Ulasan Buku #1
Pengulas: Airlangga Julio
Sebuah Upaya Pembacaan Budaya Secara Teologis
Buku Everyday Theology: How To Read Cultural Texts and Interpret Trends (selanjutnya disebut Ev. Theology) dimulai dari mata kuliah Cultural Hermeneutics yang diajarkan oleh Kevin J. Vanhoozer[1] di Trinity Evangelical Divinity School (TEDS), Illinois. Bagian pertama (Part 1) dari buku Ev. Theology ditulis langsung oleh Vanhoozer, sementara bagian-bagian berikutnya ditulis oleh para mahasiswa pada mata kuliah tersebut. Vanhoozer bersama-sama dengan Charles A. Anderson[2] dan Michael J. Sleasman[3] sebagai editor dari buku Ev. Theology meneliti serta menyaring dengan saksama artikel-artikel buatan para mahasiswa yang cukup representatif dari kumpulan 145 (seratus empat puluh lima) artikel yang telah ditulis berkaitan dengan mata kuliah Cultural Hermeneutics.Teologi adalah pembacaan firman Tuhan dan implementasinya di dunia ini. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, maka seorang Kristen sesungguhnya memiliki identitas “bilingual” dengan tetap menantikan dan berasal dari Kerajaan Allah, namun hidup di atas bumi, dipengaruhi dan menghidupi kebudayaan[4] yang berada di bumi. Vanhoozer mendalilkan bahwa buku-buku yang membahas kebudayaan dalam sejarah dan dunia ini sudah banyak (baik dalam bidang sosiologi, antropologi, dan sebagainya). Namun demikian, belum terdapat sumber yang membahas bagaimana menginterpretasikan kebudayaan yang berada di dunia ini secara teologis. Buku Ev. Theology berusaha untuk memberikan metode kepada setiap orang Kristen dalam membaca dan menginterpretasi kebudayaan yang dihidupi selama berada di bumi. Vanhoozer juga menggunakan banyak ilustrasi dan perumpamaan dalam menjelaskan pandangannya sehingga pembaca dapat mengerti secara komprehensif apa yang dimaksud oleh Vanhoozer. Ketika seseorang berusaha menggunakan metode Ev. Theology dalam melihat kebudayaan, maka pembacaan yang dilakukan tidak secara metodik, dalam arti ilmu pengetahuan (scientific) dan komputasi (logic of cause and effect), melainkan dengan komprehensif yang menyadari sepenuhnya bahwa kebudayaan adalah partikularitas dari keseluruhan (part and whole). Ev. Theology juga bukan merupakan ensiklopedia dari keseluruhan kebudayaan kontemporer, dan bukan merupakan karya lengkap perihal cultural hermeneutics. Pembaca diharapkan tidak memberikan ekspektasi demikian terhadap isi buku Ev. Theology. Namun demikian, Ev. Theology memberikan model pembacaan kebudayaan secara teologis dan menyertakan beberapa ilustrasi sebagai bentuk latihan. Kalimat Vanhoozer (2007, 10) menyatakan sebagai berikut: “What is provides instead is a model for “reading” culture theologically as well as a number of illustrative exercises.” Vanhoozer juga memberikan peringatan kepada setiap orang yang melakukan interpretasi terhadap kebudayaan apapun agar terlebih dahulu mempelajari dan meneliti secara seksama kebudayaan tersebut apa adanya, sebelum menjatuhkan pertimbangan apapun (Vanhoozer 2007, 252).
