16 Juni 2007
Benyamin F. Intan
“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Golden Rule, Matius 7:12).
Demi melestarikan Manokwari sebagai kota kelahiran Kristen di Papua, pemerintah setempat menggulirkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Injil pada 7 Maret 2007. Sebutan Manokwari sebagai Kota Injil sebetulnya sudah ditetapkan sejak 1999 oleh Bupati Manokwari, Dominggus Mandacani, Majelis Rakyat Papua (MRP) bahkan sudah menyatakan kota di daerah yang terletak di “Kepala Burung” Papua itu sebagai Kota Injil.
Menurut Wakil Ketua Kelompok Kerja Agama MRP Pendeta Wiliem Rumsarwir, Raperda Kota Injil adalah wujud panggilan etika dan moral rakyat yang dioperasionalkan. “Injil itu membebaskan, maka nilai-nilai itulah yang dominan dalam rancangan tersebut. Tidak akan ada pelarangan atau fanatisme” (Tempo, 14-20 Mei 2007).
Munculnya Raperda Kota Injil di Papua adalah buah dari “salah nalar”, suatu reaksi emosional yang tidak perlu terhadap maraknya perda-perda bernuansa agama yang menyeruak di era reformasi.
Kesalahan nalar tampak jelas terbaca pada alasan digulirkannya “Raperda Kota Injil,” yaitu untuk melestarikan Kota Manokwari sebagai gerbang masuknya Injil di Papua.
Kita bisa membayangkan setelah kota Manokwari, mungkin akan muncul kota-kota lain yang dijadikan kota Injil. Bagaimana jadinya jika kota Sibolga sebagai tempat masuknya Injil bagi daerah Tapanuli mengikuti jejak Manokwari, mengingat persentase jumlah pemeluk agama Kristen dan Islam di Sibolga hampir sama? Pada tempat-tempat tertentu komunitas Kristen lebih banyak, namun pada tempat lain komunitas Islamlah yang lebih banyak, ada pula pemeluk agama-agama lain, serta aliran kepercayaan.
Lebih parah lagi jika semua agama kemudian membuat langkah yang sama, melestarikan tempat masuknya agama-agama yang ada dengan membuat perda bersuasana agama tertentu. Islam dan Kristen yang masuk belakangan dibandingkan agama-agama lain tentunya menjadi agama yang paling tidak berhak untuk mengklaim daerah tertentu sebagai tempat kelahiran agamanya, karena sebelum Islam dan Kristen, di Indonesia sudah ada agama-agama lain.
Apalagi mengingat dalam agama-agama yang ada terdapat keragaman internal. Lantas mengapa agama-agama kemudian mencoba mengklaim diri seragam untuk kemudian mendominasi dan memarginalkan yang lain. Jelas ini akibat salah nalar yang seharusnya tidak boleh terjadi, karena kota kelahiran agama tertentu secara bersamaan juga kota kelahiran agama lain, dan tak boleh ada satu agama pun yang mengklaim memiliki kota tertentu. Negara Pancasila tidak mengenal “kantong Kristen,” “kantong Islam,” “kota Kristen,” “kota Islam.”
Kebenaran Intrinsik
Natur kekristenan yang universal membungkam justifikasi perda Injil dengan alasan apa pun. Keuniversalan kekristenan yang tercermin pada kebenaran-kebenaran universal, ketika diproklamasikan, di satu sisi setia pada iman kristiani, di sisi lain memiliki kebenaran intrinsik, yaitu suatu kebenaran yang diyakini dapat diterima berbagai kelompok agama berbeda.
Benarkah keyakinan bahwa Injil itu membebaskan dan memiliki nilai-nilai moral yang baik yang bersifat intrinsik? Jika memang demikian, lantas mengapa nilai-nilai itu mesti dipaksakan? Bukankah usaha memaksakan nilai-nilai kebenaran sama artinya dengan adanya keraguan terhadap nilai-nilai tersebut, atau adanya motivasi yang salah yang tersembunyi di balik usaha pemaksaan tersebut? Injil yang membebaskan tak pernah memaksa. Kuasa pembebasan Injil hanya lahir dalam kerelaan.
Paradigma keuniversalan kekristenan bukan hanya tercermin pada kemampuannya berkontribusi (to give), tapi juga pada keterbukaannya untuk menerima (to take). Kekristenan yang meyakini akan adanya anugerah umum (common grace) menghargai kebenaran agama-agama dan kebudayaan di dalam mengemban mandat budaya (cultural mandate) sebagai reaksi terhadap wahyu umum (general revelation).
