangan. Untuk itu perlu ketersediaan pelatihan dengan biaya terjangkau bagi para TKI.
Masyarakat pun perlu bersama mendukung pemerintah. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat terutama berada ditempat stategis menjadi rekan kerja pemerintah meningkatkan kesejahteraan TKI. Masyarakat Indonesia yang berada di Arab Saudi dapat mendirikan lembaga yang berfokus pada pelatihan repatriasi TKI atau pada perlindungan TKI. Hal ini adalah sebagai bagian kepedulian bangsa kita. Bahkan, jika memungkinkan ada orang dari profesi pengacara yang ikut terlibat kasus-kasus pro bono untuk menjadi penasehat hukum TKI.
Mitra Kumara, M.Sc., Penulis sedang magang di Reformed Center for Religion and Society, meraih jenjang pendidikan magister (S2) dalam bidang sumber daya manusia dari Stirling University, Inggris.