Latar Belakang
Pengesahan UU Cipta Kerja dari Perppu Cipta kerja Nomor 2 Tahun 2022 di akhir bulan Maret 2023 menimbulkan polemik. Sebelumnya, Perppu ini ditolak oleh sejumlah serikat buruh, aktivis HAM dan mahasiswa karena mencabut Cipta Kerja yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, Perppu ini juga tetap dianggap merugikan kalangan pekerja, seperti: (a) ketidakjelasan upah minimum kabupaten/kota; (b) ketiadaan kriteria pekerja alih daya; (c) ketiadaan batas waktu pekerja kontrak; (d) Pesangon berpotensi berkurang; (e) Penghilangan cuti panjang.
Di lain pihak, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan lahirnya Perppu ini dikarenakan kebutuhan yang mendesak. Tantangan geopolitik akibat konflik Ukraina dan Rusia menyebabkan berbagai negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan. Bahkan beberapa negara sedang berkembang tengah meminta bantuan pendanaan kepada International Monetary Fund (IMF) untuk menghadapi tekanan global saat ini. Keluarnya Perppu juga didukung oleh anggota DPR dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus. Langkah ini adalah tindakan sah dari perintah MK untuk merevisi UU Ciptaker. Tahun 2023, katanya, diproyeksikan terjadi krisis yang melanda dunia. Jika dilakukan revisi UU Cipta Kerja maka akan memakan waktu yang lama, mengingat batas waktu dua tahun yang diberikan MK. Sementara itu, dunia usaha dan masyarakat sangat membutuhkan kepastian hukum mengantisipasi situasi serta tantangan perekonomian global yang penuh ketidakpastian.
Situasi terkini merupakan sebuah momentum untuk merenungkan hari Buruh Internasional yang juga diakomodasi oleh pemerintah sebagai hari peringatan. Namun, seringkali peringatan ini identik dengan demonstrasi buruh. Padahal, peringatan ini tentu tidak hanya menjadi milik pekerja saja, melainkan pemberi kerja, pemerintah, masyarakat umum, dan terlebih lagi sebagai manusia. Setiap anggota masyarakat tidak pernah lepas dari pekerjaan dan relasi pekerja-pemberi kerja yang sudah terjalin sejak manusia pertama ada.
Kompleksitas dan relasi di dalamnya pernah begitu populer dan memengaruhi zamannya ketika Marx dan pemikiran-pemikiran turunannya dikembangkan untuk melawan penindasan dalam hal ini kapitalisme dan liberalisme ekonomi. Relasi pekerja-pemberi kerja menjadi tegang karena dibenturkan dengan instrumen politik sehingga menumpahkan darah yang tidak sedikit. Akan tetapi, pemikirannya mengalami keruntuhan dan digantikan oleh sistem neoliberalisme yang saat ini dijalankan oleh banyak negara termasuk Indonesia. Sistem inipun juga mendapat sorotan kritik karena juga masih memiliki celah memperlebar kesenjangan antara pemberi kerja dan pekerja.
Menariknya, berbagai pemikiran tersebut tidak dapat dilepaskan dari keyakinan agama. “Agama adalah candu masyarakat” adalah salah satu kutipan Marx yang menyoroti pengaruh kekristenan kala itu yang mana dituduh turut memperuncing ketegangan relasi keduanya. Sebaliknya, oposan Marxisme—yakni kapitalisme yang menjadi induk dari neoliberalisme ekonomi—juga tidak dapat menanggalkan diri sepenuhnya dari pengaruh kekristenan. Dalam hal ini, kekristenan terpanggil untuk menanggapinya sebagai bagian tanggung jawab menghidupi Injil dan menjadi saksi kerajaan-Nya di bumi pertiwi.
Tujuan
(1) Peserta dipaparkan pemaknaan Hari Buruh di dalam konteks isu UU Ciptaker;
(2) Peserta dipaparkan mengenai teologi kerja sekaligus di dalamnya relasi pekerja dan pemberi kerja