Ulasan Buku #3
Pengulas: Samuel Vincenzo Jonathan (Ilmuwan Independen)
Pertemuan dengan agama-agama dunia lainnya memaksa kekristenan untuk memikirkan ulang posisi teologisnya terhadap agama-agama. Demikian John Hick di dalam God Has Many Names (1982) berargumen.
Pada mulanya, tidak mengherankan apabila kekristenan menampilkan eksklusivitas mengingat memang secara historis ia berada di dalam kondisi ketidaktahuan[i] —demikian juga dengan agama-agama lainnya, sebenarnya. Ketidaktahuan itu, pertama, adalah ketidaktahuan geografis. Kekristenan selama berabad-abad terisolasi sebagai agama yang bertumbuh dan berkembang di Eropa. Tidak mengherankan, apabila bagi sebagian orang, kekristenan —sekalipun pertama kali hadir melalui seorang lelaki Yahudi asal Palestina— dianggap sebagai “agama dari Barat”. Kedua, isolasi yang sifatnya geografis tersebut menyebabkan juga ketidaktahuan secara teologis, yaitu tidak adanya pemahaman bersama yang sungguh terjadi antara satu agama dengan agama lainnya. Ambil contoh, misalnya, Aquinas. Sekalipun ia adalah seorang filsuf dan dikenal sebagai doctor of the Church, sulit untuk mengatakan bahwa ia sungguh sudah memahami apa yang seorang Muslim percaya terkait imannya apabila kita membaca Summa contra Gentiles atau Risalah Melawan Orang Kafir. Klaim semacam, “… jelas lantas bahwa mereka yang menaruh imannya kepada kata-katanya percaya secara naif,”[ii] menunjukkan ketidaktahuannya yang naif akan iman Islam.
Bukan hanya pada masa itu, bahkan menurut Hick, seorang Küng dan Rahner yang mengeklaim bahwa, secara berurutan, “Seseorang diselamatkan oleh agama yang mana dibuat berada sesuai dengan kondisi historisnya,” dan, “… seseorang bisa dan harus dianggap sebagai seorang Kristen anonim,” juga masih berada di dalam semesta yang sama, “semesta Ptolemaic”[iii] terkait agama-agama dunia. Semesta Ptolemaic itu, atau gambar kuno Ptolemaic, soal agama-agama dunia, bahwa di luar kekristenan tak ada keselamatan, masih menjadi presuposisi dari Küng dan Rahner: ketika melihat bahwa seorang penghayat iman lain yang taat, mereka masih memilih bahwa keselamatan mereka pun mungkin karena kekristenan itu sendiri —bukan karena iman mereka. Lantas, kata Hick, diperlukan suatu Revolusi Copernican terkait teologi-teologi agama di dalam kekristenan.
Setelah memberikan pengantar dan latar belakang masalah di dalam dua bab pertama bukunya, A Spiritual Journey (Bab I) dan The Christian View (Bab II), Hick menawarkan dan mengonstruksi revolusi pada kelima bab berikutnya: bahwa Tuhan memiliki banyak nama. Di bab ketiga, Hick menggunakan terminologi Sang Abadi (the Eternal One) dalam merujuk sosok ilahi yang dipahami secara berbeda-beda oleh berbagai budaya manusia, baik secara personal maupun impersonal.[iv] Perbedaan di dalam memersepsikan Sang Abadi di/pada masing-masing budaya manusia mungkin hadir dikarenakan Hick mengutip Aquinas, “Sesuatu yang diketahui adalah ada di penahu sesuai dengan mode mengetahui dari si penahu.”[v]
Sekalipun begitu, di dalam segala perbedaan manifestasinya, kata Hick, secara fenomenologis dapat dilihat bahwa apa yang ada di kekristenan, juga akan ditemukan di agama-agama lain: Tuhan di gereja orang Kristen Adonai di Sinagoge orang Yahudi, Allah di Masjid orang Islam, dan yang lainnya.[vi] Sang Abadi melampaui segala usaha manusia untuk merengkuhnya. Dengan demikian, perbedaan hadir, meskipun mereka menyembah Tuhan yang satu (Bab IV). “Apapun jalan yang seseorang tempuh,” Hick mengutip Bhagavad Gitta, “… adalah jalanku.”[vii]
Implikasi praktis dari hal tersebut, bahwa ternyata semua agama/budaya manusia menyembah Sang Abadi dalam konteks budaya masing-masing, adalah mereka dimungkinkan untuk melihat individu/kelompok liyan yang mengimani secara berbeda sebagai kawan dibandingkan musuh.[viii]
Untuk menjelaskan bagaimana mungkin Sang Abadi yang satu itu dipersepsi secara berbeda-beda, ratusan atau bahkan ribuan konsep mengenai Tuhan, Hick meminjam pendekatan epistemologi dari Kant di Bab V dan Bab VI. Perlu dilakukan pembedaan antara realitas yang transenden an sich dengan bagaimana ia, realitas transenden itu, dialami oleh manusia: bahwa yang ilahi dialami di dalam segala keterbatasan kognitif manusia sesuai dengan kondisi lingkungan fisiknya.[ix] Hick meminjam pembedaan dari Kant antara noumena dan fenomena —yang juga memimpinnya kepada realisme empiris, juga dari Kant— serta mengaplikasikannya kepada isu bagaimana manusia mengalami Sang Abadi. Sang Abadi itu sendiri adalah realitas noumena, yang independen dari segala sesuatu dan tidak mungkin diakses, dan hanya mungkin dialami secara fenomena melalui gambaran-gambaran ilahi yang konkret.
