Investor Daily, 2 Agustus 2008
Binsar A. Hutabarat
Jabatan politik sama mulianya dengan jabatan atau peran tokoh-tokoh agama. Bila tokoh agama menunjukkan jalan menuju surga kekal, jabatan politik meretas jalan bagi rakyat untuk terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan kemelaratan.
Jabatan politik sudah selayaknya dihayati sebagai suatu panggilan (calling) untuk melayani. Mereka yang memahami dengan sungguh jabatan sebagai pusat pelayanan, akan dengan jujur dan sadar menempatkan ranah politik sebagai media atau panggung dimana kepentingan umum menjadi tujuannya.
Mengutip TB Simatupang dalam buku Dari Revolusi ke Pembangunan (1987), dunia politik telah berperan besar dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sebelum kemerdekaan, politik bertugas memperjuangkan kemerdekaan, tapi setelah kemerdekaan Indonesia dan pengakuan kedaulatan, politik bertugas menjamin persatuan dan kesatuan Negara, serta menjamin adanya ketertiban dan keamanan, agar proses pembangunan bangsa dapat dilaksanakan dengan baik.
Dengan demikian, mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan Negara melalui penyelenggaraan pemerintahan sesungguhnya tidak berbeda dengan panggilan para pahlawan yang gugur di medan peperangan. Keduanya sama-sama mengandung arti kesediaan untuk berkorban demi bangsa dan Negara. Keduanya sama-sama mewujudkan suatu panggilan hidup, tentu dengan cara yang berbeda.
Kompetensi Moralitas
Kurang dari setahun lagi pemilu 2009 akan digelar. Melalui pesta demokrasi rakyat ini nantinya terpilih seorang presiden dan wakil presiden, ratusan wakil rakyar di (DPR), dan ribuan wakil rakyat di daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota. Mereka hanya sedikit dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia yang terpilih untuk menduduki jabatan politik strategis.
Karena itu, mereka mestinya bukan sosok yang biasa-biasa saja, melainkan manusia-manusia unggul yang terpilih karena kompetensi, kapabilitas, akseptibilitas, integritas, dan juga moralitas mereka. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang pilihan, karena di dalam diri mereka tertanam sikap dan hasrat kuat untuk “merendahkan dirinya” dan membaktikan seluruh perhatiannya pada kepentingan bangsa dan Negara.
Membangun Negara, memajukan kepentingan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah komitmen utama mereka. Mereka menjauhkan diri dari godaan-godaan untuk kepentingan sempit: diri, partai, kelompok, atau golongannya sendiri. Tak terbersit dalam diri mereka hasrat menduduki jabatan politik hanya demi kursi kekuasaan atau uang.
Mereka yang duduk dalam jabatan politik haruslah menjadi contoh untuk apa yang dengan tepat dikatakan Presiden AS ke-35 John F. Kennedy, “Jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu sudah berikan bagi negaramu.”
Jelaslah, sebagai suatu panggilan hidup, jabatan politik mesti menampilkan figur terbaik dari anak-anak bangsa ini. Mereka menjadi contoh, layaknya tokoh-tokoh agama yang menjalani fungsi kenabian, meski mereka memiliki ladang pengabdian yang berbeda.
Partai sebagai Benteng
Undangan partai-partai politik- melalui iklan di berbagai media yang menawarkan jabatan politik kepada siapa saja yang berkompeten, hendaknya tidak disamakan dengan iklan lowongan pekerjaan yang lazim. Iklan semacam itu haruslah dimaknai sebagai undangan yang mulia dari partai-partai politik kepada mereka yang terpanggil untuk menduduki jabatan politik. Tentu, dengan niat tulus, yakni untuk mengabdi bagi masyarakat, bangsa dan Negara.
Selama ini, politik memang tidak jarang diidentikkan dengan ladangnya para pecundang. Politik itu kotor, karena para pelakunya tak pernah jauh dari sikap munafik, penuh intrik, saling hujat, dan saling menjatuhkan. Pemahaman seperti ini memang tidak sepenuhnya salah karena sehari-hari dapat kita saksikan perilaku para pemimpin busuk, politikus tak bermoral, dan elit-elit yang bernafsu mengangkangi jabatan publik yang diembannya.
Lihat saja, masih banyak Negara yang terus dirundung konflik serta kemiskinan, semata karena egoisme para pemimpinnya. Para pemimpin ini menjalani praktek politik tak bermoral, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (Machiavelli), dan kerap menempatkan manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homoni lupus, (Thomas Hobbes).
Di manakah akar permasalahannya? Akar persoalannya karena memang sudah terjadi “salah pilih”. Kita gagal memilih manusia unggulan, sebaliknya, dengan gampang kita menjatuhkan pilihan pada kaum medioker untuk menduduki jabatan publik. Akibatnya, banyak persoalan bangsa yang tak pernah selesai.
Karena nasib rakyat dan nasib bangsa menjadi taruhannya, maka penyeleksian yang ketat untuk mereka yang ingin menduduki jabatan tersebut adalah sebuah keharusan. Peran kunci untuk ini ada ditangan partai politik. Partai politik dituntut tanggung jawabnya untuk menghadirkan pemimpin yang memiliki kompetensi dan berdedikasi tinggi.
Di sini partai politik harus menjadi benteng terdepan dalam merekrut calon unggulan untuk menduduki jabatan politik, sekaligus benteng pertama yang menyekat masuknya para politikus busuk yang berambisi menduduki jabatan publik. Partai politik sudah selayaknya menanggalkan citra buruknya sebagi mesin uang pada setiap penyelenggaraan pemilihan Presiden, pemilu legislatif, dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Seperti kegiatan-kegiatan lainnya, aktivitas politik tentu saja membutuhkan uang. Namun, membayar sejumlah dana untuk suatu jabatan publik, tanpa mempertimbangkan kualifikasi sang calon, itu justru merendahkan martabat jabatan politik yang mulia itu.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society