- Suara Pembaruan , 23 Juli 2012
- Binsar A. Hutabarat
- Waktu Baca: 6 menit
Semarak peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang puncaknya jatuh pada 23 Juli tahun ini sudah terasa sejak launching Peringatan HAN 2012 di Auditorium Kementerian Agama (Kemenag) 16 Mei lalu. Acara pembukaan hari anak nasional yang mengambil tema “Bersatu Mewujudkan Indonesia Rumah Anak” ini dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan penyanyi dan penari.
Tak ada salahnya merayakan HAN dengan mengemas acara-acara meriah, apalagi dunia anak-anak memang tidak bisa dipisahkan dari keceriaan. Asal saja kemeriahan perayaan anak tersebut menjadi motivasi untuk memperlakukan anak-anak Indonesia dengan lebih baik. Karena itu tepatlah jika pada peringatan hari anak nasional tahun ini segenap rakyat Indonesia bersatu dan membuat sebuah komitmen baru untuk berjuang menciptakan Indonesia sebagai rumah anak.
Tanpa tekad untuk memperlakukan anak-anak Indonesia dengan lebih baik, semarak kemeriahan perayaan anak kali ini bukan hanya akan memboroskan biaya tanpa perubahan berarti, tapi lebih tragis lagi rutinitas tahunan perayaan anak nasional itu sama saja dengan mengkomersialisasikan penderitaan anak. Padahal, sesungguhnya komersialisasi penderitaan anak adalah sebuah tindakan yang tak beradab dan merendahkan martabat anak Indonesia.
Sayangnya, meski semarak perayaan anak menjadi ritual tahunan, tak ada bukti bahwa itu berelasi dengan peningkatan perlakuan yang baik terhadapa anak. Sebaliknya, kekerasan terhadap anak-anak dari tahun ketahun terus meningkat. World Vision melaporkan bahwa kekerasan anak di Indonesia terus meningkat tiap tahunnya, bukan hanya dari segi kuantitas yang bertambah, melainkan juga dari segi kualitas. Tahun 2008 terdapat 1.626 kasus, dan pada tahun 2009 naik menjadi 1.891 kasus.
Potret buram tentang derita anak Indonesia ini juga diteguhkan oleh laporan Komnas Perlindungan Anak, tahun 2008 terdapat 1726 laporan, dan tahun 2009 sebanyak 1.998 kasus. Pada 2010 sebanyak 2.413 kasus, dan pada tahun 2011 sebanyak 2.508 kasus. Lebih parah lagi, pelakunya adalah orang-orang yang semestinya melindungi anak-anak seperti guru dan orang tua.
Lebih lanjut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan, jumlah anak Indonesia yang terlantar saat ini adalah 5.400.000, dan anak-anak yang dipekerjakan 1.760.000. Sekitar 6000 anak berada dalam penjara, 104.497 menjadi anak jalanan. Anak-anak yang terinfeksi HIV/AIDS berjumlah 640.000, sedang anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual berjumlah 55.000 anak, 100.000 anak telah menjadi korban perdagangan anak. Penderitaan anak-anak itu masih ditambah lagi korban tindak kekerasan 2.810.000, korban napza 12.305 anak.
Kekerasan terhadap anak-anak dilakukan oleh orang-orang yang semestinya melindungi anak-anak, ini semakin meneguhkan bahwa anak-anak Indonesia masih sulit mendapatkan tempat berlindung yang aman, meskipun mereka berada di rumah orang tua mereka sendiri.
Media kerap melaporkan bahwa dengan alasan kemiskinan, orang tua mereka ada yang tega menjual dan menjadikan mereka pemuas nafsu seks para budak seks. Penculikan anak yang disinyalir terkait dengan mafia perdagangan manusia masih menjadi ancaman bagi anak-anak Indonesia. Indonesia belum menjadi rumah anak.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) memprediksi kekerasan terhadap anak pada 2012 ini akan meningkat seiring dengan dampak krisis ekonomi yang berpeluang terjadi di Indonesia. Anak-anak adalah kelompok rentan yang menerima dampak langsung masa-masa sulit.
Perlu Tindakan Luar Biasa
Jika tidak ada tindakan luar biasa dari pemerintah untuk melindungi anak-anak Indonesia, anak-anak Indonesia akan sulit untuk meraih masa depan mereka. Meski, secara hukum anak-anak Indonesia telah mendapatkan jaminan perlindungan yang memadai. Sebut saja Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 63-66, dan Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 88 (BabXII mengenai Ketentuan Pidana). Undang-undang tersebut secara tegas memberikan ganjaran yang berat bagi siapapun mengeksploitasi anak baik secara ekonomi, maupun seksual, yakni pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 200 juta rupiah. Pengadilan harus memberikan hukuman maksimal pada setiap pelanggar hak anak. Sayangnya hukuman yang dikenakan terhadap pelaku kekerasan anak umumnya bukan hukuman maksimal. Akibatnya hukuman tersebut tidak memberikan efek jera.
Bangsa ini mengakui anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Pengakuan tersebut diteguhkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 44 tahun 1984 yang menetapkan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak nasional.
Pengakuan anak-anak sebagai pemilik masa depan yang menjadi pilar penting bagi maju-mundurnya sebuah bangsa juga menjadi kebenaran yang diakui oleh dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menetapkan tanggal 20 November sebagai Hari Anak Sedunia. Setidaknya ada 150 negara di dunia yang memperingati hari anak sedunia tersebut sebagai pengakuan pentingnya memberikan perhatian terhadap anak-anak bagi kelangsungan sebuah bangsa.
Disamping tindakan luar biasa untuk melindungi anak-anak korban kekerasan, pemerintah Indonesia harus konsisten untuk menjamin perlindungan terhadap anak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Harus diingat, mengijinkan kekerasan anak terus terjadi sama saja dengan membiarkan negeri ini tercabik-cabik. Herannya, pemerintah justru memotong anggaran terhadap Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak Indonesia dan Komnas HAM, yang adalah lembaga-lembaga terdepan dalam promosi, perlindungan hak anak Indonesia.
Disamping perlu tindakan luar biasa yang dilakukan pemerintah, keluarga-keluarga Indonesia dalam hal ini juga harus bertanggung jawab. Kita perlu merenungkan apa yang dikatakan Driyarkara, “Kandungan ibu hanya bisa dilanjutkan dengan kandungan keluarga.” Anak-anak Indonesia bisa belajar dengan baik untuk meraih masa depan mereka, jika mereka memiliki keluarga yang senantiasa siap melindungi mereka. Keluarga-keluarga di negeri ini harus berjuang keras menciptakan rumah mereka sebagai rumah ramah anak, tempat dimana anak-anak Indonesia terlindungi hak-hak nya untuk bertumbuh menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya.
Masa depan bangsa ini bergantung pada perjuangan keras keluarga-keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk menjadikan Indonesia rumah anak. Rumah yang ramah terhadap anak-anak Indonesia.
Binsar A. Hutabarat Peneliti Reformed Center for Religion and Society