Menggugah Literasi Kebudayaan
Kehidupan manusia sangat kompleks dan memiliki perkembangan kebudayaan yang beragam sepanjang sejarah. Ketika seorang Kristen yang menggumuli dan mengimplementasikan firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, maka ia diperhadapkan pada dua persoalan. Pertama, permasalahan tentang penafsiran firman Tuhan itu sendiri. Pembahasan dalam mempelajari firman Tuhan itu sendiri telah banyak dilakukan sehingga khazanah keilmuan teologi memiliki banyak perkembangan dalam hal ini. Kedua, dalam hal implementasi pada kehidupan sehari-hari, seorang Kristen akan diperhadapkan dengan begitu banyak perkembangan budaya keseharian yang ada di dunia. Vanhoozer menyebutkan bahwa sedikit orang Kristen yang mau secara saksama memikirkan masalah implementasi firman Tuhan dalam kehidupan yang carut-marut dan di tengah-tengah rimba arus zaman dan pemikiran dunia ini. Faith Seeking Understanding (fides quaerens intellectum), ungkapan yang disebutkan oleh seorang teolog bernama Anselm[5] dipergunakan oleh Vanhoozer dalam rangka membaca dan menginterpretasi kebudayaan yang ada di dunia. Ketika faith seeking understanding pada mulanya adalah upaya untuk memahami secara progresif perihal firman Tuhan, Vanhoozer menambahkan dengan mengatakan bahwa faith seeking understanding juga dapat digunakan untuk memahami kehidupan sehari-hari seseorang dalam dunia ini. Dalam memahami, membaca, dan menginterpretasi kebudayaan yang ada di dunia ini, Vanhoozer menyadarkan setiap orang Kristen bahwa kebudayaan merupakan sesuatu yang tidak dapat disentuh, di mana sulit untuk melakukan pengobjekan terhadapnya. Memahami kebudayaan yang kita hidupi sangat sulit karena terlalu “umum” dan seringkali keseharian kita dialami dengan keadaan yang “tidak sadar”. Kebudayaan seperti kulit kita sendiri, di mana kita memiliki kesulitan untuk mengambil jarak terhadapnya. Salah satu fondasi dan dasar firman Tuhan untuk melakukan pembacaan terhadap kebudayaan dapat ditemukan dalam Matius 16: 1‒3. Ketika itu Tuhan Yesus menekankan pentingnya membaca dan menginterpretasi tanda-tanda teologis maupun tanda-tanda kebudayaan. Secara sederhana, ada banyak tanda di mana-mana ketika seseorang menjalani kehidupannya sehari-hari. Dalam dunia yang penuh dengan arus informasi dan telah dikomunikasikan secara cepat melalui teknologi, maka setiap orang akan mengalami kesulitan dalam membaca tanda-tanda tersebut. Seorang Kristen seharusnya memiliki kesadaran penuh perihal hal ini dan tidak menyerahkan sepenuhnya pembacaan dan interpretasi kebudayaan kepada ahli pada bidangnya saja. Walaupun tidak mungkin memiliki kompetensi dan pengalaman yang sama, tetapi setiap dari orang Kristen juga dituntut untuk bertanggungjawab terhadap kehidupan sehari-hari yang dihidupinya, dengan cara “membaca dan menulis” kebudayaan. Vanhoozer menyebutkan istilah “cultural literacy” (literasi kebudayaan) sebagai bentuk tanggung jawab dari setiap orang Kristen yang berada di dunia ini. Pada saat yang sama, ketika seorang Kristen menghidupi hukum kasih yang diajarkan oleh Yesus, maka ia juga perlu memahami “dunia” yang dihidupi oleh orang-orang di sekitarnya. Bahwa tidak semua orang memiliki “dunia” yang sama. Bahkan orang-orang terdekat sekali pun dapat memiliki dunia yang berbeda. Ketika ingin mengerti dan mengasihi seseorang secara utuh, maka seorang Kristen juga perlu mengerti perihal “dunia” orang lain. Maka, literasi kebudayaan yang diungkapkan oleh Vanhoozer sejalan dengan ketaatan setiap orang Kristen dalam menjalani hukum kasih. Masyarakat dalam setiap zaman dan lokasi tertentu memiliki kegelisahan dan keresahannya masing-masing. Paul Tillich, seorang teolog kebudayaan ternama menyebutkan bahwa cara terbaik dalam memahami suatu kebudayaan adalah mengetahui kegelisahan dan keresahan terbesar dari kebudayaan tersebut. Vanhoozer menyebutkan dalam memahami kegelisahan dan keresahan kebudayaan tersebut seperti upaya dalam meramalkan cuaca, ia memberi istilah “everyday meteorology.” Peramalan cuaca memberikan pengetahuan dan spekulasi kepada masyarakat agar dapat menentukan pakaian yang dipakai menghadapi keadaan dunia di luar rumah. Maka dari itu, pembacaan terhadap kebudayaan adalah pembacaan terhadap tindakan orang atau kita sendiri ketika gelisah dan resah ketika menghadapi “cuaca” kebudayaan yang dihidupi.