Itu berarti kekristenan tidak boleh berpretensi menjadi agama solusi tunggal dan final di mana kenyataan sosial dipaksa tunduk padanya. Karena itu, misi kekristenan di dalam menjawab persoalan bangsa sudah semestinya bukan usaha untuk menuntut dominasinya dan memarginalkan yang lain, terlebih lagi menghapus eksistensi agama lain.
Hubungan kekristenan dengan agama lain juga bukan peaceful coexistence, pada level ini memang ada pembicaraan antaragama yang berbeda itu, tapi tidak saling menyapa, artinya dalam hubungan ini agama bertekad tidak saling mengganggu. Pada realitas seperti itu partisipasi agama terhadap agama lainnya masih sangat minim.
Hubungan terbaik kekristenan dengan agama lain seharusnya bersifat creative proexistence yang ditandai dengan usaha saling memperhatikan yang lahir dari kesadaran adanya interdependensi. Pola hubungan ini menjadi feasible dengan menghadirkan Golden Rule (kutipan di atas), yang menurut John Hick, berbagai versinya ada pada setiap agama.
Golden Rule yang berfungsi sebagai titik pijak bersama itu apabila diaplikasikan akan bermuara pada terciptanya hubungan yang saling memperhatikan. Apabila kesadaran interdependensi agama itu terus bertumbuh, partisipasi agama di dalam menjawab persoalan bangsa dapat dimaksimalkan, yang alhasil, akan menafikan perda bernuansa agama.
Hegemoni Agama
Sejak awal kemerdekaan, negeri ini memang tidak pernah selesai bergelut dengan persoalan hegemoni agama. Untuk Indonesia, semangat hegemoni agama yang melahirkan diskriminasi agama, mendapatkan tempatnya pada perselingkuhan antara pemerintah dan kelompok agama, baik pada Orde Lama maupun Orde Baru. Hal itu terjadi semenjak berdirinya Kementerian Agama (Departemen Agama), yang pada mulanya hanya mengurusi agama tertentu (Islam).
Nikmatnya memiliki posisi istimewa, yang ditandai dengan perlakuan-perlakuan khusus dari pemerintah membuat agama-agama sering kali melupakan peran sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Apalagi untuk mengingat agama-agama lain sebagai saudara, atau anak dengan banyak saudara, meminjam perkataan TB Simatupang. Sayangnya, fasilitas istimewa yang berdampak buruk bagi agama-agama yang menerimanya itu, sering kali tak disadari.
Maraknya perda-perda bernuansa agama pada awal reformasi hingga saat ini di berbagai daerah harus diakui meresahkan agama-agama lain, karena walaupun cara menghadirkannya diklaim memenuhi asas demokrasi, di sana tetap saja tersimpan semangat diskriminasi terhadap agama yang berbeda, terbukti, kehadirannya menghambat kebebasan agama-agama lain. Hal yang sama juga ada pada Raperda Kota Injil yang kini sedang digodok di Papua. Dalam rancangan peraturan yang terdiri atas 8 bab dan 27 pasal itu, terindikasi adanya diskriminasi agama.
Pelarangan kegiatan publik pada hari Minggu terkecuali untuk pembinaan mental spiritual adalah pembelengguan terhadap kebebasan agama lain. Masyarakat Manokwari yang beragam agama itu dipaksa menaati peraturan agama tertentu. Ini tidak dapat dibenarkan walaupun dengan dasar toleransi beragama, karena toleransi bukanlah paksaan, sebaliknya sebagai pemberian kebebasan pelaksanaan hak-hak orang lain.
Usaha membatasi kebebasan kelompok agama lain dengan memakai tangan pemerintah, dengan menghadirkan perda bernuansa agama, jelas diskriminasi agama yang adalah buah dari hegemoni agama yang tak pernah berdampak positif bagi tumbuhnya toleransi antarumat beragama dan yang dapat memicu terjadinya konflik horizontal.
Semangat Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tapi satu, seharusnya menjadi dasar kuat bagi terciptanya kehidupan yang harmonis antaragama di bumi Indonesia. Karena itu, perda bernuansa agama bukan hanya meresahkan agama-agama lain, tetapi pada hakikatnya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Keberadaannya adalah sebuah absurditas untuk suatu negara seperti Indonesia yang menghargai keragaman dalam persatuan.
Tulisan ini pernah dimuat di harian Suara Pembaruan (16 Juni 2007)
Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society