- Suara Pembaruan, 16 April 2014
- H. Hans Panjaitan
- Waktu Baca: 5 menit
Angin perubahan (wind of changes) mulai bertiup di Kota Bogor, Jawa Barat, sejak Bima Arya Sugiarto dan Usmar Hariman dilantik menjadi walikota dan wakil walikota pada Senin (7/4) lalu. Pasangan ini memenangi pilkada Kota Bogor pada September 2013, dan akan memimpin Kota Hujan dari 2014 – 2019.
Kota Bogor menyedot perhatian publik semenjak satpol PP Kota Bogor, atas perintah walikota saat itu, Diani Budiarto, menyegel Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, pada 10 April 2010. Jemaat GKI Yasmin yang jumlahnya ratusan orang itu pun akhirnya menggelar ibadah di alam terbuka, tepatnya di tepi Jalan Raya KH Abdullah bin Nuh, atau persis di depan bangunan gereja mereka yang disegel itu. Selama satu setengah tahun jemaat menyelenggarakan ibadah di trotoar sampai akhirnya, Oktober 2011 aktivitas kerohanian itu dilarang pula oleh Pemkot Bogor.
Selanjutnya ibadah minggu dilakukan di rumah-rumah jemaat secara bergantian. Ini pun tidak pernah sepi dari intimidasi dan gangguan, hingga 22 Januari 2012, penguasa Kota Bogor kembali mengeluarkan larangan beraktivitas bagi jemaat itu. Karena dilarang beribadah di tempat mereka berdomisili, akhirnya sejak Minggu 22 Februari 2012 jemaat menggelar ibadah di depan Istana Presiden, di Jakarta. Belakangan, jemaat HKBP Filadelfia Bekasi, yang bernasib sama dengan GKI Yasmin, turut bergabung.
Dan acara kebaktian menghadap Istana Presiden ini masih berlangsung secara rutin setiap hari Minggu, hingga Walikota Bogor Diani Budiarto, yang mengeluarkan IMB bagi GKI Yasmin, dan yang akhirnya juga menyegel gereja dan membatalkan IMB tersebut lengser, dan digantikan oleh Bima Arya yang pada 2006 meraih gelar doktor ilmu politik dari Universitas Nasional Australia, di Canberra.
Dari segi hukum, status GKI Yasmin tidak bermasalah. PTUN Bandung dan PTTUN Jakarta memenangkan GKI Yasmin dalam sengketa IMB. Mahkamah Agung (MA) melalui keputusan Nomor 127 PK/TUN/2009 tanggal 9 Desember 2010 juga telah menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Pemkot Bogor. MA tertanggal 9 Desember 2010 telah mengeluarkan putusan PK MA Nomor 127 PK/TUN/2009 terkait izin mendirikan bangunan (IMB) GKI Yasmin. Namun, saat itu, Wali Kota Bogor justru menerbitkan Surat Keputusan Nomor 645.45-137 Tahun 2011 tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin pada tanggal 11 Maret 2011. Ombudsman RI pun kemudian mengeluarkan rekomendasi dengan nomor 0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 pada 8 Juli 2011 tentang pencabutan keputusan Wali Kota Bogor tentang IMB GKI Yasmin, tetapi tetap tidak ada tindakan dari Pemerintah Kota Bogor.
Kasus GKI Yasmin bukan hanya masalah nasional, namun juga internasional. Human Rights Watch World, dalam laporan yang diberi judul: Human Rights Watch World Report 2012, Events of 2011 alinea 2 dan 3, menyatakan: “In January the Supreme Court ordered the reopening of a Presbyterian church known locally as GKI Yasmin, overturning the Bogor administration’s ruling which had revoked the church’s building permit. However, Bogor Mayor Diani Budiarto refused to comply. Government ministers offered the church “relocation.” In October an Islamist organization began to harass churchgoers who were holding Sunday services on a sidewalk outside the sealed church.”
Dialog
Terpilihnya Bima Arya sebagai walikota Bogor tentu bagaikan semilir angin sejuk bukan hanya bagi jemaat GKI Yasmin, namun juga bagi segenap rakyat yang merindukan tegaknya hukum di negeri ini. Republik Indonesia lahir sebagai negara yang pluralistik. Negeri ini dibangun di atas pondasi keberagaman. Beragamnya suku bangsa, agama, bahasa, budaya dan adat istiadat masyarakat yang bermukim dari Sabang sampai Merauke, merupakan kekayaan dan sekaligus kekuatan bangsa ini.
Rasanya tidak berlebihan mengharapkan Bima Arya mengakhiri kisruh yang melanda GKI Yasmin sejak beberapa tahun terakhir. Dalam orasi pertamanya usai dilantik sebagai walikota, putra Bogor yang lahir pada 17 Desember 1972 ini menyerukan antidiskriminasi suku, agama, ras, dan antargolongan, serta mengupayakan warga Bogor mendapatkan haknya (Suara Pembaruan 7/4).
Bahkan beberapa hari sebelum dilantik menjadi walikota Bogor, dalam suatu kesempatan, Bima Arya mengatakan telah menemukan solusi terkait persoalan GKI Yasmin. “Solusinya cuma satu yaitu dialog,” kata Bima di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (3/4). Saat didesak kapan realisasi pertemuan itu dilakukan, Bima menegaskan, dalam waktu dekat ini pihaknya akan mengadakan dialog antara kedua belah pihak.
Bima Arya yang belum genap berusia 42 tahun saat dilantik menjadi walikota Bogor, diharapkan menjadi salah satu tokoh muda yang akan membawa bangsa ini ke jati diri yang sebenarnya, sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Dalam kasus GKI Yasmin Bogor, Bima Arya diharapkan mampu membuat sesuatu perubahan cerdas yang diterima oleh semua pihak. Sebagaimana telah dia katakan, dialog adalah solusi untuk mengatasi permasalahan GKI Yasmin. Tidak mudah memang baginya, terlebih memenangkan hati sekelompok orang berlabel “garis keras” yang cenderung ngotot dan selalu memaksakan kehendak. Tapi paling tidak Bima Arya bisa mencontoh langkah Joko Widodo, gubernur DKI Jakarta, yang akhirnya bisa meluluhkan hati banyak orang setelah melalui dialog panjang dan berkesinambungan.
Nah, apabila Bima Arya sukses menyelesaikan kasus GKI Yasmin, di mana kedua belah pihak sama-sama menang (win win solution)–sama seperti Jokowi di tahun 2014 ini—sosoknya akan mendominasi hiruk-pikuk politik menjelang Pemilu dan Pilpres 2019. *
H. Hans Panjaitan, Peneliti Reformed Center for Religion and Society