Memahami Kebudayaan
Pembahasan berikutnya dengan mencari unsur pembeda kebudayaan dengan alam (nature) dan masyarakat (society). Vanhoozer mengontraskan kebudayaan dengan alam (culture vs. nature), dan kebudayaan dengan masyarakat (culture vs. society), karena lebih mudah untuk mencari perbedaan kebudayaan daripada berusaha untuk memberikan definisi terhadap kebudayaan. Berikut ini dijelaskan secara singkat beberapa perbedaan tersebut, di antaranya:
Culture vs Nature
No. | Culture | Nature |
1. | Freedom | Own-system |
2. | Voluntary | Involuntary |
3. | Part and whole, complex meaningful whole | Causal law, cause and effect |
Culture vs Society
No. | Culture | Society |
1. | Software | Hardware |
2. | Behind the institution | Institution in society and its norm |
Definisi kebudayaan dalam arti makna yang terdapat dalam kata itu sendiri adalah suatu hal yang kompleks untuk dijelaskan sebab dalam bahasa Inggris kata kebudayaan (culture) merupakan salah satu kata yang memiliki perkembangan panjang dalam sejarah. Pada mulanya, “culture” berasal dari kosakata Latin cultura[6] yang dalam bahasa Indonesia dapat berarti merawat, mengolah, menanam, atau mengembangbiakkan sesuatu (dalam hal ini lebih dekat dengan tanaman dan hewan ternak). Berkaitan dengan hal tersebut, Vanhoozer (2007, 23‒24) berpendapat bahwa: “We still speak of agriculture and horticulture and we even “cultivate” bacteria ―a biological culture― in the lab. The idea of tending natural growth extended metaphorically to cover the idea of human development as well, so much so that by the eighteenth-century culture came to refer to the process of civilization, or the cultivation of the mind.” Disiplin antropologi juga menjelaskan mengenai kebudayaan sehubungan dengan perkembangan keilmuan tersebut karena peradaban Eropa banyak bertemu dengan peradaban lainnya. Salah satu profesor pertama dan ternama di bidang antropologi, Edward Tylor (dalam Vanhoozer 2007, 23‒24) memberikan definisi kebudayaan sebagai berikut: “that complex whole which includes knowledge, belief, art, law, morals, custom, and any other capacities and habits acquired by man as a member of society.” Bidang antropologi berangkat dari pengetahuan bahwa manusia hidup dari dunia yang mereka bentuk sendiri. Selain itu, kebudayaan suatu masyarakat juga berbicara mengenai tanda-tanda yang secara implisit mengandung makna dan pesan tertentu. Vanhoozer menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu alat manusia yang canggih dan kompleks dalam membentuk makna. Para antropolog modern sepakat bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang kompleks. Untuk memahami suatu kebudayaan tertentu, maka seseorang perlu menempatkan kebudayaan tersebut selayaknya suatu kalimat yang merupakan bagian dari paragraf, yakni sebuah partikularitas dalam keseluruhan yang ada.Vanhoozer menyatakan bahwa dalam buku Ev. Theology memiliki seorang “virtual patron saint” bernama Clifford Gertz,[7] seorang ahli ternama di bidang antropologi sosio-kultural. Esai dari Geertz yang berjudul “The Interpretation of Cultures” melatih dan membentuk pemikiran Vanhoozer mengenai pembacaan tanda-tanda dalam suatu kebudayaan. Geertz menyatakan bahwa antropologi adalah upaya untuk membaca kebudayaan. Maka, bagian selanjutnya Vanhoozer akan menjelaskan mengenai pembacaan tanda-tanda yang disebut sebagai semiotika. Tetapi, Vanhoozer kemudian berpendapat bahwa Agustinus[8] telah membahas dan memberikan batasan-batasan dalam hal kebudayaan sebagai suatu tanda-tanda. Dalam On Christian Doctrine, Agustinus membahas bahwa komunikasi tertulis melalui teks adalah salah satu bentuk