- Investor Daily Indonesia, 3 Maret 2014
- Tandean Rustandy
- Waktu Baca: 6 menit
Tidak terasa tahun 2013 sudah berlalu, bahkan Febuari 2014 sudah kita lewati. Kita sangat bersyukur, pada 2013, Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi 5,78%. Keberhasilan ini semata-mata anugerah Tuhan. Meski pertumbuhan melambat, pemerintah tetap bangga lantaran kinerja pertumbuhan terbaik kedua di dunia setelah Tiongkok sebesar 7,5%. Alangkah bijaksana apabila pemerintah mengakui kekurangannya dan bukan memikirkan keberhasilannya. Memuji diri bukan karakter negarawan. Kita perlu belajar dari Winston Churchill, negarawan besar, mantan Perdana Menteri Inggris: “The nation will find it very hard to look up to the leaders who are keeping theirs ears to the ground”.
Investasi langsung Foreign Direct Investment (FDI). FDI yang menjadi salah satu motor pertumbuhan perekonomian ternyata tidak sesuai dengan optimisme pemerintah. Realisasi inflasi 8,22% meningkat hampir dua kali dibandingkan 4,9% pada waktu penyusunan APBN 2013. rupiah menjadi mata uang dengan performance terburuk pada 2013 lalu, ditutup pada level Rp 12.189 per dolar Amerika Serikat.
Melemahnya rupiah yang tak kunjung teratasi merupakan dampak dari lemahnya fundamental ekonomi. Kita tidak boleh menutup sebelah mata dan cepat puas terhadap pemerintah yang menyajikan angka-angka sekilas terlihat membanggakan. Hargai Human Capital Pertumbuhan yang menurun menunjukkan adanya problem di dalam kepemimpinan manajemen. Setiap perusahaan publik, selalu ada rencana kerja untuk mencapai target walau kondisi sulit. Setiap tahun ada beberapa kali pertemuan dengan analis dan investor. Pada waktu pertemuan kinerja perusahaan akan diketahui.
Apabila analis dan investor yakin performance manajemen bagus, saham pasti diminati dan otomatis harganya naik. Investor berani bayar mahal di atas harga rata-rata jika yakin dengan keterbukaan perusahaan dan integritas seluruh tim manajemen. Perusahaan yang bertumbuh konsisten setiap tahun akan memperoleh harga saham premium dan semua pemegang saham ikut menikmati nilai perusahaan yang meningkat.
Sebaliknya, tim manajemen yang gagal menepati janji dan komitmen dalam mencapai target, saham institusinya akan dilepas oleh investor sekalipun mengalami kerugian. Inilah “keindahan” sekaligus “hukuman” di dalam menjalankan perusahaan publik yang amat bergantung pada kualitas dan integritas tim manajemennya.
Kadang kita bingung bagaimana mungkin suatu perusahaan yang sangat profesional, bukan bergerak di bidang natural resources tapi kapitalisasi pasarnya lebih besar dari BUMN atau BUMD yang memiliki kelimpahan natural resources. Penyebabnya, perusahaan tersebut sangat menghargai human capital.
Karena dengan human capital yang baik, sesuatu yang tidak bernilai menjadi bernilai, seperti Singapura dan Swiss. Sedangkan negara yang sangat kaya dengan alamnya seperti Indonesia dan Nigeria, tetap miskin. Inilah bukti bahwa kualitas ”human capital” di pemerintahan kita memang sangat mengkhawatirkan.
Dari sisi infrastruktur, pembangunan jalan tol Bitung-Manado sepanjang 35 km terhambat. Tol Cikampek-Palimanan sepanjang 116 km tak kunjung tuntas dan banyak perencanaan tol masih dalam tahap pembebasan tanah. Hal ini disebabkan karena warga tidak taat pada UU pembebasan lahan. Pertanyaannya bagaimana mengimplementasikan UU di lapangan?
Masalah pembebasan lahan, sering mengatasnamakan rakyat padahal yang bermain “orang-orang titipan”. Dengan demikian sangat dibutuhkan keterbukaan pemimpin yang berintegritas dalam setiap level pemerintahan. Jika pemimpinnya jujur dan memperhatikan kesejahteraan rakyat, permasalahan semacam ini tidak mungkin muncul.
