Sinar Harapan, 24 April 2007
Benyamin F. Intan
Secara normatif, jaminan kebebasan beragama di Indonesia memiliki pijakan yang kuat, yaitu dalam Pancasila dan UUD 1945, apalagi dalam UUD 45 hasil Amandemen secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 28. Tetapi ternyata kebebasan itu hanya ada dalam agama resmi negara, di luar agama resmi ada efek yang dapat mengurangi hak-hak sipil.
Tidaklah mengherankan umumnya mereka yang terkena tuduhan penodaan agama adalah kelompok-kelompok di luar agama resmi, walaupun ada juga diantara mereka yang menganut agama resmi, biasanya terkait dengan persoalan pelaksanaan misi dari agama-agama yang ada.Pasal yang banyak menelan korban itu adalah KUHP Pasal 156a yang berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.”
Dalam praktiknya pasal ini seperti “pasal karet” yang bisa ditarik ulur untuk menjerat siapa saja yang dianggap menodai agama, dan yang menjadi korban adalah kelompok minoritas. Namun, pasal itu bukan hanya dipertahankan dalam Rancangan KUHP, tetapi juga diperluas. Apabila R-KUHP ini disahkan, pemeluk agama tidak lagi memiliki kebebasan memberi tafsir pada agamanya, karena bisa dituduh melakukan penodaan agama dan melakukan tindak kriminal. Usaha kriminalisasi agama jelas akan membelenggu kebebasan beragama, secara normatif kebebasan beragama menjadi kabur karena adanya diskontinuitas antara UUD dan hukum di bawahnya.
Pasal 156a bukan asli dari KUHP Belanda, tapi dimasukkan belakangan, pasal ini berasal dari UU No.1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 4 undang-undang PNPS memerintahkan agar ketentuan tersebut dimasukan dalam KUHP. Adapun isinya demikian, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu.” Singkatnya, pemeluk agama tidak lagi memiliki kebebasan memberi tafsir pada agamanya, karena bisa dituduh melakukan penodaan agama, kriminalisasi agama.
Politisasi Agama
Persoalan utama di balik kriminalisasi agama dikarenakan negara mendominasi ranah privat agama. Dengan menghukum pemeluk agama yang tidak menjalankan agamanya sesuai dengan tafsir agama resmi, negara sudah bertindak di luar batas kewenangannya. Wewenang memberi tafsir agama yang semestinya hanya ada pada Tuhan dan penganut agama, telah diambil oper oleh negara.
Dengan demikian, wewenang negara bukan lagi pada tataran yang semestinya, tataran “batasan agama” (at the boundaries of religion), tapi sudah pada “melintasi batasan agama” (across the boundaries of religion) dengan mencampuri urusan intern agama (Michael Walzer, Spheres of Justice, Basic Books, 1983).
Akibatnya, kelompok agama minoritas mengalami upaya pengerdilan agama. Agama kelompok ini yang semestinya juga tampil bersama agama resmi negara sebagai pendamping korektif masyarakat akhirnya menjadi mandul, tidak lagi dapat memperdengarkan suara kenabiannya oleh karena terkungkung dalam wilayah privatnya.
Dominasi negara yang terlalu besar dengan menancapkan kuku-kukunya yang tajam pada ranah privat agama, bukan hanya membelenggu agama, tetapi juga berpotensi melahirkan tindakan “balas dendam” agama untuk menguasai negara serta melahirkan gerakan radikal yang kemudian menebar teror di berbagai tempat (Bdnk Gilles Kepel, The Revenge of God, The Pennsylvania State University Press, 1994).
Kriminalisasi agama yang memasung kelompok agama minoritas dengan berpihak pada yang mayoritas memunculkan isu diskriminasi agama yang apabila dibiarkan berpotensi menyulut konflik horizontal. Singkatnya, politisasi agama dalam bentuk “subordinasi agama oleh negara” bukannya produktif, malah menjadi bumerang bagi negara.
Amat disayangkan, munculnya kriminalisasi agama bukan hanya karena penyimpangan wewenang negara, tetapi juga ada saham agama. Demi kepentingan politisnya agama berselingkuh dengan kekuasaan negara (agamaisasi politik), tidak sadar bahwa legitimasi relijius (religious legitimacy) yang dilimpahkannya kepada negara untuk menekan kelompok agama minoritas dapat berdampak negatif padanya, kekuasaan yang mana dapat berbalik menjadi bumerang bagi agama bersangkutan secara kontraproduktif.
Kemunafikan
Agama yang merestui intervensi negara dalam kehidupan rohani warga sekalipun bermotivasi dan beritikad luhur, dalam kenyataannya bukannya membuat orang lebih beriman dan bertakwa, tapi malah memperkembangkan kemunafikan yang dapat merusak citra agama itu sendiri.
Bayangkan bila berhadapan dengan hukum negara yang mengharuskan pemeluk agama menjalankan keyakinannya sesuai dengan tafsir agama resmi, daripada repot dan susah orang akan cenderung menampakkan kehidupan rohani yang superfisial, kesalehan yang dapat dinilai dari luar. Akibatnya, muncullah kemunafikan yang nantinya dapat menghancurkan nilai-nilai luhur agama itu sendiri.
Agama yang memosisikan dirinya sebagai solusi tunggal persoalan bangsa dengan mensubordinasikan negara di bawah kekuasaannya (agamaisasi politik) adalah agama yang menginginkan kebijakan negara diambil sesuai dengan ketentuan agama. Dalam konteks ini, agama dijadikan alat penentu untuk membedakan perlakuan terhadap warga negara.
Dengan membeda-bedakan warga negara berdasarkan agama yang dianutnya, negara sebetulnya sudah kehilangan fungsinya yang paling luhur sebagai pengayom kemaslahatan warga, tanpa diskriminasi. Natur negara yang tadinya inklusif dan non-sektarian kini menjadi otoriter dan diskriminatif.
Di lain pihak, agama yang mensubordinasi negara di bawah kekuasaannya dalam rupa negara agama adalah agama yang mempersamakan dirinya yang infinit dengan kekuasaan negara yang fana dan sementara. Agama demikian adalah agama yang telah kehilangan karakter transendentalnya. Tanpa identitas transenden, agama menjadi mandul, tidak lagi dapat menjalankan fungsi kritis dan profetis. Akibatnya, ia tidak lagi mampu mengemban misinya sebagai pengayom moralitas bangsa.
Singkatnya, elemen politisasi agama dan agamaisasi politik yang tercakup dalam konsep kriminalisasi agama sesungguhnya merupakan langkah bunuh diri bagi semua pihak yang berkepentingan. Itu sebabnya mengapa godokan Rancangan KUHP yang memuat kriminalisasi agama bukannya kemajuan tapi malah kemunduran dalam hukum Indonesia. Bukan hanya kemunduran tapi juga tidak demokratis oleh karena dalam negara-negara demokrasi modern, agama tidaklah dapat dikriminalisasikan.
Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society