komunikasi yang paling sering digunakan selain komunikasi verbal. Maka, Agustinus melakukan dua langkah penting. Pertama adalah memisahkan antara tanda yang harfiah (literal) dengan kiasan (figurative). Kedua, Agustinus menyatakan bahwa ciptaan adalah tanda yang merujuk kepada kebaikan dari Penciptanya. Hanyalah Tuhan yang dapat dinikmati (frui) dalam Dia sendiri. Sementara itu, semua hal lain, seperti musik, bangunan, literatur, dan perkawinan adalah untuk digunakan (uti) untuk merujuk pada sumber dan tujuan dari kehidupan manusia, yaitu Penciptanya.Vanhoozer berpendapat bahwa karya Agustinus adalah salah satu karya pertama yang membahas perihal semiotika, keilmuan yang membahas mengenai tanda-tanda dan maknanya (signs and their meaning). Pembahasan semiotika dalam modernitas adalah pembelajaran mengenai kebiasaan (conventions) dan cara bekerja (operations) dari suatu sistem mengenai tanda-tanda yang ada dan efek yang berasal dari padanya. Antropologi modern yang menganggap kebudayaan merupakan sistem tertutup yang ada pada dirinya sendiri kemudian dibantah dan dikoreksi oleh kaum pascamodernitas yang menyebutkan bahwa tidak ada batasan dari suatu kebudayaan. Vanhoozer sejalan dengan kritik kaum pascamodernitas perihal kebudayaan, bahwa kebudayaan hidup dan bernafas secara progresif dan berkembang terus-menerus. Bahkan di era multikultural seperti sekarang ini, seseorang akan kesulitan untuk menentukan kebudayaan yang dihidupinya. [9]Persoalan berikutnya yang menjadi salah satu perdebatan dan kesulitan dalam pembahasan mengenai kebudayaan: Apakah suatu sistem kebudayaan menjadi penentu bagi mereka yang diam di dalamnya? Ataukah manusia yang berdiam dalam satu kebudayaan tersebut mempengaruhi sistem kebudayaan yang ada? Bagi Vanhoozer keduanya berlaku, baik perdebatan deterministik dan kebebasan, sesungguhnya dapat berlaku secara bersamaan. Vanhoozer kemudian menekankan bahwa buku Ev. Theology melihat kebudayaan sebagai suatu hasil pekerjaan (works) dan dunia makna (worlds of meaning). Kebudayaan adalah hasil pekerjaan karena dilakukan manusia dengan bebas, bukan karena natur atau hasil dari sebab-akibat semata. Vanhoozer menyebutkan bahwa hasil pekerjaan yang dilakukan dengan bebas oleh manusia tersebut disebut sebagai teks kebudayaan (cultural texts). Mengapa teks? Sebab teks adalah tindakan aktif dan bebas dari manusia yang perlu dilakukan interpretasi terhadapnya. Cultural works adalah hasil kebebasan manusia dan pada saat yang bersamaan juga dapat diinterpretasi, karena pasti mengomunikasikan sesuatu, seperti nilai yang dipegang manusia, kegelisahan, keresahan, dan pemahaman tentang manusia.[10] Dengan demikian, Vanhoozer menyebutkan bahwa kebudayaan itu sendiri adalah suatu worldview yang dihidupi. Ketika seseorang terlibat dan dipaparkan pada suatu teks kebudayaan, maka teks kebudayaan tersebut memberikan proyeksi kepada masing-masing orang yang membacanya. Setiap hasil produksi manusia seperti film, lagu, dan buku-buku, disebut sebagai teks kebudayaan serta melakukan proyeksi tentang manusia. Setiap manusia diperhadapkan dengan proyeksi tersebut. Setiap manusia diperhadapkan dengan pencipta dari proyeksi tersebut dan apa yang diinginkan dari penciptanya. Seorang Kristen, ketika memahami dan memaknai dunia ini, akan berhadapan dengan segala macam proyeksi teks kebudayaan dalam dunia ini. Pencipta dari proyeksi tersebut akan mengundang setiap orang untuk menghidupi proyeksinya. Setiap kita hidup dengan proyeksi teks kebudayaan dalam dunia ini, yang pada saat ini banyak diciptakan oleh media dan teknologi di sekitar kita.
Bagaimana Kebudayaan Memengaruhi?