Demikian halnya, pemimpin di negara ini tahu biaya transportasi terus meningkat sehingga tidak efisien. Tetapi upaya menuntaskan lingkaran setan ini sebatas janji belaka. Salah satu dampaknya, rupiah tertekan dan rakyat banyak sangat dirugikan khususnya kalangan menengah ke bawah. Walau tidak memiliki simpanan valas, daya beli mereka menurun karena disposable income-nya mengecil.
Pemimpin yang Melayani
Masih adakah harapan di tahun ini? Indonesia mengawali tahun 2014 dengan bencana alam di hampir seluruh wilayah. Meletusnya Gunung Kelud dan Gunung Sinabung, banjir yang melanda Jakarta, Manado, dan sejumlah lokasi di Jawa serta beberapa provinsi lainnya telah menelan korban ratusan jiwa dan kerugian triliunan rupiah. Dibandingkan tahun lalu, jumlah bencana awal tahun ini meningkat drastis. Biaya bencana mencakup bukan hanya persediaan makanan bagi para pengungsi, tapi juga pemulihan infrastruktur, rumah penduduk dan fasilitas umum yang rusak akibat bencana. Aktivitas perekonomian nasional terganggu, mulai dari proses produksi, jalur distribusi, ekonomi rakyat, hingga masa panen.
Dari luar negeri, rencana bank sentral AS, The Fed, yang akan mengurangi instrumen stimulusnya dan kemungkinan mengurangi dana masuk, akan mengakibatkan saham-saham akan turun. Bank Indonesia akan tetap pertahankan suku bunga relatif tinggi, dengan demikian suku bunga pinjaman untuk investasi, modal kerja maupun kredit pemilikan rumah akan tetap tinggi.
Pada 2014 ini akan digelar pemilu. Menurut pemerintah, pemilu membawa dampak positif bagi perekonomian nasional karena penggunaan dana yang tidak sedikit dari partai-partai di dalam menjalankan aktivitasnya dan kampanye para calon legislatif. Namun, kita harus jeli. Di sisi lain, keadaan mungkin lebih sulit. Masing-masing kader partai di kabinet, termasuk presiden pasti berkonsentrasi berkampanye meniupkan angin surga kepada rakyat. Bagaimana bisa mengurus roda pemerintahan yang niscaya pertumbuhannya semakin melambat?
Kita perlu belajar dari Max DePree, penulis sekaligus pelaku usaha, dengan ucapannya yang bagus: “The first responsibility of a leader is to define reality. The last is to say thank you. In between, the leader is a servant”. Seperti diuraikan di atas, kita perlu memahami bahwa menjadi panutan merupakan tugas dan tanggung jawab yang sangat penting dari setiap pemimpin. Pemimpin mulai dari kepala desa hingga presiden harus punya kepedulian dan kasih kepada tim dan bawahannya.
Situasi 2014 bukan gampang, tapi tidak berarti sulit. Buktinya kebijakan uang ketat oleh BI dan kebijakan pengetatan impor membuahkan hasil. Sejak awal Februari melemahnya rupiah sedikit teratasi dengan mulai menguat di kisaran Rp 11.700 per dolar AS. Paling penting kita belajar dari kesalahan dan berani keluar dari pikiran ‘itu bukan salah saya’.
Untuk mencapai target 2014, kesulitan yang dihadapi semakin besar karena kita semakin dewasa. Kalau setiap kita tidak mau mengalami kesulitan, kita anak TK. Kita perlu sadar bahwa setiap tahun perekonomian harus semakin bertumbuh supaya rakyat semakin sejahtera. Indonesia butuh pemimpin yang menyingsingkan lengan bajunya untuk turun ke bawah, bukan pemimpin yang lihai mencuci tangan dan hanya cakap bicara. Kita butuh pemimpin-pemimpin berkualitas, berintegritas dan melayani, karena pada pundak merekalah masa depan dan harapan bangsa ini bertumpu.
Tandean Rustandy, Peneliti Senior Reformed Center for Religion and Society