Dekomersialisasi Militer

Surya, 4 Oktober 2007
Antonius Steven Un

Hari Jumat, 5 Oktober ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) merayakan hari jadinya yang ke 62. Momentum ini sejatinya diparadigma sebagai kesempatan akselerasi reformasi internal baik dalam struktur, kultur maupun doktrin. Salah satu wacana klasik nan kritis seputar reformasi TNI adalah penguatan jati diri sebagai Tentara Profesional sesuai amanat Undang-Undang No. 34 tahun 2004 (UU 34/2004) pasal 2. Profesionalisme TNI dalam defenisi yuridis normatif telah menunjukan perkembangannya khususnya dalam aspek depolitisasi militer dan supremasi sipil atas militer.

Depolitisasi TNI nyata dalam fakta empiris mundurnya TNI aktif dari panggung politik legislatif sejak Pemilu 2004 serta pemisahan TNI dan Kepolisian (Polri) dan pembagian tugas yang jelas. Sementara supremasi sipil atas militer terbukti dari dipangkasnya kekuasaan independen militer yang harus tunduk kepada kebijakan politik sipil serta diserahkannya Departemen Pertahanan di bawah kendali seorang pejabat menteri sipil.

Namun demikian, hingga kini, keberhasilan depolitisasi TNI belum diikuti dengan dekomersialisasi TNI. Padahal UU 34/2004 tentang TNI mengamatkan profesionalisme TNI yang tidak boleh berbisnis (Pasal 2 dan 39). Fakta empiris bahwa dekomersialisasi masih sulit diupayakan. Terakhir, persoalan terkait hal ini yang mencuat adalah dugaan kasus korupsi dan suap di Asuransi ABRI (ASABRI) yang merugikan negara sebesar Rp. 410 miliar.

TNI bukan tanpa alasan memasuki ranah bisnis. Jika keputusan memasuki ranah politik bukanlah semata-mata keinginan militer, sebagaimana dikemukakan ilmuwan Ulf Sundhaussen (1986), tetapi lebih karena dorongan dari ajakan kalangan sipil, maka pertimbangan TNI memasuki ranah bisnis akibat minimnya anggaran pembiayaan TNI yang berimplikasi pada kesejahteraan prajurit yang tidak memadai. Sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU 34/2004, maka Tentara Profesional harus dijamin kesejahteraannya. Itu sebabnya, KASAU Marsekal TNI Herman Prayitno menegaskan bahwa TNI AU siap melepaskan bisnis militer sepanjang kebutuhan dasar prajurit tercukupi (www.tni.mil.id, 26/02/2007).

Data yang diberikan The International Institute for Strategic Studies, tahun 2002, perbandingan Anggaran Belanja Militer beberapa negara ASEAN menunjukkan bahwa anggaran TNI amat minim. Dengan Gross Domestic Product (GDP) 2001 sebesar $ 145 Miliar, anggaran militer Indonesia 2001 hanya $ 777 (0,53%) juta dan tahun 2002 hanya sebesar $ 1,125 miliar (0,77%). Sementara negeri jiran Malaysia, dengan GDP 2001 $ 87 miliar, anggaran militer 2001 adalah $ 2,4 miliar (2,7%), dan tahun 2002 senilai $ 2,9 miliar (3,33%). Sedangkan negara pulau Singapura, GDP 2001 sebesar $ 85 miliar dengan anggaran militer 2001 senilai $ 4,3 miliar (5,05%) dan tahun 2002 sebanyak $ 4,8 miliar (5,64%).

Dengan anggaran yang demikian minim, profesionalisme TNI adalah hal yang mustahil dan kondisi ini akan memaksa atau menjadikan TNI terpaksa menjalankan bisnis. Hal ini tidak sejalan dengan roh UU 34/2004 pasal 49 yang menyatakan bahwa “setiap prajurit TNI berhak memperoleh penghasilan yang layak dan dibiayai seluruhnya dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”. “Penghasilan yang layak” kemudian dijabarkan dalam pasal 50 bahwa setiap prajurit TNI berhak atas ragam tunjangan keluarga, perumahan, kesehatan, asuransi, tunjangan hari tua, asuransi operasi militer dan seterusnya. Sedangkan klausul “dibiayai seluruhnya” mengindikasikan sumber pembiayaan tunggal, hanya dari APBN dan bukan yang lain.