Untuk memahami kebudayaan dengan benar, maka seseorang perlu untuk mengerti apa itu kebudayaan dan apa yang dilakukannya. Vanhoozer menyebutkan bahwa sebelum menjelaskan mengenai apa yang dilakukan oleh kebudayaan, maka perlu untuk melakukan klarifikasi terhadap terminologi kebudayaan itu sendiri. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, kebudayaan adalah suatu konsep tentang standardisasi sesuatu yang unggul. Pandangan kebudayaan yang “tinggi” dan “rendah” berangkat dari standardisasi yang ditetapkan tersebut. Namun pandangan ini kemudian ditinggalkan dan disebutkan sebagai konstruksi para elit.Pembahasan selanjutnya mengenai kebudayaan adalah “popkultur” (popular culture), yakni suatu keilmuan yang timbul belakangan ini. Budaya pop mempelajari mengenai kebudayaan yang dihidupi manusia biasa dalam kesehariannya. Keilmuan tersebut berangkat dari pertanyaan mengenai terminologi kebudayaan itu sendiri serta cakupannya, dibandingkan dengan keilmuan lain yang secara khusus mempelajari mengenai seni, literatur, musik, dan lainnya. Studi kebudayaan (cultural studies) beranggapan bahwa keilmuan humaniora lainnya mempelajari tiap-tiap bidang tersebut tanpa kaitannya dengan konteks sosio-historis dari permulaan dan penggunaannya. Studi kebudayaan akhir-akhir ini fokus pada budaya pop dan kaitannya dengan aspek sosial politik secara luas. Vanhoozer menyebutkan bahwa seorang Kristen harus membaca budaya pop untuk dapat memahami caranya mempengaruhi kita, orang lain, dan bahkan gereja. Dengan demikian, Vanhoozer menyebutkan bahwa kebudayaan melakukan empat hal ini:
What Culture Does?
Culture communicates
Sebagian besar kebudayaan menyampaikan pesan melalui cara-cara yang implisit. Kebudayaan tidak secara langsung menyediakan jawaban terhadap setiap persoalan, namun memberikan kerangka, cara bekerja, kacamata (framework) dalam menghadapi dan menginterpretasi kehidupan yang ada di sekitar. Hal ini dilakukan melalui banyak media dan salah satu media yang kuat adalah film. Vanhoozer menyatakan bahwa apabila dapat digeneralisasi, pesan yang disampaikan oleh suatu kebudayaan adalah mengenai makna kehidupan.
Culture orients
Setelah memberikan kerangka (framework) kepada kehidupan kita, maka kebudayaan akan memberikan orientasi dari seluruh kehidupan kita. Mengarahkan keinginan kita yang terdalam (desire), apa yang kita tidak inginkan, apa yang sangat kita inginkan. Kebudayaan secara implisit juga mempengaruhi pikiran kita dengan mengarahkan apa yang seharusnya kita pikirkan. Kebudayaan memberikan pengaruh kuat tentang siapa kita, bagaimana kita menempatkan diri kita di tengah-tengah masyarakat, mengapa kita hidup di dalam dunia ini, dan dampaknya pada etika yang kita hidupi.
Culture reproduces
Kebudayaan adalah tempat untuk menghasilkan kembali (mereproduksi) kehidupan. Kebudayaan menyebarkan segala sesuatu seperti ide, moralitas, nilai, estetika, dan pemikiran dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kebudayaan bersifat “mimikri” dan mekanik, di mana satu masyarakat dapat secara implisit meniru dan dipengaruhi oleh masyarakat lainnya. Kebudayaan seperti virus yang menular dari satu orang ke orang lainnya, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal yang dapat dirasakan pada zaman sekarang, di mana teknologi mengamplifikasi penyebaran kebudayaan dan multikulturalisme di semua tempat. Vanhoozer mengeklaim bahwa “akal budi” adalah sistem imunitas dari suatu kebudayaan.
Culture cultivates
Kebudayaan menumbuhkembangkan jiwa manusia. Dalam sifat kebudayaan sebelumnya, yang memberikan orientasi dan reproduksi, maka perlu disadari bahwa kebudayaan merupakan alat untuk membentuk dan memahat jiwa dan hati manusia. Tujuan Vanhoozer dalam menyampaikan hal tersebut adalah bahwa kebudayaan membentuk jiwa kita bukan berarti bahwa kita tidak berdaya, melainkan untuk menyadarkan kita bahwa pembentukan jiwa manusia terjadi melalui kebudayaan yang kita hidupi dan alami sehari-hari, dan anak-anak juga dipengaruhi oleh hal ini. Paparan panjang dan berkelanjutan terhadap suatu kebudayaan pasti mempengaruhi jiwa kita, entah menajamkan atau membuat tumpul diri kita. Setiap orang Kristen perlu sadar akan hal ini dalam menjalani kehidupan kesehariannya, kebudayaan apa yang sedang dihidupinya.
