Tandean Rustandy
Suara Pembaruan, 6 Juni 2006
Waktu baca: 8 menit
Era pasar bebas (free trade) untuk kawasan Asia atau AFTA telah dimulai sejak 2003. Ketika negara-negara kawasan ini sudah berbenah diri sejak dicanangkannya AFTA, Indonesia justru masih terseok-seok dengan berbagai persoalan domestik yang tiada habis-habisnya. Krisis ekonomi yang belum sepenuhnya dapat diatasi membawa dampak negatif dalam kehidupan masyarakat.
Namun yang lebih kompleks justru dampak “non fisik”, yakni image atau citra negatif tentang negeri ini di kancah global yang sempat mendapat predikat sebagai negara terkorup se-Asia (Reuters, 2 Maret 2004). Hal ini tentu saja mempersulit Indonesia untuk keluar dari krisis.
Citra negatif tentang Indonesia dikarenakan informasi yang mereka terima tentang Indonesia lebih banyak berkaitan dengan hal-hal yang negatif saja, padahal realitas Indonesia tidaklah seburuk itu. Agaknya, hal-hal yang positif tentang Indonesia tidak diketahui oleh komunitas internasional. Akibatnya, pelaku bisnis yang ingin berbisnis dengan baik dan benar, harus ikut menderita menanggung aib, akibat citra bisnis yang rusak. Seperti pepatah nila setitik rusak susu sebelanga.
Kita menyaksikan, politisi menghabiskan banyak uang guna membangun citra yang dangkal hanya untuk memperoleh suara dan jabatan. Begitu pula, banyak perusahaan mencanangkan pernyataan misi yang agung, namun di lain pihak malah merampas harga diri, uang, dan jabatannya tanpa melalui proses yang semestinya.
Kita tidak bisa membantah bahwa praktik KKN dan kecurangan lainnya sangat rawan di negeri ini. Parahnya tingkat korupsi itulah yang menjadi penghalang utama pertumbuhan bisnis dan investasi karena banyak investor asing yang enggan masuk. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena nilai-nilai luhur semakin tenggelam oleh perilaku pragmatisme, keinginan untuk sukses secara instan dengan menghalalkan segala cara sehingga mengabaikan semangat kerja keras, penghormatan terhadap nilai-nilai luhur, moral dan etika.
Manusia modern cenderung mengagungkan rasionalisasi kehidupan melalui teknologi dan teknokrasi serta objektivikasi diri. Namun manusia justru menjadi kerdil, lemah, dan terintimidasi oleh komputernya yang telah menindih dan memarjinalkan manusia itu sendiri. Akibatnya manusia tidak lagi bisa mengendalikan diri sendiri dan kehilangan keberdayaan moralnya. Derajat manusia sebagai makhluk cerdas di dunia telah merosot menjadi robot yang cerdas.
Pentingnya Integritas
Kecerdasan otak itu penting, namun tidak berguna bagi sesama manusia apabila tidak diimbangi dengan integritas. Bukan hanya otak yang perlu diasah, tetapi juga hati nurani. Perimbangan itu bertujuan untuk menjaga agar kita dapat menghadapi kemajuan peradaban tanpa kehilangan jati diri sebagai makhluk yang dicipta segambar dengan Allah. Keselarasan tersebut menjadi penting pada zaman modern yang semakin canggih.
Kamus Webster mendefinisikan integritas sebagai firm adherence to a code of especially moral or artistic values. Dari uraian ini, integritas mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari sebuah organisasi atau komunitas tetapi juga mencakup motivasi yang menggerakkan, karakter, semangat, pola pikir, kode etik, perilaku, sikap, aspirasi, keyakinan, prinsip, dan standar.
Dalam kehidupan sehari-hari, integritas seseorang adalah karakter orang itu, who you are when no body is around, siapa diri kita pada saat tidak ada orang melihat diri kita. Integritas kita seringkali diuji pada saat tidak ada orang di sekeliling kita. Integritas kita terbentuk pada saat kita konsisten dengan perbuatan dan nurani kita, yang tidak terpengaruh dengan penilaian orang lain. Membuat keputusan dan tindakan yang bermoral dan bertanggung jawab meski di saat tidak ada orang yang memperhatikan, itulah integritas.
