Investor Daily, 24 Oktober 2009
Joseph H. Gunawan
Fenomena kemiskinan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sudah sangat menyedihkan. Indikasinya terlihat jelas dari semakin meningkatnya jumlah kasus busung lapar, bunuh diri di kalangan warga miskin, dan ibu yang tega membunuh anaknya karena tekanan ekonomi.
Kemiskinan rupanya sudah menjadi momok yang menciptakan karakter rakyat Indonesia yang mudah berbuat nekad dan cepat berputus asa dalam menjalani kehidupan ini. Kemiskinan menjadi penyebab keterasingan, kemarahan dan kebencian.
Kemiskinan telah menjadi pemandangan sehari-hari, dalam kehidupan masyarakat perkotaan, apalagi di desa-desa. Ironisnya, jumlahnya kian hari kian bertambah justru di negara kita yang kaya raya akan sumber daya alam.
Simak saja data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada 2007 mencapai 37,2 juta atau sekitar 16,58% dari total penduduk Indonesia. Pada 2008, tercatat sebanyak 41,7 juta jiwa menyandang predikat penduduk miskin atau setara dengan 21,92%. LIPI juga memperkirakan angka kemiskinan tahun 2009 mencapai 43 juta jiwa atau 22% dari total penduduk Indonesia.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, angka kemiskinan pada Maret 2005 mencapai 35,10 juta atau 15,97% total populasi Indonesia. Pada Maret 2006, angka kemiskinan sebesar 39,05 juta atau sekitar 17,75%. Pada Maret 2007, kemiskinan mencapai 37,17 juta atau setara dengan 16,58%.
Data terakhir (Maret 2009) yang dirilis oleh BPS menyebutkan, terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 2,43 juta menjadi 32,53 juta jiwa atau 14,15% dibandingkan Maret 2008, yaitu sebesar 34,96 juta jiwa atau 15,42% total populasi Indonesia. Menurut data versi BPS, pada 2009 total populasi Indonesia sudah mencapai 240,2 juta jiwa dengan posisi di peringkat keempat dunia.
Untuk menekan angka kemiskinan, pemerintah telah mengambil sejumlah kebijakan, antara lain pemberdayaan pelaku ekonomi secara optimal dari kelompok Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang jumlahnya mencapai 99,84% dari seluruh dunia usaha di Indonesia.
Begitu pula Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang merupakan salah satu mekanisme program pemberdayaan masyarakat yang digunakan dalam upaya mempercepat penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di wilayah perkotaan dan perdesaan. Program ini dilakukan untuk lebih mendorong upaya peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. PNPM Mandiri telah dilakukan sejak 1998 melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
Untuk daerah perdesaan, program ini menyediakan fasilitasi pemberdayaan masyarakat/kelembagaan lokal, pendampingan, pelatihan, serta bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat, sekitar Rp 1 miliar hingga Rp 3 miliar per kecamatan, tergantung jumlah penduduk.
Namun, memberi “ikan” bukanlah satu-satunya cara untuk mengatasi kemiskinan yang sudah sangat sistemik. Pemerintah harus menelaah dan menguji kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri.
Upaya yang dapat dikembangkan untuk menyiasatinya, yaitu dengan mengubah metodologi pengambilan kebijakan dengan menjadi suatu kebijakan partisipatif yang berkelanjutan. Masyarakat miskin harus turut serta secara langsung dalam berbagai aktivitas pengurangan kemiskinan dan dalam penerapannya disertai pendampingan fasilitator.
Pengurangan kemiskinan juga hendaknya diarahkan ke penguatan sektor pertanian, termasuk perikanan, perkebunan, dan kehutanan.
Amanat Konstitusi
Ke depan, program-program pembangunan yang akan diimplementasikan harus mencurahkan dan memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan berdasarkan basis ideologis sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu ”memajukan kesejahteraan masyarakat”.
Masyarakat yang adil dan makmur itulah yang dicita-citakan sejak awal kemerdekaan. Karena itu, pemerintah harus benar-benar siap memberikan kemudahan, kesiapan sarana dan prasarana secara kondusif termasuk menyediakan modal usaha, bantuan manajemen usaha, pemilihan lokasi, informasi yang cukup dan akurat, pembelian bahan baku, pengalihan teknologi, penetapan harga, bantuan distribusi dan kecukupan sumber energi.
Perlu pula dibangun suatu mentalitas bersama yang lahir dari komitmen implementatif yang kuat tentang pentingnya penghormatan terhadap manusia karena kemiskinan itu merendahkan martabat manusia dan mengakibatkan penderitaan tak terperikan.
Masalahnya sekarang adalah, apakah bangsa Indonesia mau bersatu padu secara bersama-sama untuk membangun perasaan menyatu dan mengimplementasikan kebijakan program pengentasan kemiskinan dengan efektif, efisien, akurat, jujur, tepat sasaran, transparan dan bijaksana, serta presisi yang tinggi.
Ketika hendak menyusun anggota Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II, presiden dan wakil presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, menyodorkan pakta integritas atau antikorupsi kepada para calon menterinya. Mengapa hal yang sama tidak dilakukan untuk memerangi kemiskinan?
Menjelang “Sumpah Pemuda” saatnya kita harus berkobar kembali untuk melahirkan tekad dalam menanggulangi dan mengatasi kemiskinan. Kiranya, Sumpah Pemuda mengobarkan kembali semangat untuk melawan kemiskinan, memerdekakan rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan dan berupaya melepaskan benang kusut kemiskinan. Hendaknya, peringatan Sumpah Pemuda mendatang yang ke-81 dijadikan momentum untuk mengentaskan kemiskinan dan bersumpah memerangi kemiskinan secara bersama-sama.
Joseph H. Gunawan, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society