Kekristenan dan Kebudayaan
Vanhoozer menegaskan bahwa seorang Kristen harus bangun dari tidur dan menyadari proyeksi apa yang dihidupi mereka dalam kesehariannya. Setiap kita perlu menjaga apa yang berusaha masuk dan menghidupi jiwa kita. Kita seharusnya menghidupi realita dunia sebagaimana yang dinyatakan oleh firman Tuhan, bukan dunia dengan proyeksinya yang tidak sesuai dengan firman Tuhan. Vanhoozer melihat pendekatan orang-orang Kristen terhadap budaya pop terbagi menjadi dua ekstrem. Di satu sisi menolak budaya pop secara keras dan di sisi lain melihatnya sebagai kesempatan yang baik bagi orang Kristen untuk mengaplikasikan firman Tuhan. Dalam melihat fenomena tersebut, Vanhoozer memilih untuk tidak dengan ceroboh atau terburu-buru menjawabnya. Lalu bagaimana seharusnya cara orang Kristen dalam melihat kebudayaan? Vanhoozer membahasnya dengan elaborasi dan pendekatan yang luas, tidak selalu dengan logic of cause and effect. Lebih lanjut lagi, Vanhoozer melihat metode yang dapat digunakan dalam melihat kebudayaan adalah dengan melihatnya sebagai suatu diskursus. Orang Kristen perlu melihat budaya dengan menggali secara dalam dan memetakan aktor-aktor yang berada di belakangnya, penggunanya, dan pembacanya pula. Diskursus terjadi ketika seseorang menggunakan medium tertentu untuk menyatakan atau menunjukkan sesuatu. Vanhoozer menggunakan cara Ricoeur dalam melihatnya, dengan membagi cara tersebut dalam tiga tingkatan yaitu, (1) locution, yaitu perbuatan dalam menyatakan sesuatu, (2) illocution, yaitu perbuatan dalam melakukan sesuatu ketika menyatakan sesuatu, dan (3) perlocution, yaitu apa yang menjadi dorongan kita ketika menyatakan sesuatu. Tentu saja ketiga tahap tersebut sulit untuk dipahami secara instan, sehingga memerlukan latihan-latihan yang mandiri dan bertanggung jawab agar terlatih dalam melihat kebudayaan dengan cara tersebut.Oleh karena itu, buku Ev. Theology juga berusaha untuk mengimplementasikan metodologi yang ditawarkannya. Latihan-latihan untuk melihat kebudayaan tersebut dilakukan oleh para mahasiswanya yang terdapat dalam beberapa bagian buku Ev. Theology, dengan pembagian sebagai berikut:
Bagian ke-2: Reading Cultural Texts
The Gospel according to Safeway: The Checkout Line and the Good Life oleh Jeremy D. Lawson, Michael J. Sleasman, dan Charles A. Anderson;
Despair and Redemption: A Theological Account of Eminem oleh Darren Sarisky;
The High Price of Unity: The Universal Declaration of Human Rights oleh David G. Thompson;
Between City and Steeple: Looking at Megachurch Architecture oleh Premkumar D. Williams;
Swords, Sandals, and Saviors: Visions of Hope in Ridley Scott’s Gladiator oleh Michael J. Sleasman.
Bagian ke-3: Interpreting Cultural Trends
The Business of Busyness: Or, What Should We Make of Martha? oleh Charles A. Anderson;
Welcome to the Blogosphere oleh Justin A. Bailey;
Human 2.0: Transhumanism as a Cultural Trend oleh Matthew Eppinette;
Fantasy Funerals and Other Designer Ways of Going Out in Style oleh Ben Peays.
Bagian ke-4: Concluding Untheoretical Postscript
Putting It into Practice: Weddings for Everyday Theologians oleh Charles A. Anderson dan Michael J. Sleasman.
[1] Seorang Hamba Tuhan yang melayani di TEDS dan memegang posisi sebagai Research Professor of Systematic Theology. Teolog ini berasal dari Amerika Serikat dan memiliki latar belakang pendidikan B.A., di bidang teologi dari Westmont College, M.Div. dari Westminster Theological Seminary, Ph.D. dari Cambridge University, England. Vanhoozer banyak menulis dan menanggapi arus pascamodernitas melalui karya dan suntingannya, seperti Biblical Narrative in the Philosophy of Paul Ricoeur (Cambridge University Press, 1990), Is There a Meaning in this Text? The Bible, the Reader, and the Morality of Literary Knowledge (Zondervan, 1998; Christianity Today Book Award, 1999), dan Cambridge Companion to Postmodern Theology (Cambridge: Cambridge University Press, 2003). Lih. “Kevin J. Vanhoozer, Ph.D,” Trinity Evangelical Divinity School, diakses 30 September 2021, https://www.tiu.edu/faculty/kevin-j-vanhoozer/.
