Investor Daily, 28 April 2007
Benyamin F. Intan
Tak satupun maskapai penerbangan Indonesia yang masuk kategori satu. “Berdasarkan audit penerbangan sipil Indonesia, tidak ada maskapai Indonesia yang kondisinya sempurna dalam hal keselamatan terbang,” begitulah bunyi pesan pendek yang dikirim Kedubes AS kepada warganya.
Menanggapi hal itu Sekretaris Jenderal Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Tengku Burhanuddin berujar, imbauan yang dikeluarkan Kedubes AS kepada warganya akan sangat merugikan maskapai penerbangan nasional. Kecaman mengenai buruknya penerbangan Indonesia juga pernah disampaikan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer, yang merasa kecewa dengan beberapa warganya yang ikut menjadi korban terbakarnya pesawat Garuda di Yogyakarta 7 Maret 2007. Pemerintah Australia sampai terpaksa mengirimkan pesawat Challenger untuk mengangkut stafnya yang masih traumatic menggunakan pesawat komersial Indonesia.
Tidak cukup sampai di situ, sebuah perusahaan konsultan penerbangan yang berbasis di Inggris, Ascend, menilai, keselamatan penerbangan Indonesia sangat buruk. Kecelakaan pesawat yang terjadi secara beruntun pada 2007 menempatkan Indonesia sebagai Negara terburuk di dunia dalam keselamatan penerbangan, lebih buruk dari rata-rata Negara di Afrika (Investor Daily, 10-11/3).
Jeratan Teknologi
Kecelakaan beruntun pada angkutan udara yang berteknologi tinggi itu mengingatkan kita pada dilm klasik Amerika, Frankenstein yang menceritakan keberhasilan seorang ilmuwan menghidupkan manusia yang telah mati. Sayangnya, manusia yang telah dihidupka itu kemudian berubah menjadi monster Frankenstein, mahluk jahat dan buas yang pada akhirnya memnubuh manusia dan penciptanya sendiri.
Walau Frankenstein hanya sebuah film, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan teknologi yang diciptakan manusia itu. Ia berpotensi membunuh manusia. Angkatan udara yang terus membawa petaka, apabila tidak diantisipasi, akan bermetamorfosis menjadi Frankenstein-Frankenstein teknologi yang akan terus-menerus membawa ancaman bagi keselamatan manusia.
Namun, betapa pun adanya kisah kelam di sekitar kecelakaan pesawat, keterkaitan erat manusia dan teknologi tetap tidak bisa dimungkiri. Manusia sebagai citra Allah (imago Dei) digambarkan Benjamin Franklin sebagai man is a tool-making animal, manusia adalah binatang pembuat perkakas. Tanpa teknologi, manusia tidak ada bedanya dengan binatang. Bagaikan dua sisi dari mata uang logam, manusia dan teknologi merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.
Kehadiran teknologi dalam kehidupan manusia memiliki Janus face, bermuka dua. Di satu pihak, membawa berkah yang tak terkira, hidup manusia dibuat nyaman olehnya, efisiensi kerja dapat ditingkatkan, laju pertumbuhan ekonomi dapat dipercepat. Tapi di sisi lain, teknologi dapat membawa petaka.
Pemikir Perancis Jacques Ellul mengingatkan bahaya lingkungan teknologi karena sifatnya yang automatism (technical automatism), berkembang menurut hukumnya sendiri, tanpa tujuan, tanpa tata nilai. Ellul mempertanyakan, mungkinkah manusia yang telah hidup dalam lingkungan teknologi mampu melepaskan dirinya dari peradaban teknologi yang arahnya ditentukan oleh hukum-hukum dari teknologi itu sendiri? (The Technological Society).
Mobil, misalnya. Rasanya mustahil kehidupan manusia saat ini tanpa kehadiran industri otomotif. Dengan mobil, pekerjaan menjadi lebih efisien, kehidupan menjadi jauh lebih nyaman. Tapi, siapa yang mengira bahwa pada 2005, misalnya, sebanyak 36.000 orang mati sia-sia di jalan raya? Pertanyaannya sekarang, mampukah manusia melepaskan ketergantungan hidup tanpa mobil? Rasanya mustahil.
Manajemen Transportasi
Kembali ke transportasi udara, penguasaan teknologi angkutan udara harus dimulai dengan pembenahan manajemen transportasi publik. Hal ini penting agar isu pemaksaan pilot yang menjadi penyebab malapetaka Adam Air tidak perlu terjadi, demikian juga laik atau tidaknya penerbangan tidak perlu lagi dipermasalahkan.
Manajemen transportasi yang baik terkait erat dengan penguasaan teknologi demi meminimalkan pembalikan fungsi teknologi, dan secara bersamaan memaksimalkan teknologi bagi kebahagiaan manusia. Disiplin yang tinggi merupakan suatu keharusan bagi para pihak-pihak terkait industri penerbangan. Dengan demikian, kelalaian pilot memperhatikan laporan cuaca dari Badan Meteorologi dan Geofisika tidak akan terjadi jika ada sanksi tegas dari pihak manajemen.
Terkait dengan citra buruk maskapai penerbangan Indonesia itu, pihak AS tidak hanya memperingati warganya tentang buruknya penerbangan Indonesia, tetapi juga menawarkan kerja sama untuk meningkatkan keselamatan penerbangan dengan biaya dari Indonesia. Tawaran ini tidak perlu dilihat hanya dari sisi negatif bahwa AS akan mengambil untung dari Indonesia, tetapi juga harus dilihat sebagai peluang untuk memperbaiki kondisi penerbangan kita yang kian terkena dampak monster teknologi.
Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society