Latar Belakang
Genosida budaya yang diartikan sebagai penghancuran sistematis terhadap tradisi, norma, bahasa, dan dimensi lain dari budaya tersebut merupakan istilah yang kembali mencuat pada tahun 2022. Tujuh tahun sebelumnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Kanada melaporkan adanya genosida budaya yang telah dilakukan oleh gereja. Temuan tersebut semakin mendorong berbagai komunitas adat di Kanada menuntut Paus untuk meminta maaf atas peran gereja di dalam kebijakan negara tentang asimilasi ke dalam masyarakat Kristen pada waktu itu. Peristiwa dalam rentang tahun 1831-1996 disinyalir menyebabkan pencerabutan 150.000 anak dari keluarga, bahasa, budaya dan juga mengindikasikan adanya penelantaran dan pelecehan seksual. Melampaui tuntutan tersebut, Paus tidak sekadar meminta maaf melainkan memohon pengampunan di Kanada.
Di lingkup Indonesia, genosida budaya setidaknya dibahas ketika seminar di Gedung LIPI pada tahun 2017. Genosida, dalam seminar tersebut, dilatarbelakangi oleh polittk agama yang berkembang sejak masa kolonial hingga saat ini yang memperlihatkan bagaimana penghancuran terhadap kebudayaan para penghayat agama leluhur Nusantara berlangsung. Setahun kemudian, PGl menyatakan bahwa gereja perlu terlibat dan bersumbangsih bersama masyarakat adat, karena peminggiran, diskriminasi, dan kolonialisasi masih terus mereka alami. Terkini, PGI melalui Seminar Agama-Agama yang diselenggarakannya mengeluarkan Maklumat Cigugur yang langsung menyasar tindakan-tindakan riil di bidang legal, pendidikan, sosial, dan kebijakan, seperti mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat, Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ke dalam sistem Pendidikan nasional, penghapusan kebijakan diskriminatif, serta menolak segala
bentuk intoleransi dan kekerasan atas nama identitas golongan.
Atas kegiatan PGI tersebut, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM menemukan bahwa terdapat titik singgung yang tidak hanya melibatkan Islam sebagai agama mayoritas melainkan kekristenan turut andil dalam peminggiran masyarakat adat serta penghayat kepercayaan. Sejarah kekristenan di Indonesia, yang dibawa dan dibentuk oleh misionaris Eropa, diwarnai dengan pelabelan agama atau kepercayaan leluhur—sebagai objek pekabaran Injil—dengan stigma yang merendahkan seperti sesat, penyembah berhala, dan tidak selamat.
Sebagaimana yang terjadi di Kanada dan terlepas dari posisi kita terhadap sikap Paus, sejarah menjadi salah satu pijakan yang sangat penting sehingga masyarakat dan para pemangku kepentingan dapat melihat dengan jernih dan objektif terhadap tiap permasalahan sebelum mengambil keputusan. Sejarah
kekristenan di Indonesia pun adalah untaian peristiwa yang cukup kompleks. Dengan meninjau sejarah, kita diharapkan dapat menggali kekayaan yang terkandung di dalamnya baik hal-hal yang apresiatif maupun hal-hal yang dapat dijadikan pelajaran. Hal demikian memantik Reformed Center for Religion and
Society mengadakan diskusi yang membedah dinamika relasi kekristenan dengan kepercayaan leluhur di Indonesia.
Tujuan
(1) Peserta memahami sejarah persinggungan antara kekristenan dan kepercayaan leluhur sejak masa penjajahan hingga masa kini;
(2) Peserta memahami pengaruh persinggungan keduanya.
Unduh Paparan Ribka (58 downloads)