Demoralisasi Pejabat Publik

  • Suara Pembaruan, 27 April 2013
  • Binsar A Hutabarat
  • Waktu Baca: 4 menit

Jagad politik di negeri ini kian memanas menjelang pemilu legislatif 2014. Tahun 2013 ini disebut tahun politik, karena pada tahun ini penetapan partai yang layak mengikuti pemilu, demikian juga penetapan calon legislatif. Partai dan mereka yang terpilih menjadi caleg tentu saja telah mengambil ancang-ancang untuk sukses pada pemilu tahun depan, dan membuat suhu politik memanas.

Apabila tidak ada usaha-usaha serius, suhu politik yang kian memanas ini bisa meledak dalam bentuk konflik kekerasan yang dapat mengganggu hajatan besar pemilu. Kerusuhan yang mulai sering terjadi pada pemilihan kepala daerah akhir-akhir ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk lebih berjuang keras menghadirkan pemilu damai tahun depan.

Demoralisasi pejabat publik yang terungkap dari banyaknya pelaku korupsi yang tertangkap KPK tentu saja membuat sinisme masyarakat meningkat. Apalagi calon-calon legislatif yang diajukan partai politik banyak terdiri dari muka lama, dan banyak juga di antaranya dibayang-bayangi kasus korupsi. Partai-partai politik mensyaratkan setoran dari mereka yang ingin menjadi caleg, singkatnya, orang miskin dalam hal ini dilarang menjadi caleg.

Kampanye hitam (black campaign) menjadi momok yang akan hadir mewarnai pemilu legislatif. Bisa jadi, kampanye hitam akan jauh lebih marak dibandingkan pemilu yang lalu. Sikap pesimis yang masih menggelayuti banyak rakyat di negeri ini sebenarnya wajar saja, karena itu terkait sejarah perjalanan bangsa ini. Pemilu legislatif terakhir dimenangi oleh golput dengan banyak persoalan yang masih belum selesai, khususnya amburadulnya Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ini tentu saja akan menyisakan pertanyaan, apakah pemilu tahun depan akan menghadirkan pemilu damai yang akan membawa perubahan penting bagi bangsa ini, ataukah makin memperparah demoralisasi pejabat publik di negeri ini.

Demoralisasi
Theodor Heuss dan Carlo Schmid benar ketika mengungkapkan peribahasa yang terkenal, “Bukan politik yang merusak karakter, tetapi karakter-karakter yang jelek yang merusak politik.” Peribahasa ini sekaligus membantah “politik itu merusak karakter.” Harus diakui, ada orang-orang yang berubah menjadi berperilaku buruk setelah aktif dalam dunia politik, tetapi ada juga yang tetap hidup bermoral setelah aktif secara politis.

Menurut Harold Lasswell, Politik bukan hanya berbicara tentang kekuasaan (who gets what, when and how) tetapi juga tentang moral (who should get what, when and how-and why). Keinginan untuk berkuasa tidak boleh menafikan cara-cara yang benar dan kudus, karena untuk mengelola pekerjaan kudus dibutuhkan kekudusan hati. Suatu pertandingan yang jujur dan adil dalam menapaki singgasana kepemimpinan adalah implementasi dari politik yang bermoral.

Karena perjuangan politik sarat dengan perjuangan moral maka politik tidak akan pernah menjadikan manusia yang bermoral menjadi tidak bermoral. Apalagi jika kita setuju bahwa politik pada dirinya adalah sesuatu yang menjunjung moralitas. Sebaliknya, sejarah melaporkan, orang-orang yang berkarakter buruk akan senantiasa bernafsu untuk membenamkan moral politik demi ambisi kotornya, dan kemudian merusak politik dengan memberikan isi baru pada politik, yang sesungguhnya bukanlah diri dari politik itu.

Kekuasaan politik memiliki nilai yang mulia, karena itu posisi itu harus diisi oleh orang yang memenuhi syarat, jujur, berkualitas, dan bukan oleh orang yang hanya memiliki ambisi, apalagi oleh orang dengan motif kotor atau yang dikenal dengan politisi busuk.

Tepatlah apa yang dikatakan John Calvin, “Negara mendapatkan wewenang dari Tuhan dan harus bertanggung jawab kepada Tuhan”. Negara adalah alat Tuhan untuk menghukum kejahatan, serta mengusahakan kebaikan seluruh warga negara berguna agar dapat mengatur kehidupan menjadi baik, tanpa negara kehidupan menjadi seperti neraka.

Dengan demikian jelaslah, ambisi untuk menduduki jabatan politik demi pengabdian kepada masyarakat dengan cara-cara bermoral, patut dihargai. Perjuangan seorang pejabat politik yang adalah untuk memperjuangkan seluruh kepentingan rakyat merupakan sesuatu yang amat mulia.

Adalah suatu penyimpangan apabila jabatan politik tersebut kemudian dipergunakan untuk kepentingan pribadi. KKN yang merajalela di negeri ini adalah bukti telah terjadinya penyimpangan jabatan politik. Bukan kualitas yang menentukan seseorang menduduki jabatan politik, sebaliknya jabatan politik menjadi rebutan orang-orang yang tidak memenuhi syarat. Demoralisasi pejabat publik tidak boleh terus dibiarkan, masyarakat dalam hal ini mesti hati-hati dalam menentukan pilihannya.

Negeri ini akan mengalami restorasi apabila kesadaran politik rakyat semakin meningkat. Kesadaran politik rakyat itu akan menjadi benteng yang kuat bagi hadirnya politisi-politisi busuk yang menyengsarakan rakyat, dan ini akan menjadi jalan tol bagi hadirnya pemimpin-pemimpin berkualitas yang akan memakmurkan Indonesia. Menguduskan politik hanya mungkin terjadi apabila semua orang terlibat dalam pekerjaan besar tersebut, yaitu suatu politik yang diabdikan pada kemanusiaan, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang kudus dan mulia.

Binsar A Hutabarat, Peneliti Reformed Center for Religion and Society (RCRS)

Leave a Comment

Your email address will not be published.