[2] Saat ini, Charles A. Anderson menjadi gembala (lead pastor) di Gereja Presbyterian Redeemer, Indianapolis. Anderson memiliki latar belakang pendidikan M.Div. dari TEDS, dan Ph.D. dari Cambridge University. Ketika menempuh pendidikan doktoralnya, Anderson mendalami bidang Perjanjian Baru. Lih. “Charles Anderson,” Redeemer Indianapolis, diakses 30 September 2021, https://www.redeemindy.org/charles-anderson.
[3] Michael J. Sleasman melayani sebagai seorang hamba Tuhan di TEDS. Memiliki latar belakang pendidikan B.A. di bidang teologi dari Malone College, M.Div. dan Ph.D. dari TEDS. Sleasman memegang posisi Managing Director of the Center for Bioethics and Human Dignity di Trinity International University dan affiliate professor of bioethics di Trinity Graduate School. Sleasman juga mengajar beberapa kursus online di bidang filsafat, teologi dan etika. Sleasman memiliki kekhususan pada topik nexus of technology dan culture assessment. Lih. “Michael J. Sleasman, Ph.D,” Trinity International University, diakses 30 September 2021, https://www.tiu.edu/faculty/michael-j-sleasman-graduate/.
[4] Penulis menemukan kesulitan dalam menerjemahkan istilah “culture” dalam bahasa Inggris. Ada beberapa terjemahan bahasa Indonesia seperti “budaya”, “kultur”, dan “peradaban” dengan perbedaan makna masing-masing dan tidak memiliki latar belakang perkembangan linguistik yang sama dengan bahasa Inggris. Dalam hal ini penulis memilih terjemahan “kebudayaan” dan selanjutnya mengenai asal terminologi “culture” juga dijelaskan tersendiri. Namun, dalam beberapa kalimat penulis menggunakan istilah “kultur”, seperti “sosiokultural”, “multikulturalisme”, dan “popkultur (selanjutnya akan ditulis budaya pop”.
[5] Anselm lahir di Italia sekitar tahun 1033. Ia menjadi uskup agung (archbishop) dari Canterbury pada tahun 1093. Masa keuskupannya diwarnai dengan konflik antara gereja dengan kerajaan perihal hak dan kebebasan gereja pada saat itu. Anselm memberikan pernyataan yang fundamental mengenai imannya dengan ungkapan “faith seeking understanding”, dan ia jelaskan dengan pernyataan sebagai berikut: “I do not seek to understand that I may believe, but I believe in order that I may understand. For this, too, I believe, that unless I first believe, I shall not understand.” Church Publishing, Holy Women, Holy Men: Celebrating the Saints (New York: Church Publishing Incorporated, 2010), 334.
[6] Seorang filsuf dan negarawan Republik Romawi bernama Marcus Tullius Cicero menggunakan istilah Cultura Animi dalam serial bukunya yang berjudul Tusculunae Disputationes. Cicero pada saat itu menulis perihal refleksinya terhadap filsafat Yunani. Tusculunae Disputationes terdiri dari 5 buku dan ditulis oleh Cicero di rumah berliburnya di Tusculum, ketika Cicero meratapi kematian anak perempuannya bernama Tullia yang meninggal 1 (satu) bulan setelah lahir. Cicero mengurung dan menarik diri dari kehidupan publik, sehingga mendorongnya untuk mengalihkan pikiran dan merefleksikan perihal emosi manusia dan bagaimana manusia menghadapi kedukaan. Marcus Tullius Cicero, Cicero on the Emotions: Tusculan Disputations 3 and 4, diterjemahkan oleh Margaret Graver (Chicago dan London: The University of Chicago, 2002), xiii. Kutipan bahasa asli dari buku tersebut menyatakan sebagai berikut:“Cultura animi philosophia est, quae conatur extrahere vitia radicitus, et praeparat animos ad satus accipiendos, eaque mandat his, et, ut ita dicam, serit, quae adulta fructus uberrimos ferunt.” Lih. Marcus Tullius Cicero, Tusculanes de Ciceron, trans. Jean Bouhier (France: J. Gaude, 1812), 273. Dengan terjemahan ke dalam bahasa Inggris sebagai berikut: “Whereas philosophy is the culture of the mind; this it is which plucks up vices by the roots; prepares the mind for the receiving of seed, commits them to it, or, as I may say, sows them, that, when come to maturity, they may reproduce a plentiful harvest.” Lih. Marcus Tullius Cicero, The Tusculan Disputations of Cicero, trans. W.H. Main (London: W. Pickering, 1824), 84.
