Jawa Pos/Indo Pos, 8 Desember 2007
Antonius Steven Un
Komisi III DPR baru saja menyelesaikan tahap akhir seleksi pimpinan baru KPK. Hasilnya adalah ditetapkannya lima nama, yakni Antasari Azhar, Chandra W. Hamzah, Bibit S. Rianto, M. Jasin, dan Haryono (JP, 6/12).
Terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses seleksi komisi III itu. Pertama, tidak diloloskannya sejumlah nama yang dianggap publik memiliki integritas dan kapabilitas dalam agenda eliminasi dan eradikasi korupsi. Antara lain, Amin Sunaryadi dan Surachmin. Kedua, tokoh yang paling kontroversial, Antasari Azhar, bukan saja diloloskan, malah dipilih sebagai ketua dengan kemenangan mutlak.
Ketiga, proses seleksi dijalankan dua tahap, padahal pada tahap pertama, seharusnya sudah memenangkan Chandra M. Hamzah. Gayus Lumbuun, anggota komisi III, keberatan terhadap seleksi tahap kedua yang dianggapnya sebagai skenario memenangkan kandidat tertentu (JP, 6/12). Kejanggalan tersebut menjadi materi untuk membaca perilaku politik anggota dewan, menakar biaya politik sebagai ekses dan menganjurkan antisipasi tertentu.
Perilaku politik anggota dewan dalam seleksi KPK dapat dibaca dari sudut pandang lain. Komisi III dinilai trauma terhadap eksistensi dan kiprah KPK “angkatan pertama” yang bukan saja baru dalam percaturan politik dan tata negara, tetapi terbukti meresahkan banyak pejabat publik. Terbongkarnya skandal suap dan korupsi anggota KPU dan KY merupakan andil KPK.
Karena trauma tersebut, komisi III ingin memutus rantai kontinuitas kultur dan kinerja KPK “angkatan pertama” dengan menjegal langkah mantan Wakil Ketua Amin Sunaryadi. Pada gilirannya, pilihan politik itu akan mengamankan dan menyelamatkan muka banyak koruptor, terutama di legislatif dan eksekutif. Sampai di sini, KPK disulap menjadi “Komisi Penyelamat Koruptor”.
Biaya Politik
Komposisi pimpinan KPK hasil preferensi politik anggota dewan yang menuai protes dikhawatirkan berpotensi menimbulkan biaya politik yang mahal. Eksistensi KPK adalah solusi alternatif bagi macetnya proses pemberantasan korupsi melalui jalur konvensional, dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan.
Karena itu, kegagalan pimpinan KPK dalam menjalankan visi misi sesuai dengan amanat perundangan dan harapan masyarakat sama dengan kegagalan negara dalam agenda pemberantasan korupsi.
Dengan posisi KPK yang demikian strategis dalam grand design pemberantasan korupsi, menyeleksi pimpinan KPK yang tidak tepat justru akan menyuburkan praktik korupsi. Hal ini berarti KPK dan korupsi koeksis sehingga berpotensi menimbulkan delegitimasi dan preseden buruk dalam pemberantasan korupsi. Prinsipnya, korupsi itu buruk, tetapi lebih buruk korupsi dalam penanganan kasus korupsi.
Kekhawatiran itu tidaklah berlebihan. Sebab, mengangkat komisioner yang berrekam jejak baik dan jujur saja belum bisa menjamin akan bersih dari praktik KKN, apalagi memilih komisioner yang rekam jejaknya hitam. Ahli hukum dan politik Susan Rose-Ackerman menempatkan kepentingan pribadi, termasuk kepentingan dalam kemakmuran keluarga, sebagai motivator sentral dan universal bagi kehidupan manusia sehingga tidak heran korupsi menjadi endemi (Corruption & Government, 2000). Dengan motivasi demikian, bahkan komisioner KY yang mengawasi martabat hakim pun tidak imun dari korupsi.
Bertemunya kepentingan pribadi dan daya tarik kekayaan mengakibatkan manusia bisa menjadi beringas. Filsuf Italia Niccolo Machiavelli (1469-1527) menyatakan “manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya daripada kehilangan bagian warisannya”. Hal inilah yang patut diwaspadai oleh publik karena “Jika bersangkutan dengan uang, setiap orang termasuk ke dalam agama yang sama”. Demikian analisis filsuf Prancis Francois Marie Arouet yang terkenal dengan nama Voltaire (1694-1778).
Korupsi yang tumbuh subur, antara lain, diindikasikan oleh terlibatnya komisioner KY dalam kasus KKN, apalagi bila ternyata komisioner KPK hasil seleksi komisi III juga setali tiga uang. Lantas, pada gilirannya, akan luntur kepercayaan publik yang terdiri atas tiga kelompok. Pertama, publik tanah air tidak percaya kepada institusi hukum dan hal ini berarti negara gagal dalam menjalankan fungsi keadilan. Efek dan eksesnya adalah tumbuhnya anarkisme, antara lain, dengan main hakim sendiri.
Kedua, publik internasional dan lembaga donor tidak lagi percaya kepada pemerintah. Hal ini berbahaya mengingat kita berada di ring of fire, potensi dan frekuensi bencana amat besar.
Ketiga, investor baik lokal maupun asing yang sudah sejak lama meresahkan korupsi birokrasi akan bertambah resah dengan praktik korupsi di alat penegak hukum. Dalam hal ini, misalnya apabila dilakukan oleh komisioner baru KPK.
Kontrol Sosial
Janji Ketua KPK terpilih Antasari Azhar bahwa semua kritik dan keraguan publik akan dijawab dengan kinerja (JP, 7/12) tidak serta-merta menenangkan masyarakat. Janji itu tak ubahnya janji politisi dalam kampanye.
Langkah praktisnya adalah pertama, konsistensi kontrol sosial publik. Kontrol sosial selama ini berlangsung reaktif, yakni jika terjadi kasus, barulah publik “mengamuk”. Padahal, fungsi kontrol sosial seharusnya bersifat preventif, bagaimana supaya KPK tidak sampai terjerat skandal KKN. Kedua, dalam rangka prevensi itu, perlu peran inisiatif-proaktif media massa dalam aksesibiltas informasi. Dengan begitu, masyarakat dapat mendeteksi kinerja dan problem dalam tubuh KPK. Ketiga, perlunya kesadaran akuntabilitas dalam diri komisioner bahwa merekalah yang paling disorot dalam hal korupsi serta penanganannya, baik oleh Tuhan, pemerintah, maupun masyarakat.
Kesadaran itu menguatkan identitas komisioner sebagai agen pemberantasan korupsi. Keempat, kesadaran akuntabilitas membawa kepada sikap transparansi, membuka profresifitas penanganan kasus korupsi kepada publik, juga rajin dan rutin membuka harta kekayaan komisioner kepada publik.
Antonius Steven Un, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society