Setiap orang perlu membangun integritas dirinya sebelum membangun integritas kelompok dan organisasi di mana ia berada, yang pada gilirannya dapat pula menyumbang ke arah pembentukan integritas masyarakat bangsa.
Adam Smith dalam bukunya The Theory of Moral Sentiments menjelaskan betapa pentingnya integritas bagi keberhasilan sistem ekonomi, yaitu bagaimana kita saling memperlakukan satu sama lain, semangat untuk berbuat baik, melayani dan memberi bantuan.
Apabila kita mengabaikan dan membiarkan sistem ekonomi berjalan tanpa dasar integritas serta tanpa pendidikan berkelanjutan, kita akan segera membentuk masyarakat dan bisnis yang tidak bermoral, kalau bukan asusila. Bagi Adam Smith, dalam setiap transaksi bisnis, kedua belah pihak harus memperoleh hasil yang adil.
Pada dinding Eller College of Management, University of Arizona, tertulis: “Without integrity, motivation is dangerous; without motivation, capacity is impotent; without capacity, understanding is limited; without understanding, knowledge is meaningless; without knowledge, experience is blind.”
Bagaimanapun berbahayanya pengetahuan yang sempit, masih jauh lebih berbahaya pengetahuan tanpa karakter yang kuat. Perkembangan intelektual tanpa perkembangan karakter sama halnya dengan menyerahkan mobil sport bertenaga tinggi ke tangan remaja yang kecanduan obat bius. Jadi kita mesti mencapai keseimbangan yang lebih baik antara perkembangan karakter dan intelektual.
Kita perlu sering mempertanyakan kembali tujuan melakukan aktivitas bisnis yang kita jalankan. Apakah untuk mendapatkan status, uang, ketenaran, kekuasaan, kekayaan, ataukah tujuan lain yang lebih mulia. Banyak orang menganggap pertanyaan itu hanya cocok dilakukan seorang filsuf dan bukan oleh seorang pebisnis yang dituntut serba cepat menangkap realitas. Namun hal-hal di atas justru menjadi kunci bagi kesuksesan karir dan bisnis saat ini. Dimensi kemanusiaan dijadikan kata kunci mengingat aktivitas bisnis pada dasarnya mutlak tergantung pada sisi manusianya. Pengalaman dunia usaha Amerika dalam beberapa tahun mengajarkan hal itu.
Saat semua pemimpin bisnis ramai membicarakan upaya penemuan kembali nilai utama barang dan jasa untuk memperoleh keberhasilan finansial di dunia yang semakin kompetitif, semua menyodorkan ide perencanaan ulang perusahaan dengan berbagai paradigma untuk memperoleh keunggulan bisnis yang baru. Tren bisnis mutakhir malah membuktikan bahwa empat pilar penyangga semangat keunggulan bisnis mesti digali dari dimensi kemanusiaan, yaitu intelektual, moral, estetis dan spiritual.
Melalui kehidupan berbisnis, penulis belajar bahwa integritas melandasi sukses yang sejati. Kita juga bisa telusuri dari studi-studi sosiologi dan penelitian-penelitian manajemen dua puluh tahun belakangan ini yang semuanya bermuara pada satu kesimpulan utama, keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama integritas.
Kita perlu menjadikan integritas sesuatu yang lebih konkrit. Bukan hanya sekadar konsep namun mampu diimplementasikan dalam berbagai aspek. Integritas tidak boleh dibicarakan hanya di kampus-kampus elite, tetapi harus disosialisasikan sampai ke ruang-ruang rapat eksekutif, ke ruang-ruang kerja karyawan dan buruh, bahkan sampai ke ruang perenungan pribadi dari siapa saja yang ingin naik ke jenjang sukses yang lebih tinggi. Kita perlu menerima integritas sebagai solusi atas berbagai masalah yang dihadapi pribadi, organisasi, komunitas, bahkan masalah bangsa dan negara kita.
Tandean Rustandy, Direktur Riset dan Studi Reformed Center for Religion and Society, Alumni University of Chicago Booth Business School (Saat ini: Dewan Eksekutif Reformed Center for Religion and Society, The University of Chicago Board of Trustees).