Keterbatasan biaya ini menyebabkan terjadinya komersialisasi militer, yang setidaknya pada dua aspek. Pertama, TNI menjalankan ragam bisnis untuk mendapatkan tambahan biaya bagi perbaikan kesejahteraan prajurit. Kedua, para prajurit TNI “dikaryakan” sebagai pengawal pada kelompok pengusaha, politisi, selebritis dan sebagainya sehingga mendapatkan tunjangan tambahan bagi kesejahteraan mereka.

Namun demikian, komersialisasi militer mengandung sejumlah implikasi dan resiko yang berbiaya tinggi. Terdepan, dengan kesejahteraan yang memadai, sulit mengharapkan prajurit TNI dapat berkonsentrasi maksimal menjalankan tugas pertahanan secara handal dan terampil. Hal ini disebabkan, konsentrasi prajurit terpecah, bukan hanya menjalankan latihan ataupun menjalankan operasi militer, khususnya yang bersifat non perang, tetapi juga untuk menjalankan roda bisnis TNI atau harus berkonsentrasi menjalankan tugas tambahan di luar struktur TNI. Malah dikuatirkan, para prajurit lebih berkonsentrasi pada pekerjaan bisnis ketimbang tugas rutin karena mendatangkan profit yang lebih besar.

Selain itu, dengan adanya komersialisasi TNI maka dikuatirkan akan terjadi konflik kepentingan yang berakibat penggunaan kekerasan secara tidak terukur. Seperti dalam kasus Alas Tlogo, terjadi benturan antara prajurit dan warga sipil atau dalam kasus penembakan pemilik PT. ASABA, Boedyarto Angsono, malah terjadi “tentara makan tentara”. Almarhum Serka Edy Siyep yang dikaryakan sebagai pengawal dari Boedyarto, ditembak mati oleh Letda Syam Ahmad Sanusi dan Kopda Suud Rusli, yang merupakan “pion” dari terpidana mati Gunawan Santosa. Akibat minimnya anggaran, prajurit akhirnya harus melawan rekan sejawatnya sendiri guna mencari tambahan penghasilan.

Berdasarkan pemahaman ini, sejumlah langkah harus dilakukan dalam rangka dekomersialisasi militer. Pertama, tidak bisa tidak, perlunya penambahan anggaran yang memadai dalam APBN guna memotong jalur bisnis TNI. Dibandingkan dengan depolitisasi yang tidak membutuhkan anggaran terlalu besar sehingga progresifitasnya bisa diakselerasi, dekomersialisasi diperkirakan tidak mungkin berlangsung secara revolusioner melainkan gradual karena terbatasnya anggaran. Hal ini membutuhkan sikap kedewasaan semua kalangan agar secara realistis mengharapkan dekomersialisasi TNI. Jika terdapat perbaikan anggaran pada masa akan datang maka perlu keluasan hati dari para perwira untuk segera meninggalkan bisnis TNI yang memang tentu mendatangkan keuntungan menggiurkan.

Kedua, perlunya kepastian hukum terkait take over bisnis TNI oleh pemerintah. Maksudnya, bukan landasan hukum tetapi soal nilai aset serta kondisi keberadaan perusahaan. Hal ini penting agar tidak mendatangkan kerancuan yang berpotensi terjadinya penyimpangan berupa kejahatan korupsi pada aset-aset bisnis TNI.

Ketiga, perlunya pembinaan perwira dan prajurit yang strategis dan berkelanjutan seputar kultur tentara sebab komersialisasi telah merusak mental tentara yang menyebabkan mereka merasakan kenikmatan berkantong tebal hasil bisnis/kekaryaan luar sehingga enggan berkonsentrasi pada tugas pertahanan dan operasi militer sesuai amanat UU 34/2004.

Antonius Steven Un, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.