[7] Pada mulanya, Clifford Geertz bukan seorang antropolog, namun bidangnya adalah filsafat. Kemudian, ketika masuk ke Universitas Harvard dan terlibat di Social Relations Department, Geertz mulai mempelajari sosiologi, psikologi klinis, psikologi sosial, antropologi, dan sebagainya. Indonesia adalah tempat kajian utama dari Geertz. Ia menjadi seorang antropolog andal dengan banyak karya yang membahas mengenai Indonesia. Salah satu pemikiran Geertz yang terkenal mengenai Indonesia adalah pembagian tiga varian Islam di Jawa, yaitu santri, priyayi dan abangan. Geertz juga menjelaskan mengenai pengaruh kebudayaan dengan perjalanan bangsa Indonesia sebagai entitas merdeka. Geertz berpendapat bahwa kebudayaan bukan merupakan ultimate explanation dari segala sesuatu dan bukan sebagai penyebab apapun yang terjadi. Terdapat beraneka ragam kekuatan yang bermain selain kebudayaan. Diambil dari wawancara dengan Clifford Geertz Tentang Dinamika Sosial-Politik Tahun 1950-an dan 1990-an di Indonesia. Lih. Baskara T. Wardaya, Membangun Republik: Bercakap Tentang Sejarah Indonesia Bersama Sartono Kartodirjo, Takashi Shiraishi, Benedict Anderson, George Kahin, Clifford Geertz, Daniel Lev, Goenawan Mohamad, dan Bill Liddle, cet. 2 (Yogyakarta: Galangpress, 2017), 113‒153.
[8] Vanhoozer menyatakan bahwa Agustinus adalah “patron saint” dari Everyday Theology. Namun, ia melanjutkan dalam catatan kaki buku Everyday Theology bahwa “philosophical patron saint” dari Vanhoozer adalah Paul Ricoeur. Vanhoozer meminjam teori Ricoeur dalam hal interpretasi dan membangun fondasi dari teori tersebut. Produk akhirnya adalah hermeneutika teologi terhadap kebudayaan yang merupakan keahlian dari Vanhoozer. Vanhoozer, “Toward a Theory of Cultural Interpretation,” 25. Paul Ricoeur (1913-2005) adalah seorang filsuf ternama abad ke-20 dari Prancis. Salah satu tema utama yang merupakan benang merah dari semua karyanya adalah perihal Filsafat Antropologi. Ricoeur menolak pemikiran bahwa seorang manusia dapat sepenuhnya sadar akan dirinya dan berkuasa penuh atas dirinya sendiri. Pengetahuan tentang diri hanya didapatkan melalui kaitannya dengan dunia atau orang lain, selama seseorang tersebut tinggal di dalam dunia. Lih. “Paul Ricoeur,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, diakses 30 September 2021, https://plato.stanford.edu/entries/ricoeur/.
[9] Vanhoozer sependapat dengan Kathryn Tanner dengan mengutip karya Tanner berjudul Theories of Culture: A New Agenda for Theology. Tanner adalah seorang teolog dan profesor teologi sistematika dari Yale Divinity School. Memiliki latar belakang pendidikan B.A., M.A., dan Ph.D. dari Yale University. Lih. “Kathryn Tanner,” Yale Divinity School, diakses 30 September 2021, https://divinity.yale.edu/faculty-and-research/yds-faculty/kathryn-tanner.
[10] Dalam hal cultural works, Vanhoozer mengutip William Romanowski, yaitu seorang teolog yang banyak membahas mengenai budaya pop dengan karyanya seperti Reforming Hollywood: How American Protestants Fought for Freedom at the Movies dan Eyes Wide Open: Looking for God in Popular Culture. Romanowski merupakan seorang profesor dan memegang Arthur H. DeKruyer Chair in Faith & Communication di Calvin University, serta memiliki latar belakang pendidikan B.A. dari Indiana University Pennsylvania pada 1976, M.A. dari Youngstown State University pada 1981, dan Ph.D. dari Bowling Green State University pada 1990 dalam bidang American Culture Studies. Lih. “William Romanowski,” Calvin University, diakses 30 September 2021, https://calvin.edu/directory/people/william-romanowski.
Korespondensi: airlanggajulio@gmail.com