Dengan segala prinsip teoritisnya tersebut, Hick membawa diskusi kembali kepada implikasi praktis yang ia gaungkan di Bab IV: untuk melihat mereka yang mengimani secara berbeda sebagai kawan dibandingkan musuh. Hick mengategorikan dua spektrum dari dialog teologis agama-agama.[x] Pertama, dialog yang sifatnya konvensional di mana masing-masing peserta diskusi bersaksi bagi iman mereka dengan keyakinan bahwa apa yang ia percaya adalah kebenaran absolut, sedangkan lawan bicaranya hanya memiliki kebenaran parsial. Kedua, dialog yang sifatnya truth-seeking ketika masing-masing peserta diskusi memiliki keyakinan akan ketidakterbatasan Sang Abadi. Di dalam pertemuan antaragama dunia yang tidak terhindarkan dan kemajuan dari ilmu pengetahuan modern untuk merengkuh dialog yang bersifat truth-seeking, bagi Hick, adalah pilihan yang lebih bermanfaat.
Gema dari klaim Hick, bahwa perlunya kekristenan untuk memikirkan ulang bagaimana ia bersikap terhadap agama-agama dunia lainnya, masih terdengar dan sampai saat ini, sekalipun buku ini terbit pertama kali pada tahun 1980. Setidaknya Hick mengingatkan bahwa kekristenan, dan seorang Kristen, tidak bisa secara naif merengkuh eksklusivitas tanpa adanya literasi agama (religious literacy): suatu usaha untuk memahami yang lain secara sungguh-sungguh. Meski begitu, pertanyaan hadir: apakah untuk mewujudkan hal itu, seseorang perlu merengkuh model pluralisme ala Hick, yakni bahwa setiap agama pada kenyataannya sama-sama mengalami Sang Abadi yang satu?
Model dari Hick sendiri bermasalah. Di dalam segala usahanya untuk merangkul agama-agama dunia, pada satu sisi model Hick sendiri pun sifatnya triumphalist: ia memaksakan konsepsinya akan Sang Abadi yang satu kepada seluruh agama-agama dunia. Mengutip Adiprasetya, yang mengulas kritik D’Costa atas Hick, di dalam An Imaginative Glimpse: Trinitas dan Agama-Agama, “… kegagalan pluralisme Hick begitu hebat sehingga menyentuh semua aspek agama: ontologis, epistemologis, dan etis.”[xi] Dapat dikatakan, pendekatan Hick ini jatuh pada agnostisisme.
Selain itu, Hick juga terlampau jauh ketika mengatakan bahwa demi memungkinkan model pluralismenya, klaim akan Yesus sebagai Tuhan perlu dipahami sebagai klaim yang berupa puisi, simbolis, dan mitologis.[xii] Para teolog yang mengaku sebagai teolog pasca-pluralisme menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk, mengutip Komulainen dalam Adiprasetya, “… mempertahankan hak-hak dari agama-agama untuk berpegang teguh pada klaim-klaim kebenaran masing-masing, sekalipun klaim-klaim kebenaran itu memiliki inkonsistensi,” melalui, “… hanya dengan berpijak pada perspektif Kristen.”[xiii] Dengan demikian, klaim akan Yesus sebagai Tuhan tidak perlu sedemikian rupa disingkirkan demi menghadirkan kekristenan yang ramah dan terbuka pada agama-agama lainnya.
Sekalipun kritik terhadap model pluralisme dari Hick sudah dilayangkan oleh para teolog dan filsuf, buku God Has Many Names masih bernilai untuk dibaca oleh mereka yang ingin memulai studi mengenai teologi agama-agama. Buku ini bernilai mengingat Hick adalah salah satu sosok yang pertama kali menaruh perhatian dan mendorong adanya bentuk keterlibatan yang berbeda antar agama dunia. Apabila diusut, seluruh trajectory pemikiran soal teologi agama-agama akan bermuara pada Hick, sehingga bisa dibilang bahwa Hick selalu hadir sebagai catatan kaki di dalam diskursus teologi agama-agama.
[i] John Hick, God Has Many Names (Philadelphia: Westminster Press), 29.
[ii] Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles (Turnhout: Brepols Publishers), 1, 6.
[iii] Hick, God Has Many Names, 32.
[iv] Ibid., 42.
[v] Ibid., 49.
[vi] Ibid., 63.
[vii] Ibid., 78.
[viii] Ibid., 77.
[ix] Ibid., 83.
[x] Ibid., 117.
[xi] Joas Adiprasetya, An Imaginative Glimpse: Trinitas dan Agama-Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 39.
[xii] Hick, God Has Many Names, 75.
[xiii] Adiprasetya, An Imaginative Glimpse, 4.
Sumber Buku: Hick, John. God Has Many Names. Philadelphia: Westminster Press, 1982.
Penyunting:
Semy Arayunedya
Calvin Nathan Wijaya
Korespondensi: smlvncnz@gmail.com